Cakrawala menyingsing di ufuk timur, kumpulan burung yang bersenandung, menyambut pagi yang tidak lagi mendung, suasana pagi yang indah. Namun, tidak dengan suasana rumahku, suasana mencekam yang selalu terjadi, membuatku tidak betah berada di dalamnya. Rumah yang kalian sebut surga, namun bagiku tidak jauh beda dengan neraka. Bahkan sampai lulus SMP pun aku tidak dapat mengekspetasikan apa arti kebahagiaan dalam sebuah keluarga.
Lima
menit setelah itu, kumelangkah gontai menuju pintu, berharap tidak ada bapak
dan ibu yang bakal ribut. Aku melirik kesekeliling dan syukurlah mereka sudah
pergi ketempat kerjanya masing-masing. Akhirnya aku bisa merasakan ketenangan
meskipun hanya bersifat sementara. Aku mengambil makanan ringan didalam lemari
dapur. Yah begitulah, ibuku tidak pernah masak, pasti maunya yang instan. Aku
duduk didepan televisi. Aku selalu menikmati waktu-waktu seperti ini, karna ini
adalah suasana terfaforit bagiku. Rasa yang jarang aku alami, yaitu sebuah ketenangan.
Malampun
tiba, kurebahkan badanku diatas kasur kesayanganku, kasur yang tidak terlalu
empuk namun mampu membawaku kealam mimpi. Suddenly,
suara pintu mengagetkanku membuatku sontak menoleh kearahnya. Kulihat Raufil
yang berdiri dipintu dengan memeluk boneka Boboiboy kesayangannya. Akupun
bangkit membenarkan posisi dudukku.
“Kakak! Raufil boleh tidur disini nggak?” Pintanya
dengan wajah memelas
“Boleh,” ucapku seraya tersenyum padanya
“Kenapa mau tidur disini?” Tanyaku
“Raufil gak
mau tidur sama ibu, nanti bapak datang marah-marah terus berantem tengah malam,
Raufil tidak bisa tidur jadinya,” katanya
Aku
tersenyum menatap Raufil yang badannya kurus, seharusnya dia belum pantas
menyaksikan hal-hal seperti itu, apalagi dia masih kelas 3 SD, membuatku tidak tega
membayangkan bagaimana jika nanti orang tua kami cerai.
Keesokan
harinya
“Kamu gak
pernah nurut ke suami!” Bentaknya
“Buat apa aku harus nurut ke kamu? Suami
kok penghasilannya lebih kecil dari istri?!” Ucapnya dengan nada sindiran.
PLAK!!
Suara
tamparan membangunkan tidurku, kuraih jam weker yang bertengger di atas meja
belajar, jam menunjukkan 05:50. Kumemutar bola mata dengan malas setelah apa
yang aku dengar dari ruang tengah. Yah kini pertengakaran itupun sudah dimulai
tanpa tau siapa yang akan menang dan kalah. Kulirik Raufil yang masih terlelap
dalam tidurnya.
“Dek…bangun, ayo mandi nanti telat
sekolahnya,” ucapku membangunkannya
Raufil
menggerakkan badannya setelah akhirnya dia bangkit dari kasur. Aku mengambil
handuk untuknya, Raufil berjalan menuju kamar mandi, namun saat hampir kepintu
kamar mandi tiba-tiba dia menghentikan langkahnya dan menoleh kearahku.
“Kenapa?” tanyaku
“Bapak dan ibu berantem lagi ya?” Tanya
raufil yang mungkin mendengar percekcokan mereka yang belum usai.
Aku menatapnya tanpa ekspresi. Dia duduk dan
menenggelamkan mukanya dikedua lututnya. Aku melangkah menghampirinya yang
sudah mulai sesenggukan, sehingga aku juga tak kuasa menahan air mata.
“Kenapa adek nangis?” Tanyaku dengan lembut
“Kenapa Raufil gak kayak temen-temen, hiks, kenapa Raufil gak pernah merasakan punya bapak dan ibu, hiks, bapak sama ibu
sibuk berantem, bahkan saat Raufil menangis disamping mereka, mereka tetep
berantem, mereka gak sayang raufil,
hiks. Semenjak Raufil lahir, Raufil gak
pernah liat bapak dan ibu akur. Apakah mereka berantem karna Raufil? Raufil
nakal? Hiks, padahal Raufil selalu doa pada Allah, semoga bapak dan ibu gak berantem terus, tapi Allah gak dengerin doanya Raufil,” ucapnya
dengan terbata-bata.
“Ssttt!
Raufil gak boleh gitu, Allah gak bakal pernah mengabaikan permintaan
hambanya. Apalagi anak baik kayak Raufil, pasti Allah akan mengabulkannya. Cuma
waktunya bukan sekarang. Raufil gak
nakal, bapak sama ibu berantem bukan karna Raufil. Tapi, karna masalah mereka
sendiri, Raufil percaya akan ada pelangi setelah hujan?” Pertanyaanku berhasil
menghentikan tangisan Raufil dan mengangguk seraya memandangku.
“Nah seperti itu, Raufil sekarang masih ada
dicuaca hujan, petir, badai semua menyambar Raufil sehingga buat Raufil nangis
kayak gini,” ucapku seraya mencubit hidungnya yang merah karna nangis.
“Jadi Raufil jangan sampek tumbang karna
badai itu, katanya suka Boboiboy yang kuat, jadi Raufil harus seperti Boboiboy.
Setelah Raufil berhasil melewati semuanya, maksudnya setelah hujannya sudah
reda pasti pelangi akan muncul di hidup Raufil. Nah, disitulah kebahagiaan Raufil
tercipta. Jadi mulai sekarang Raufil harus kuat, sabar, dan jangan cengeng
lagi, ok!” Ucapku sembari mengajukan
jari kelingking, akhirnya dia tersenyum dan mengaitkan jari kelingkingnya ke kelingkingku.
“Tapi kan, tak semua hujan akan berakhir pelangi, bahkan kalo hujannya terlalu
lebat bisa tsunami,” ucap raufil dengan polosnya.
“Heh, Raufil gak boleh gitu, Raufil kan selalu doa ke Allah, pasti Allah kabulin
kok, emangnya Raufil gak percaya ke
Allah?” tanyaku
“Percaya!” jawabnya
“Kalau Raufil percaya artinya harus
berprasangka baik pada Allah, yaudah ayo mandi udah jam enam,” ucapku
Raufil pun
berlari menuju kamar mandi, namun perkataan Raufil masih terngiang ditelingaku,
tentang hujan yang tidak selamanya berakhir dengan pelangi.
Sorepun
menjelang, langit akan segera petang dan burung sudah pada pulang pada
sarangnya, suara deruan ombak membuatku tenggelam dalam lamunan. Namun, baru
sebentar kumerasakan ketenangan tiba-tiba suara pecahan piring mengusik
ketenanganku, membuatku sontak berlari menuju arah tersebut.
Ternyata
peperangan sedang terjadi, aku menghampirinya bukan karna bapak atau ibu,
melainkan karna Raufil yang menangis disamping mereka. Kutarik tangan kecilnya agar
tubuhnya dapat kudekap.
“POKOKNYA KITA CERAI!” Bentakan itu membuatku sontak menoleh kearah
keduanya. Apa? Cerai? Berani-beraninya mereka mengucapkan hal itu didepan Raufil.
Benar
saja suara tangisan Raufil makin menjadi, dia berontak sehingga membuatnya
terlepas dari pelukanku. Aku tak bisa melihat adekku begini, aku bangkit
menengahi mereka.
“KALIAN GILA YA?! Kalian masih punya anak,
kalian gak kasian melihat Raufil yang
masih kecil, kalian gak malu sama
kami? Anak yang kalian lahirkan namun tak
pernah merasakan bahagianya punya orang tua, kalian sadar gak sih!!” Tangisanku mulai pecah
“Baiklah jika itu pilihan kalian, aku sama
adek bakal pergi dari sini! Percuma ada disini, lebih baik aku gak punya rumah dari pada punya rumah
berhawa neraka!” Ucapku seraya bergegas menuju kamar mengambil semua pakaianku
dan juga Raufil, aku menggendong tubuh Raufil
dan menarik koper menuju pintu.
“Mala!!” Panggil ibu
“Gak
usah sok perduli!! Aku tau kalian tak
pernah menyayangi kami, maaf pak, bu! Mala memang bukan anak yang baik, tapi Mala
gak mau melihat adek yang terus-terusan tertekan batinnya gara-gara kalian. Gak usah cari Mala sama Raufil. Mala
bisa ngerawat Raufil sendiri, Assalamualaikum!!”
Kumelangkah
tanpa arah, entah kemana aku akan menuju, yang penting aku jauh dari keributan
itu, aku yakin mereka tidak akan mengejarku, karna aku tau mereka tidak pernah
menyayangiku, tidak pernah merasa kalau punya buah hati yang butuh kasih
sayang. Yang mereka fikirkan hanya satu uang, uang, dan uang.
Bukan
karna umurku yang dewasa, tapi aku dipaksa dewasa oleh keadaan. Anak SMA yang
seharusnya merasakan masa-masa remajanya dengan tenang, malah harus tertekan
karna kedua orang tuanya.
Entah
seberapa jauh aku melangkah namun rasa lelahku tidak seberapa dibandingkan rasa
sakit hati yang kurasakan selama ini.
“Kakak, Raufil laperr!!” Rengek raufil
“Iya sabar dulu ya dek,” ucapku, meskipun
sebenarnya aku tidak ada uang untuk membeli sebungkus nasi.
Langkahku
terhenti disebuah bangunan yang bernama panti asuhan. “kayaknya aku bisa
tinggal disini deh!” Batinku, setelah
sampai depan diteras aku melihat seorang wanita separuhbaya sedang duduk
membaca buku.
“assalamualaikum,” sapaku
“waalaikumsalam,” jawabnya seraya
menghentikan aktifitasnya.
“Sini duduk, ada apa ya nak?”Tanyanya ramah.
“Ibu, boleh gak kami tinggal disini?” tanyaku dengan sedikit gugup
“Oooh boleh-boleh! Emang orang tuamu
kemana?” Tanyanya
Aku hanya menunduk tidak menjawab, entah
apa yang ada difikiranku intinya aku belum siap menceritakan ini semua pada
orang lain.
“Oh yaudah, kalo belum mau cerita sekarang,
cerita kapan-kapan aja! Nama kamu siapa?” Tanyanya
“Nama saya Mala, ini adek saya Raufil,”
jawabku
“Kenalin nama ibu, ibu Fatimah. Pemilik
panti asuhan disini,” aku mengangguk mengerti
“Kakak, apakah kita akan tinggal disini?”
Tanya Raufil
“Iya dek,” ucapku mengiakan
“Nggak mau, Raufil kangen ibu!” Rengeknya
“Raufil, dengerin kakak! Raufil tinggal
disini dulu ya. Nanti ibu pasti jemput kita, Raufil mau liat ibu sama bapak
ribut terus? tidak kan? Jadi Raufil disini dulu bareng kakak, ibu Fatimah, dan
banyak nanti temen-temen Raufil disini,” Raufil melirik kearah bu Fatimah yang
sedang tersenyum padanya.
“Oh iya bu, bi bisa minta makan gak? Adek saya laper dari tadi,” ucapku
“Oooh ayo kedapur sekalian kamu makan juga,”
ucap bu Fatimah seraya berjalan mendahuluiku.
Satu
bulan telah berlalu, hidupku berjalan tidak sama dengan masa-masa sebelumnya,
meski tanpa seorang bapak dan ibu aku masih bisa tersenyum dan bahkan lebih
sering tersenyum. Karna aku hidup bersama pengasuh yang baik dan para anak-anak
yatim.
Sekarang
jam 08:30 raufil masih sekolah, dia sekolah dibiayai ibu Fatimah sedangkan aku
lebih memilih bantu-bantu ibu Fatimah di panti asuhan.
“Mala..” panggil bu Fatimah dari dalam
“Iya bu?”Jawabku seraya bangkit dari taman
bermain dihalaman
“Ini bantu ibu membuat kue kering, buat
anak-anak nanti” Pinta bu Fatimah
“Baik bu!”
Sepertinya
ini pekerjaan yang seru, meskipun aku belum pernah membuat kue kering. Karna, pasti
kalau lebaran ibuku beli, bukan buat.
“Mala beneran gak mau pulang kerumah ibunya atau bapaknya?” Tanya bu Fatimah
“enggak
bu, saya lebih nyaman tinggal disini,” jawabku
Bu
Fatimah menanggapi jawabanku dan tetap memandangku, rasa sesak yang sudah lama
terpendam kembali merasuki hatiku, setetes air mata berhasil meluncur, sontak
bu Fatimah langsung memeluk tubuhku yang sudah mulai bergetar.
Mungkin
aku iri, melihat mereka yang begitu bahagia dengan kisah hidupnya. Dapat kasih
sayang seorang ibu, dapat pelukan hangat dari seorang ayah, makan semeja sambil
tukar cerita. Tapi, semua hal itu tidak ada dalam hidupku membuatku gagal
mengekspetasikan apa arti dari sebuah keluarga.
“Mala harus kuat! Mala gak boleh lemah begini,
Mala harus buktikan pada dunia kalau Mala bukan anak yang mudah tumbang. Mala
harus menjadi penguatnya Raufil, supaya Raufil bangga punya kakak kayak Mala,”
ucap bu Fatimah
Didepan
gerbang, para anak-anak masuk berhamburan. Mungkin sudah pulang sekolah,
kulihat Raufil yang berlari mendekatiku, wajah cerianya tiba-tiba pupus
pelan-pelan, mungkin karna melihatku menangis.
“Kakak kenapa?” katanya seraya berjongkok
didepanku
“Kakak kangen bapak sama ibu ya?” Katanya
lagi, aku mulai menghapus air mataku aku tidak boleh terlihat lemah didepan Raufil.
“enggak
dek, kakak gak papa,” jawabku berusaha tersenyum
“Bohong! Kakak kangen bapak sama ibu kan?”
Tanyanya lagi, membuatku tidak kuasa menahan air mata, akhirnya akupun menangis
seraya memeluknya.
“Tuh kan bener, hujannya Raufil terlalu
lebat,” Aku tetap menangis tidak bisa menyanggah perkataan raufil.
“Kenapa kita kayak gini ya kak? Hiks…punya
orang tua, tapi gak sayang sama kita”
“Raufil,Mala,! Gak boleh gitu ya, coba liat
temen-temennya yang lain, mereka ditinggal mati oleh orang tuanya, kalian masih
mending ada yang ngerawat waktu bayi. Nah,
coba bayangin bagaimana mereka waktu bayi? bahkan ada yang dibuang sama orang
tuanya sendiri. Yaudah, Mala sama Raufil sekarang ngambil wudu’, solat, doa
kepada Allah karna hanya Allah yang mengerti semua masalah kalian”
“Ya Allah…bolakkanlah hati kedua orang tua
hamba Ya Allah, semoga mereka masih ingat bahwa disini ada buah hatinya yang
mengharap kasih sayangnya, ampunilah dosa kedua orang tua hamba Ya Allah,
jangan sampai api neraka membakar tubuhnya, kami sudah memaafkan mereka Ya
Allah, buatlah mereka bahagia. Kabulkanlah permintaan hamba Ya Allah, karna
hanya padamu hamba meminta”
Aku
memang tidak mempunyai kebahagiaan dalam memiliki orang tua, tapi aku masih
punya adek yang sangat aku sayangi. Setidaknya aku bisa menjadi kakak yang
selalu ada, menjadi contoh yang baik untuknya.
Aku berharap, aku dapat bahagia setelah
ini. Terserah apa karna orang tuaku kembali Untuk menjemputku, atau kebahagiaan
yang lain. Dari tempat ini aku belajar bahwa masih ada tanah dibawah tanah, Aku
percaya bahwa setiap orang mempunyai jatah kebahagiaannya masing-masing, dan
inilah jatah kebahagiaanku. Bersyukur adalah jawaban terbaik.
Zumrotus Sholihah bisa dipanggil Lee,
Mahasiswi asal Sumenep Madura, hobi Menulis. Kuliah di kampus putih Institut Dirosat
Islamiyah Al-Amien Prenduan (IDIA), Prodi PAI. Anggota AJMI (Aliansi jurnalis
muda IDIA) dan pengurus UKMP (Unit kegiatan mahasiswi pers), karya cerpennya
juga dimuat di rumah literasi Sumenep. Kenalan lebih dekat IG: Lee0388.