Pulang sekolah tidak mendapati Emak
di rumah itu pertanda harus menunggu Emak pulang membawa makanan. Hari itu
sudah bisa ditebak. Terik mentari berjalan kaki dari sekolah jarak cukup buat basah
kuyup keringat. Dan harus menunggu. Sedih. Jika demikian Halimah biasa menyusul
bapak ke sungai. Bapak akan tersenyum menyambut.
Halimah anak semata wayangnya. Perempuan manis perawakannya.
“Uwes
mulih, nDuk?” Kata bapak.
“Inggih
bapak,” Imah mencium tangan bapak yang basah.
“Piye,
nDuk, sekolahmu?”
“Saya dapat nilai 90 bapak. Berhitung.
Imah juga terpilih ketua kelas.”
Bapak tersenyum. Sebuah angka dan
peran anak perempuanya dapat ambil bagian di sekolah. Harapan besar terlihat
dari capaian itu menjadi tinjauan masa depan. Halimah dan bapak makan bersama. Dengan
secuil lauk daging bebek. Diberikan semua dagingnya. Bapak hanya makan sayur oseng lompong berwadah rantang.
“Enak sekali, Imah. Masakan Emak
memang tidak ada duanya.”
Halimah hanya mengangguk. Sekalipun
kelas 6, sudah cukup paham memanfaatkan indra pengecapnya. Daging hanya
berbumbu garam dapur. Selebihnya tidak. Selesai makan, bapak melanjutkan
menambang. Di tepi sungai di bawah pohon trembesi besar Halimah membaca. Baru
akan pulang jika mendengar suara Emak memanggil.
Rutinitas ini ia jalani sampai
remaja. Beruntung punya anak seperti Halimah. Jaman serba begini modern bisa
dikata tidak terpengaruh dengan teman seusianya. Bergelut dengan dunia modern,
tentu, membutuhkan banyak biaya. Halimah menyadari kedua orang tuanya sulit, jika
menginginkan hal serupa. Sekalipun bapak menjanjikan akan membelikan sesuatu
yang sama teman-temannya. Halimah memilih tidak.
Ketimpangan itu sungguh menyedihkan.
Benar kekawatir orang tua, bagaimana sosialiasi anaknya ke depan. Halimah berbeda.
Berani bersedih dan membunuh cemburu selimuti hari-harinya. Itu tantangan. Iya.
Dalam cerita apapun berhasil itu melalui ujian. Ujian menjadi bagian hidup
siapapun. Hanya kadarnya berbeda. Namun teladan ujian berat bagi Halimah. Seolah
tidak menunjukan kepuasannya, menyiksa. Sekali saja menjauh pun tidak.
Tangis Halimah dan Emak tumpah. Tak
sanggup lagi membendung kedua mata halimah untuk tegar. Ini terberat. Bersama hujan tidak begitu lebat, rintik-rintik
menambah pedih duka mereka. Ada kabar tetangga, bapak terseret air bah dari
atas. Diperkirakan Wonogiri atau daerah selatan hujan lebat. Air datang
tiba-tiba bapak tidak sempat menepi.
Hancur hati Halimah mendengar. Usia
belasan harus kehilangan bapak. Emak Halimah pun sama. Hatinya remuk sesak.
Beberapa kali pingsan. Halimah menangis mendatangi tempat bapak menambang.
Sekalipun sungai meluap, berharap masih bisa melihat bapak selamat. Sedih. Caping
tua yang ada di bawah pohon trembesi. Satu desa berjibaku menyusuri sungai. Arus
sungai menggila. Bengawan yang biasa tenang, tepian yang teduh, orang-orang
bermanfaat memancing, menjala, menambang pasir, dan bagi Halimah membaca buku di
bawah pohon trembesi menemani bapak. Sore itu, begitu berubah marah.
Menangis. Iya menangislah, Imah.
Bapak berpamit. Menangislah untuk merebut senyum esok. Maafkan bapak yang serba
belum bisa. Belum bisa memberikan hal sama seperti lainya. Untuk kamu. Jaga dan
buat bangga emak, imah! Begitulah pesan arus bengawan dan gemuruh benturan air
bercampur batang pohon. Halimah hanya menunduk. Menangis sejadinya. Didekapnya caping
tua bertuliskan namanya- Imah.
Kehidupan terus berjalan. Halimah
perempuan kuat. Begitu pula emak. Mereka lalui dengan banyak perubahan. Jika
dahulu, semasa ada bapak, Halimah dilarang bekerja. Kali ini tidak bisa. Emak
dan Halimah terus bertahan dengan segala usaha. Halimah menitipkan makanan di
kantin sekolah. Sepulangnya, sore, ikut membantu usaha tetangga. Ternak ayam.
Menyiapkan makan ternak dan membersihkan kandang.
Demikian keseharian Halimah
sepeninggal bapak. Hari-hari libur, Halimah menyempatkan mengisi waktu membaca
di tempat yang sama. Tepi sungai bengawan. Sekalipun sekarang tidak sama. Cangkir blirik, rantang tiga sap dan
tikar tidak ada. Senyum mengunggah jika teringat bapak marah, mendapati, teh
manis habis olehnya. Tentu sembari tertawa. Jika mengingat bapak.
Belasan tahun dunia berubah. Halimah
tumbuh menjadi perempuan rupawan. Imah punya jalan hidup tidak mudah, namun
cara memahami hidup sungguh luar biasa. Sejak sekolah dasar sampai tamat, Halimah,
bisa mengikuti dengan gemilang. Beasiswa dan kesempatan ajang kebolehan selalu
ia menangkan.
Halimah mendapatkan beasiswa yang
meperlancarnya ke pintu dunia. Beasiswa University Twente: Belanda. Bebas
biaya. Bidang Teknik. Halimah teringat bicara bapak. Imah, air bengawan
sekalipun besar tidak dingin. Airnya hangat. Justru ketika naik daratan,
dingin. Jangan mudah menyerah pada satu hal. Membacalah! Pesan bapak’ Benar bapak. Masa lalu adalah kaca. Waktu!
Berhentilah menepuk punggungku. Jangan paksa saya melihat kebelakang. Seindah, sepedih apapun biar menjadi
brenggala bukan menjadi pijakan untuk menyerah.
***
Di penghujung tahun. Gelar yang
tidak mudah untuk semua. Doktor. Toga terpasang menutup sebagian derai rambut
panjangnya. Tampak begitu angun di kepalanya. Emak datang atas program kedutaan
Indonesia untuk Belanda. Bahwa putrinya berhasil cumlaude doktoral. Dengan nilai tertinggi. Emak masih seperti dulu.
Tidak suka berdandan. Tetap Emak perempuan biasa namun luar biasa. Di kursi
roda emak membawa caping tua bertulis tinta putih mulai pudar. Namun, dari
kejauhan masih terbaca- tetap namanya. Imah.
Acara serenomi wisuda doktoral
dimulai. Semua hadirin tampak bersemangat. Halimah, Emak, dan teman-teman, juga
juragan ternak ayam ikut bersaksi. Tangis haru jatuh dari mata Emak. Membasahi caping
tua. Halimah berkesempatan berpidato beliau berucap; “Para hadirin, sebelum
saya membacakan pidato, ijinkan saya memohon meminta satu hal.” Halimah turun
dari podium berbalik, bersujud, ke barisan guru besar yang duduk di belakang
podium. Semua terpukau pada mahasiswi ini meminta. Salah satu guru menghampiri
dan membangkitkan menuntun ke podium sembari mengangguk. Halimah terisak
tangis, melanjutkan, “mohon! perkenankan saya memakai caping tua di bawa Emak, menggantikan
toga ini!” Di belakang beberapa guru besar yang agung saling bertatap. Saling
berbisik. Kemudian guru besar, duduk paling tengah, berdiri dan
mengangguk-membolehkan. Penghormatan besar di terima Halimah.
***
Halimah kembali ke negerinya.
Halimah mendapatkan kemashuran dan kemudahan atas ketabahannya. Demikian sejak
kecil ditempa. Bersama Emak dengan kursi roda Halimah menuju tepi sungai
bengawan. Caping tua mereka bawa. Sampai di tempat dulu biasa Halimah dan bapak
makan bersama. Secarik kertas di taruh di dalam caping tua milik bapak.
“Bapak..., imah anak yang baik.”
Halimah menangis sesegukan. Ia ulang
kalimat itu, bekali-kali. “Bapak, bukankah Imah anak baik .... Bapak ....
Iiimah...?”
Tumpah air mata Halimah bagai debur air
bah yang menenggelamkan bapak.
“Bapak Imah anak baik, bukan...?”
Suaranya putus-putus terbata-bata.
“Iya imah...” Jawab Emak. “Kamu anak
baik. Bapak bangga...Nak...,”
Mereka larung caping tua bertuliskan warna putih pudar dan secarik kertas
bertulis…
“Bapak, ini Imah. Anak baik...”
Sekian
Solo, 21 Juni 2022