Cerpen Ken nJawi Dwipa | Di pinggir Sungai Bengawan

Sore sepulang sekolah Halimah menuju sungai bengawan. Sungai purba termasyur seantero dunia. Tanpa alasan Gesang membesarkan bengawan solo. Dari pra sejarah hingga sekarang banyak yang bergantung di aliran sungai itu. Begitu pula Halimah dan bapaknya. Bapak menambang pasir sungai, di jual, menjadi bahan bangunan. Sedangkan Emak bekerja di sawah yang tersisa ditengah bangunan megah. Begitu pekerjaan sehari-hari orang tua Halimah.

            Pulang sekolah tidak mendapati Emak di rumah itu pertanda harus menunggu Emak pulang membawa makanan. Hari itu sudah bisa ditebak. Terik mentari berjalan kaki dari sekolah jarak cukup buat basah kuyup keringat. Dan harus menunggu. Sedih. Jika demikian Halimah biasa menyusul bapak ke sungai.  Bapak akan tersenyum menyambut. Halimah anak semata wayangnya. Perempuan manis perawakannya.

            Uwes mulih, nDuk?” Kata bapak.

            Inggih bapak,” Imah mencium tangan bapak yang basah.

            Piye, nDuk, sekolahmu?”

            “Saya dapat nilai 90 bapak. Berhitung. Imah juga terpilih ketua kelas.”

            Bapak tersenyum. Sebuah angka dan peran anak perempuanya dapat ambil bagian di sekolah. Harapan besar terlihat dari capaian itu menjadi tinjauan masa depan. Halimah dan bapak makan bersama. Dengan secuil lauk daging bebek. Diberikan semua dagingnya. Bapak hanya makan sayur oseng lompong berwadah rantang.

            “Enak sekali, Imah. Masakan Emak memang tidak ada duanya.”

            Halimah hanya mengangguk. Sekalipun kelas 6, sudah cukup paham memanfaatkan indra pengecapnya. Daging hanya berbumbu garam dapur. Selebihnya tidak. Selesai makan, bapak melanjutkan menambang. Di tepi sungai di bawah pohon trembesi besar Halimah membaca. Baru akan pulang jika mendengar suara Emak memanggil.

            Rutinitas ini ia jalani sampai remaja. Beruntung punya anak seperti Halimah. Jaman serba begini modern bisa dikata tidak terpengaruh dengan teman seusianya. Bergelut dengan dunia modern, tentu, membutuhkan banyak biaya. Halimah menyadari kedua orang tuanya sulit, jika menginginkan hal serupa. Sekalipun bapak menjanjikan akan membelikan sesuatu yang sama teman-temannya. Halimah memilih tidak.

            Ketimpangan itu sungguh menyedihkan. Benar kekawatir orang tua, bagaimana sosialiasi anaknya ke depan. Halimah berbeda. Berani bersedih dan membunuh cemburu selimuti hari-harinya. Itu tantangan. Iya. Dalam cerita apapun berhasil itu melalui ujian. Ujian menjadi bagian hidup siapapun. Hanya kadarnya berbeda. Namun teladan ujian berat bagi Halimah. Seolah tidak menunjukan kepuasannya, menyiksa. Sekali saja menjauh pun tidak.

            Tangis Halimah dan Emak tumpah. Tak sanggup lagi membendung kedua mata halimah untuk tegar. Ini terberat.  Bersama hujan tidak begitu lebat, rintik-rintik menambah pedih duka mereka. Ada kabar tetangga, bapak terseret air bah dari atas. Diperkirakan Wonogiri atau daerah selatan hujan lebat. Air datang tiba-tiba bapak tidak sempat menepi.

            Hancur hati Halimah mendengar. Usia belasan harus kehilangan bapak. Emak Halimah pun sama. Hatinya remuk sesak. Beberapa kali pingsan. Halimah menangis mendatangi tempat bapak menambang. Sekalipun sungai meluap, berharap masih bisa melihat bapak selamat. Sedih. Caping tua yang ada di bawah pohon trembesi. Satu desa berjibaku menyusuri sungai. Arus sungai menggila. Bengawan yang biasa tenang, tepian yang teduh, orang-orang bermanfaat memancing, menjala, menambang pasir, dan bagi Halimah membaca buku di bawah pohon trembesi menemani bapak. Sore itu, begitu berubah marah.

            Menangis. Iya menangislah, Imah. Bapak berpamit. Menangislah untuk merebut senyum esok. Maafkan bapak yang serba belum bisa. Belum bisa memberikan hal sama seperti lainya. Untuk kamu. Jaga dan buat bangga emak, imah! Begitulah pesan arus bengawan dan gemuruh benturan air bercampur batang pohon. Halimah hanya menunduk. Menangis sejadinya. Didekapnya caping tua bertuliskan namanya- Imah.

            Kehidupan terus berjalan. Halimah perempuan kuat. Begitu pula emak. Mereka lalui dengan banyak perubahan. Jika dahulu, semasa ada bapak, Halimah dilarang bekerja. Kali ini tidak bisa. Emak dan Halimah terus bertahan dengan segala usaha. Halimah menitipkan makanan di kantin sekolah. Sepulangnya, sore, ikut membantu usaha tetangga. Ternak ayam. Menyiapkan makan ternak dan membersihkan kandang.

            Demikian keseharian Halimah sepeninggal bapak. Hari-hari libur, Halimah menyempatkan mengisi waktu membaca di tempat yang sama. Tepi sungai bengawan. Sekalipun sekarang tidak sama. Cangkir blirik, rantang tiga sap dan tikar tidak ada. Senyum mengunggah jika teringat bapak marah, mendapati, teh manis habis olehnya. Tentu sembari tertawa. Jika mengingat bapak.

            Belasan tahun dunia berubah. Halimah tumbuh menjadi perempuan rupawan. Imah punya jalan hidup tidak mudah, namun cara memahami hidup sungguh luar biasa. Sejak sekolah dasar sampai tamat, Halimah, bisa mengikuti dengan gemilang. Beasiswa dan kesempatan ajang kebolehan selalu ia menangkan.

            Halimah mendapatkan beasiswa yang meperlancarnya ke pintu dunia. Beasiswa University Twente: Belanda. Bebas biaya. Bidang Teknik. Halimah teringat bicara bapak. Imah, air bengawan sekalipun besar tidak dingin. Airnya hangat. Justru ketika naik daratan, dingin. Jangan mudah menyerah pada satu hal. Membacalah! Pesan bapak’ Benar bapak. Masa lalu adalah kaca. Waktu! Berhentilah menepuk punggungku. Jangan paksa saya melihat kebelakang. Seindah, sepedih apapun biar menjadi brenggala bukan menjadi pijakan untuk menyerah.

***

            Di penghujung tahun. Gelar yang tidak mudah untuk semua. Doktor. Toga terpasang menutup sebagian derai rambut panjangnya. Tampak begitu angun di kepalanya. Emak datang atas program kedutaan Indonesia untuk Belanda. Bahwa putrinya berhasil cumlaude doktoral. Dengan nilai tertinggi. Emak masih seperti dulu. Tidak suka berdandan. Tetap Emak perempuan biasa namun luar biasa. Di kursi roda emak membawa caping tua bertulis tinta putih mulai pudar. Namun, dari kejauhan masih terbaca- tetap namanya. Imah.

            Acara serenomi wisuda doktoral dimulai. Semua hadirin tampak bersemangat. Halimah, Emak, dan teman-teman, juga juragan ternak ayam ikut bersaksi. Tangis haru jatuh dari mata Emak. Membasahi caping tua. Halimah berkesempatan berpidato beliau berucap; “Para hadirin, sebelum saya membacakan pidato, ijinkan saya memohon meminta satu hal.” Halimah turun dari podium berbalik, bersujud, ke barisan guru besar yang duduk di belakang podium. Semua terpukau pada mahasiswi ini meminta. Salah satu guru menghampiri dan membangkitkan menuntun ke podium sembari mengangguk. Halimah terisak tangis, melanjutkan, “mohon! perkenankan saya memakai caping tua di bawa Emak, menggantikan toga ini!” Di belakang beberapa guru besar yang agung saling bertatap. Saling berbisik. Kemudian guru besar, duduk paling tengah, berdiri dan mengangguk-membolehkan. Penghormatan besar di terima Halimah.

***

            Halimah kembali ke negerinya. Halimah mendapatkan kemashuran dan kemudahan atas ketabahannya. Demikian sejak kecil ditempa. Bersama Emak dengan kursi roda Halimah menuju tepi sungai bengawan. Caping tua mereka bawa. Sampai di tempat dulu biasa Halimah dan bapak makan bersama. Secarik kertas di taruh di dalam caping tua milik bapak.

            “Bapak..., imah anak yang baik.” Halimah menangis sesegukan. Ia ulang kalimat itu, bekali-kali. “Bapak, bukankah Imah anak baik .... Bapak .... Iiimah...?”

Tumpah air mata Halimah bagai debur air bah yang menenggelamkan bapak.

“Bapak Imah anak baik, bukan...?” Suaranya putus-putus terbata-bata.

            “Iya imah...” Jawab Emak. “Kamu anak baik. Bapak bangga...Nak...,

            Mereka larung caping tua bertuliskan warna putih pudar dan secarik kertas bertulis…

            “Bapak, ini Imah. Anak baik...”

Sekian

 

 

Solo, 21 Juni 2022

Penulis : Ken nJawi Dwipa (Nama Pena Didik Haryanto)
Guru Seni Budaya SMP Negeri 9 Surakarta.
Karya yang dimuat: Guru Soma, Guru Zira, Bunga di Akhir Tahun (majalah Mop/ pelajar), Tertolak menjadi manusia pertama (suara karjan)
Jl. Dr Rajiman 521, Surakarta Pos 57148 Kampung Batik Laweyan Surakarta.
WA. 089523044904

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak