Sudah enam jam berlalu aku duduk di sini, menunggu seseorang yang sudah dua puluh tahun tak kutemui. Dia mengatakan akan menemuiku dan melihat seberapa banyak perubahan yang terjadi dalam hidupku. Selama ini, tak kutahu kabarnya sebab dia tak pernah sekalipun mencari keberadaanku. Namun, beberapa hari yang lalu dia menghubungiku dan mengajak bertemu di warung makan yang dulu selalu kudatangi bersamanya setiap akhir bulan.
Empat mangkuk sup buah telah tandas di tanganku. Dia tak kunjung datang. Aku menjadi sedikit risau. Berkali-kali kutelpon, tapi panggilannya selalu dialihkan ke nada sibuk.
“Mbak Erina, maaf yaa. Ibu mau tutup.” ucap Bu Mira, pemilik warung makan itu. Aku melihat jam di tangan, ternyata sudah pukul sepuluh malam.
“Maaf, Bu. Tapi apa boleh saya disini sebentar lagi. Sepuluh menit saja. Boleh ya, Bu,” bujukku.
“Yaudah, kalau gitu Ibu mau beres-beres dulu ya.” Bu Mira pun berlalu meninggalkan mejaku.
Sepuluh menit kemudian, orang itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Bu Mira juga terlihat sudah menyelesaikan pekerjaannya. Aku mengehela napas panjang. Kuputuskan untuk menyudahi penantian yang tiada hasil ini. Aku berpamitan pada Bu Mira sembari meminta maaf padanya karena telah merepotkan.
Sepanjang perjalanan pulang, aku memikirkan kemungkinan alasan orang itu tidak menepati janjinya. Padahal sudah dua puluh tahun kami tidak bertemu, tapi kenapa dia tidak datang? Apa dia memiliki urusan lain yang lebih penting daripada bertemu denganku?
Sejujurnya, aku sangat membencinya. Aku masih ingat punggungnya yang berlalu meninggalkan rumah tanpa mengatakan sepatah katapun. Aku ingin memakinya hingga dia tidak lagi mempunyai pembelaan untuk perbuatannya. Namun, sebesar apapun rasa benci itu, jauh dilubuk hatiku masih tersisa benih cinta untuknya. Saat kecil, aku lebih dekat dengannya daripada Ibu. Setiap hari, Ibu bekerja dari pagi hingga larut malam sementara dia yang mengurus rumah dan menjagaku.
Tak terasa, pipiku basah oleh air mata. Hatiku sakit mengetahui diriku yang kembali berharap bisa mendapatkan kasih sayangnya seperti dulu. Aku terlalu senang dia menghubungiku lagi dan berpikir dia juga merindukanku.
Ayah, aku kangen!
***
“Ayah.. ayah… nanti ada pasar malam loh di desa sebelah. Kita kesana yaa!” teriakku sembari memasuki rumah. Aku baru saja pulang dari sekolah. Seragam putih merah masih melekat di badanku. Dengan salah satu tangan menjinjing tas, aku menghampiri ayah yang tengah mencuci piring.
“Erina ganti baju dulu gih terus makan,” ucap Ayah tanpa mengindahkan permintaanku.
“Gak mau, ayah jawab dulu dong! Ayah mau kan?!” desakku tak sabaran.
“Iyaa…”
“Yeah! Ayah terbaik!” Aku melompat kegirangan hingga hampir terjatuh. Ayah menatapku sambil menggelengkan kepala. Aku hanya balas menyengir kemudian berlalu ke kamar.
Seperti biasa, masakan Ayah selalu enak. Dia tau persis jika aku menyukai telor yang digoreng setengah matang, oseng kacang panjang dicampur sosis dan udang dengan kecap yang banyak, serta krupuk ikan kesukaanku.
Ketika kami sedang makan, terdengar suara pintu depan yang dibuka dari luar. Aku melihat Ibu dengan wajah murung memasuki kamar tanpa berkata apa-apa. Ayah yang tengah asik menyantap makanan bersamaku pun menyudahi aktivitasnya. Dia meninggalkan nasi di piring yang masih tersisa setengah untuk menghampiri Ibu.
Tak lama setelah itu, terdengar suara tamparan yang cukup keras dari dalam kamar. Suara itu kemudian diikuti dengan suara tangis serta teriakan yang saling beradu. Seketika nafsu makanku hilang. Aku berniat menghampiri mereka, tapi kuurungkan karena takut. Aku mendengar Ayah berteriak, keras sekali. Ayah yang selama ini ku kenal selalu bertutur lembut dan tak pernah marah, kini dia meneriaki Ibu.
“Aku capek, Mas. Aku tiap hari kerja dari pagi pulang malam. Kamu sebagai kepala rumah tangga malah pengangguran. Sekarang aku di pecat, kita sekeluarga mau makan apa?!” teriak Ibu.
“Kamu pikir aku gak capek?! Setelah di pecat, aku juga usaha buat cari kerja lagi. Aku udah taruh lowongan sana-sini tapi belum ada hasil. Aku juga merasa bersalah sama kamu, sama Erina. Aku ngerasa gak becus jadi pemimpin keluarga! Aku –”
“Emang! Kamu nyadar gak selama ini kamu jadi beban buat aku,” tukas Ibu.
Tak selang berapa lama, aku melihat Ayah keluar kamar dengan wajah yang memerah. Dia menoleh padaku sekilas, kemudian memalingkan muka dan pergi keluar.
Itu adalah pertengkaran terhebat antara Ibu dan Ayah. Sebelumnya, mereka sering beradu mulut, tapi selang beberapa jam akan berbaikan. Kemana perginya perasaan cinta dan saling menjaga antara mereka yang kerap kali diperlihatkan padaku? Tidak kah mereka memikirkan perasaanku?
Di hari Ayah meninggalkan rumah, aku melihat Ibu menangis sambil bersimpuh di lantai. Aku mendekatinya, menepuk pundaknya, berharap sentuhanku dapat menenangkannya. Aku tidak mengerti mengapa Ibu menangis sampai separah itu. Yang kupikirkan hanya satu, Ayah pasti pulang. Namun, pikiran itu hanyalah sebuah keyakinan bodoh yang diharapkan oleh gadis delapan tahunan. Nyatanya, Ayah tak pernah kembali.
***
Kreet
“Sayang, kamu baru pulang?” tanya suamiku yang baru kebangun karena suara pintu.
“Iya,” jawabku singkat.
“Udah ketemu Ayahmu?”
Aku menggeleng pelan sembari tersenyum tipis. Seolah mengerti apa yang kurasakan, dia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Dia menatapku lekat-lekat. Dia tersenyum hangat seperti mengatakan semua akan baik-baik saja.