DISTOPIA
Aku mengira
sungai di dadamu
Melepas memoar dari karam
Setelah saban
hari kubuang tisu-tisu
Botol plastik dan mesiu
Kau telan limbah
Sambil membasuh amis tanganku
Cemas mengotori
rambut
Membuatku terpaksa mencelupkan diri pada keruh melankoli
Gemericik mana
lagi yang tiba
Dari lengan rhein ke telunjuk muara
Kau perahu
Aku bebatu
Hentikan
pelayaranmu, menepilah
Tancap sauh ke kegetiran
Aku diam sebagai
pelabuhan
Menunggu perahu-perahu kau kirimkan.
Jember,
2022
Barangkali
Ini mimpi, Katamu.
Malam sudah
begitu matang
Kita bersijingkat mengelabui mata orang-orang
Tiang menggantung binar pertemuan,
Kota ini seolah membukakan alas kaki
Agar kita bisa menjadi sedekat ini.
Lorong berkabut
sembunyikan kenakalanku
Kau segetir derak angin dalam dugaan
Seperti tiada bisa ditempuh selain kekakuan
Kita pasrah terseok-seok di bawah kenyataan
yang tak henti-hentinya mempertimbangkan ini mimpi atau bukan.
Aku melihat
lampu-lampu
Seperti mimpi para pelukis yang menabrakkan warna hitam kepada trotoar,
Sementara kau kayuh udara
Hingga kesepian melepas keberaniannya untuk melarung di dada kita.
Bangku taman
membuat cinta betah bermalam
Patung hewan, ayunan, dan segala yang tumbuh dipermukaan
Kini bergerak secepat jarum jam,
Rasa bersalah secerah lampu-lampu kota
Menggelindingkan euforia ke lubang mata kita
Mengancam perpisahan sebegitu ngilunya.
Jember,
2022
Seekor
Kucing dan Nasi Kuning.
Ini kali pertama
Hadiah dipagi hari bukan lagi seikat puisi
Tapi bangku-bangku putih berkarat
Dan basah
Seperti mata kita yang bah.
Seekor kucing
meraung lapar di perutku
Bungkuskan nasi kuning
Dan fragmen cerita semalam
Berlangsung secepat igauan.
Kau basuh
tanganku dengan aubade
Luka-luka nyaris sembuh
Sebagian ada makin melepuh
Namun kau terus mencari cara
Bagaimana hari-hari sebebas derap kereta.
Apakah seekor
kucing memahami mata kita?
Ia menarik-narik selempang tas
Melompat girang ke dadaku-dadamu
Setelah kau bagi nasi kuning dan keusilan lain.
Apakah ini kali
terakhir
Aku menatapmu
Lewat keluguan kucing
Di atas kesaksian nasi kuning.
Jember,
2022
Melepas memoar dari karam
Botol plastik dan mesiu
Sambil membasuh amis tanganku
Membuatku terpaksa mencelupkan diri pada keruh melankoli
Dari lengan rhein ke telunjuk muara
Aku bebatu
Tancap sauh ke kegetiran
Menunggu perahu-perahu kau kirimkan.
Kita bersijingkat mengelabui mata orang-orang
Tiang menggantung binar pertemuan,
Kota ini seolah membukakan alas kaki
Agar kita bisa menjadi sedekat ini.
Kau segetir derak angin dalam dugaan
Seperti tiada bisa ditempuh selain kekakuan
Kita pasrah terseok-seok di bawah kenyataan
yang tak henti-hentinya mempertimbangkan ini mimpi atau bukan.
Seperti mimpi para pelukis yang menabrakkan warna hitam kepada trotoar,
Sementara kau kayuh udara
Hingga kesepian melepas keberaniannya untuk melarung di dada kita.
Patung hewan, ayunan, dan segala yang tumbuh dipermukaan
Kini bergerak secepat jarum jam,
Rasa bersalah secerah lampu-lampu kota
Menggelindingkan euforia ke lubang mata kita
Mengancam perpisahan sebegitu ngilunya.
Hadiah dipagi hari bukan lagi seikat puisi
Tapi bangku-bangku putih berkarat
Dan basah
Seperti mata kita yang bah.
Bungkuskan nasi kuning
Dan fragmen cerita semalam
Berlangsung secepat igauan.
Luka-luka nyaris sembuh
Sebagian ada makin melepuh
Namun kau terus mencari cara
Bagaimana hari-hari sebebas derap kereta.
Ia menarik-narik selempang tas
Melompat girang ke dadaku-dadamu
Setelah kau bagi nasi kuning dan keusilan lain.
Aku menatapmu
Lewat keluguan kucing
Di atas kesaksian nasi kuning.
Betapa Jauh Menujumu.
Sebab tujuan tidak selalu menjanjikan keselamatan kita
Bahkan meski penuh hati-hati harapan berlari
Tiada bisa berkelit dari ketentuan yang nisbi.
Menjatuhkan pemanjat dari mataku
yang terlambat sampai ke keasingan,
kelak tak dapat berpaut lagi jari-jari
sebagaimana awal dari kecemasan ini.
Masih butuh berhenti disetiap lalu lintas
Butuh mengabaikan beberapa badut berkalung musik menciumi tas
Butuh melompat-lompat dari ketukan angklung dan kaleng-kaleng bekas.
Tubuhnya dipoles dililit lampu
Salah satu membentuk sayap garuda
Memeluk kampung dan tatapan kita.
Kalahkan suara-suara
Pun jerit kendaraan yang betapa egoisnya,
Apa bisa kudengar selain bisik angin?
Tak mau menyelamatkan batuk dan pusing.
Membiarkan lampu susut di wajah kampung
Baris bambu dibentuk sebagaimana lengan kita
Siulkan puisi dan musikal berbait-bait dilayangkan.
Sebuah layar memutar perpisahan hari esok yang butuh kesiapan
Semisal sekotak instrument dari pertunjukan
Atau beberapa diam yang terlalu disayangkan,
Jarimu-jariku saling berpaut
Ritme membuat getaran demi getaran terus hidup.