Pertama
kali aku berkenalan dengan Pancasila, ketika diriku duduk di bangku sekolah
dasar. Saat itu aku duduk memperhatikan setiap jengkal kelas, mataku tertuju
pada tiga bingkai foto yang berada tepat di atas papan tulis. Lama ku pandangi,
apa maksud dari ketiga foto tersebut, mata ku tertuju pada bingkai yang
bergambar burung garuda, berwarna emas menghadap ke kanan, bagus, aku
bergumam dalam hati. Tetapi apa maksudnya? tidak pernah ku temukan di dinding
rumahku atau di rumah bu Mona tetanggaku, aku tidak memutuskan untuk bertanya
kepada guru yang sedang menjelaskan di depan, melainkan aku simpan pertayaan
itu untuk ibu di rumah
“mak
ngapolah, mak yo di sekolah tadi aku jingok ado poto wong samo burung garuda di
pocok papan tulis, ngapo di rumah kito katek, aku galak nian jingoknyo apolagi
yang burung garuda bewarno emas, boleh lah kito beli tarok di ruang tamu mak”
“Ibu
kenapalah bu, di sekolah tadi aku lihat ada foto dua orang dan burung garuda, di
atas papan tulis, mengapa bu di rumah kita ngak ada, aku suka bu lihatnya
apalagi, yang burung garuda, warnanya emas, boleh lah bu kita beli untuk di
letakan di ruang tamu”
Ibuku
tertawa mendengar pertayaanku saat itu. Ibu menjelaskan bahwa foto dua orang
dan burung garuda yang terdapat dalam kelas ku bukan hanya hiasan untuk
mempercantik ruangan kelas, tetapi itu adalah foto pak presiden dan wakil
presiden sedangkan garuda adalah Pancasila yang di jadikan falsfah hidup kita
sebagai warga negara Indonesia.
Saat itu aku hanya mengangguk
sebagai isyarat bahwa aku paham, walaupun aku tidak tahu jelas seperti apa itu
pancasila, falsafah, warga, selain mengerti bahwa sesosok garuda yang ada di
kelas itu bernama pancasila.
Kebenaran
yang dikambinghitamkan
Setiap tahun sekolah-sekolah
baik swasta maupun negeri menerima siswa baru, pada pertengahan bulan juli 2017
lalu, ibu mendaftarkan ku di salah satu SMA (Sekolah Menengah Negeri) favorit
saat itu. Di
sana ibu bertemu dan sedikit berdiskusi dengan ibu Mona, salah satu dari
tetanggaku yang juga mendaftarkan anaknya.
“Bik Yanti, siapkan duit 1
juta, kalo nak anak mu lolos, karno aku sudah bayar DPnyo, zaman mekak nak
masok ke SMA favorit kalau dak lewat jalan belakang, susah ”
“Bu
Yanti siapkan uang 1 juta, kalau mau anak mu lulus, karena aku sudah bayar
DPnya, zaman sekarang susah masuk ke SMA favorit, kalau ngak lewat jalan
belakang”
Begitu
salah satu bu Mona berujar, untuk menyuruh ibu membayar uang sebesar 1 juta
agar aku dapat lulus dan bersekolah di sana.
Ibuku adalah seseorang yang
sangat memegang prinsip jujur, yang telah ditamankan keluarga secara turun temurun, ibuku tidak akan pernah
mau melakukan transaksi yang penuh muslihat itu, keputusan ibuku saat itu,
hanya menunggu pengunguman tiba, dan hasilnya benar, bahwa tidak ada yang murni
lagi disaat otak telah dipenuhi kertas merah yang tersenyum murah.
Penerimaan siswa baru di setiap
sekolah mulai ditutup, dan tidak ada lagi sekolah yang ingin menerima siswa
kecuali dengan mengisi kantung-kantung para komite agar jalan lebih mudah, ibu
tetap tegar atas prinsipnya, karena prinsip hidup bagi ibu tidak dapat dibayar
dengan apa pun. Akhirnya
solusi ibu satu-satunya menyuruh ku sekolah di Pondok pesantren.
Ibu
menyebut nama lain dari pondok pesantren adalah bengkel manusia, yang
memperbaiki sifat-sifat manusia, maka dengan mendapatkan solusi untuk memasukan
aku ke pesantern adalah anugerah. Dan penolakaan SMA favorit adalah
keberuntungan.
Aku
masuk dan bersekolah di sana.
Suatu kesempatan aku dipanggil
oleh Ummi (panggilan untuk para guru besar atau pimpinan dalam suatu lembaga
pesantren di daerah Palembang) mendapatkan amanah untuk mencatat setiap orang
yang menggunakan bahasa daerah. Dan dimulai hari itulah aku disebut
dengan nama panggilan”Pena Berjalan”,
bukan panggilan kebanggan, tetapi panggilan yang disandarkan untuk
dijadikan bahan ejekan.
Dua bulan pertama aku
menjalankan amanah dari Ummi, sering kali kudapati diriku tengah menangis saat
perasaan ku diaduk oleh emosi, tidak jarang pula Ummi memberi nasihat agar aku
kuat atas kondisi yang ku hadapi.
“Untok jadi baek tu
idak mudah nak, banyak ujian, sabar harus ikhlas, anggap bae angin lewat cacian
mereka tu, kuatkan pegangan kau, teguhkan keyakinan kau, kau tu dak salah nak,
jangan takut, ingat sebesak apo bae masalah kau dalam menegakan kebenaran, ado
ummi yang selau dukung kau”
“Untuk menjadi baik
itu nak, ndak mudah, banyak ujian, sabar dan ikhlas, abaikan cacian mereka,
eratkan peganganmu, teguhkan keyakinan mu, kamu nak salah nak, jangan takut
tetap berada di jalan yang benar dalam kondisi dan situasi apa pun, ingat Umi selalu
mendukungmu”
Seperti
itulah Ummi mencoba membesarkan hati ku agar aku tetap teguh
Ku
jalani dengan ikhlas 3 bulan berlalu, 6
bulan berlalu dan sampai kelulusan selama
itulah aku kehilangan kosa kata teman dalam hidupku.
Begitulah gambaran generasi
sekarang, bagaimana supaya, arus pemikiran didominasi oleh apa yang menurut
mereka baik agar kepentingan, kemauan mereka terpenuhi, aku merasakan hidup
selama satu tahun dengan berjalan sendiri di lika-liku kehidupan.
Arti
Kesaktian
Pada
tanggal 1 juni, hari kelahiran Pancasila, membuka luka lama saat melihat kata
yang terpampang di berbagai media massa yaitu kata“ Selamat Hari Kesaktian
Pancasila”, Kesaktian? Menuai tanda tanya besar dalam pikiranku, saat itu
aku tidak tahu jelas siapa yang menjadi pencetus dengan meletakan kata
kesaktian yang di kaitkan pada Pancasila? Setiap tanggal 1 Juni aku mencoba
bertanya, kesaktian seperti apa yang di maksud? Ketika diingatanku hanya
terpatri pada generasi muda yang tidak lagi berjiwa muda, mengingat saat di
waktu sekolah aku sempat mengalami trauma beberapa tahun untuk tidak mau lagi
pergi kesekolah seperti biasa, lantaran diriku yang dijauhi oleh teman -teman
hanya karena mempertahakan didikan orang tua di rumah.
“Nak jangan sekali
kali menyontek atau kau ngaish contekan ke wong, karena ngapo didak boleh itu,
samo bae kau nyuruh kawan kau bodoh”
“Nak
jangan pernah sekali- kali menyontek atau memberi contekan, karena ketika kamu
memberi contekan maka secara tidak langsung kamu membiarkan teman mu bodoh”
Aku dibesarkan oleh ibu yang
lahir pada masa penjajahan di mana, pergolakan, penjajahan, penganiayaan
terlihat jelas di pelupuk mata membuat ibuku memandang kehidupan dengan cara
yang berbeda. Begitu
juga dengan mendidik anaknya, hidup dilingkungan keluarga dengan didikan keras
membuat didikan tersebut sangat terpatri diingatan ku, dan selalu ingat saat
ingin berbuat sesuatu
Aku juga mengingat saat aku bersama
ibuku pergi ke pondok pesantren untuk menjenguk adikku, aku mendapati adikku
tengah menangis, karena untuk kesekian kalinya, sandalnya di ghasab (meminjam
tanpa sepengetauan pemilik barang), membuat dia telat pergi ke Masjid untuk
melaksanakan salat. Tidak
hanya aku, begitu juga dengan adikku akan selalu mengigat pesan ibu dan memegang
prinsip yang ibu tanamkan dari dahulu. Adikku yang saat itu berumur 12 tahun
hanya bisa menangis lantaran melihat teman yang lain pergi dengan sandal. Dan
salah satu dari mereka menawarkan untuk memakai sandal teman yang masih
berwudhu di kamar, adikku menggeleng keras, isyarat bahwa dia tidak mau karena dia
tahu dengan melakukan itu dia tidak ada bedanya dengan teman yang menghasab
sandalnya setiap hari itu.
Ingantanku yang lainnya tentang
kesaktian Pancasila yaitu ketika kakaku yang di eliminasikan dari nama
kelulusan tes kepolisian, hanya karena tidak dapat mengisi kantung saku para
panita penyelengara, maka dengan lapang dada kakaku pulang dengan wajah yang
tidak menujukan kekecewaan.
”caknyo
ku terlalu ba’ek untok jadi polisi di negeri ni”
“sepertinya
aku terlalu baik untuk jadi polisi di negeri ini”
Sampai hari ini, aku tidak
menemukan jawaban apa yang di maksud dengan kata kesaktian yang di sematkan
pada hari kelahiran pancasila kecuali jawaban yang diberikan oleh diriku
sendiri yaitu, bahwa kesaktian pancasila sekarang sudah disalah artikan. Yang disalah
gunakan di mana kelompok yang seharusnya dianggap menyimpang malah dianggap
benar di khalayak ramai.
Melihat
kesaktian pancasila sebenarnya maka lihatlah pada masa penjajahan, saat
generasi muda berjuang, bediskusi, bertukar pendapat dan menghilangkan
perbedaan untuk melihat Indonesia jaya. Untuk mendengar kata Indonesia merdeka.
Namun jika dilihat kesaktian pancasila hari ini dengan pengetahuan generasi
muda, yang hanya tahu pancasila di saat upacara, atau sebagai hiasan dinding
yang wajib berada di setiap kelas di sekolah maka dapat dikatakan generasi muda
sedang darurat pancasila.
Penyuluhan tentang pancasila
dan kesaktiannnya dalam melawan penyelewengan tentu sudah sangat sering
dilakukan, dan di luar itu semuanya sebenarnya generasi muda krisis dalam
menemukan teladan untuk dijadikan contoh baik dari pengaplikasian pancasila,
karena sebenarnya, perbuatan lebih menggambarkan daripada sebuah retorika yang
pada dasarnya hanya menarik simpati saja.
Pada saat aku duduk di bangku
sekolah dasar ibu guru PPKN (Pengetahuan Pendidikan kewarganegaraan) Bernama
ibu Noor, menunjukku untuk maju kedepan melafalkan Teks pancasila, dengan cepat
aku menyebutkan satu per satu dan ketika sampai pada sila ke lima ibu Noor
menyuruhku memberikan contoh, pelanggaran yang sering terjadi di sekolah yang
melanggar sila ke lima, saat itu aku hanya diam dan menunduk malu karena tidak
tahu. Teman-teman
ku bersorak dengan kompak bahwa aku sipelit sedang membutuhkan bisikan jawaban.
“Menyontek”,
iya itu adalah salah satu perilaku yang melanggar sila ke lima yang sering
terabaikan dan terlupakan oleh banyak orang”
dengan
tersenyum ibu Noor membesarkan hatiku dan menyuruhku duduk, teman-teman hanya
diam saat mendengar perkataan ibu Noor.
Aku
hampir mau menyerah namun karena ibu selalu ada dan selalu menasehiati diriku,
dengan kalimatnya yang Ajaib.
”Idak
mudah, nak jadi wong ba’ek di zaman yang segalo halnyo dem tecemar, tapi yo
seidaknyo dengan kau, pegang prinsip kau tu, adolah sedikit harapan dari beribu
kepala yang dem kotor, ingat kato ni nak idak perlu nyarik wong yang ba’ek,
cukup berusaha jadi wong ba’ek, jingoklah gek lamo-kela’moan, keba’ekan tu
datang dewek, kalau setiap wong sepe’mekaran dengan kau tu, idak katek lagi
masalah yang perlu dipekerkan”
“Tidak
mudah untuk menegakan kebenaran dalam arus sosial yang telah tercemar,
setidaknya dengan kamu mempertahakan prinsipmu itu, ada Sebagian harapan dari
seribu kepala yang telah kotor, ingat kata ini nak tidak perlu mencari yang
baik, cukup kamu menjadikan dirimu baik maka lambat laun kebaikan akan datang
mengampirimu, ingat jika setiap orang mempertahankan prinsip seperti mu maka tidak
ada lagi kesenjangan yang perlu di khawtirkan”
Tidak ada hal lain yang aku
temukan dalam kehidupanku dalam mempertahakan prinsip atau mempertahakan arti
kesaktian pancasila kecuali pengucilan dan penindasan dari orang-orang terdekat
yang mennggagap remeh prinsip hidup yang bersahaja itu.
Walaupun
banyak juga yang lainnya mencoba membesarkan hati. Dengan orang yang sedikit
itulah aku bertahan dengan prinsip yang ibu tanamkan kepadaku.
Lala Olivia, Mahasiswi
asal Sumatera Selatan, Membaca. Saat ini berkuliah sebagai mahasiswi Prodi PAI
di Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan. Masih aktif di AJMI
(Aliansi Jurnalis Muda IDIA) dan Anggota Tim Media Kampus. Beberapa karya
opininya juga dimuat di beberapa media cetak dan massa seperti Radar Madura dan
lain-lain. Penulis bisa disapa di Ig: Oliviela15.