Kolom - Afifah Nadhirah | Pancasila dalam Isi Dompet Skin Care - Suara Krajan



Dahulu saat masih menginjak bangku sekolah dasar, bersama kesombongan kupamerkan kepada teman-teman mengenai sebuah hafalan lima isi dari pancasila yang merupakan sebuah kewajiban untuk dihafalkan. Sebatas Menghafal tanpa tahu makna dari setiap silanya, Sebab bagi ku saat itu menghafal saja sudahlah cukup. Hingga waktu menuntunku ke langkah yang lebih jauh. Saat kedua mata melihat realitas bangsa, benakku mengatakan ingin memahami dan mencintai makna sakti itu. bagaimana tidak, ketika berbagai penyimpangan terlihat di mataku mulai dari kasus besar seperti korupsi keuangan Negara dengan jumlah besar yang seharusnya mendapatkan hukuman tidak terampunkan karena telah merugikan banyak pihak sampai kepada kasus yang terkecil namun perlu untuk dicegah. Sesal terlintas di kepala karena pernah menjadi orang yang pernah tidak menghiraukan arti dari pancasila.

Keberadaanku saat ini dilingkungan lembaga pendidikan yang berbasis pesantren. Disinilah aku tersadar akan makna sakti pancasila. Aku memahami apa itu toleransi saat teman-teman yang datang untuk menuntut ilmu berdatangan dari berbagai wilayah, daerah yang pastinya memiliki perbedaan bahasa, suku, ras, adat dll. Aku senang berada di tempat ini, tempat yang bagiku menghadirkan ketenangan tersendiri. Mengubah watak yang dulunya selalu meremehkan sesuatu menjadi pribadi yang peduli akan hal sekecil apa pun itu.

  Keberagaman menyelimuti keseharianku dari berbagai kepala yang berbeda bernaung dalam satu atap yang sama. Karakter teman-teman telah menjadi salah satu hal yang perlu juga untuk aku hafal. Tak jarang dari kami ada yang berbeda pendapat ketika saat berdiskusi mengenai pelajaran atau saat musyawarah mengenai organisasi. Namun  keberadaan perbedaan ini menunjukkan akan kemajemukan bangsa Indonesia. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah sila kedua dari pancasila yang memilki arti bahwa setiap manusia saling membutuhkan satu sama lain untuk menjadi satu sistem yang kuat. Dan memperlakukan setiap orang dengan adil dan setara sesuai hak serta kewajiban asasi manusia.

            Bagian dari sikap toleransi yang biasa ku temui diasramaku adalah saat beberapa temanku, mereka tengah asyik menunggu giliran untuk saling menceritakan dan mendengarkan bahasa khas daerah masing-masing, atau dengan penuh semangat mereka memperkenalkan makanan khas daerah masing-masing sehingga menyihir para pendengar untuk ingin mencicipi makanan yang disajikan dalam penyampaian yang sempurna. mulai dari temanku yang berasal dari Lombok, jawa, flores, Madura, Palembang, Sulawesi, juga Kalimantan. Rasa ingin tahu mereka membuat teman-teman tidak segan mempraktikkan bahasa daerah mereka masing-masing. Bentuk duduk lingkaran yang mereka tata, serta isi pembicaraan mereka terlihat sangat renyah di dalam kelas, makin sadarlah diriku bahwa saling menghargai dalam kebersamaan itu sangat penting.

Suara tangis terdengar di sudut kamar asramaku, sontak aku bertanya-tanya apa yang membuat salah satu santriwati itu menangis? “Dia dikeluarin dari pondok karena udah menggelapkan uang orang tuanya”  Rika menyahut. Mendengar hal itu aku tentunya merasa tidak percaya bahwa adik dari salah satu mahasiswi terbaik yang telah menjadi alumni melakukan tindakan yang tidak seharusnya, terlebih lagi statusnya adalah sebagai santri. Namanya Nabila, dia adalah tipe orang yang begitu memperhatikan penampilan dari yang lainnya. Setiap ada sesuatu yang trend dia berprinsip harus memiliki apa yang menjadi trend itu. contohnya sepatu bermerk, baju, sampai kepada skincare yang dijual dengan harga yang membuat para orang tua tercengang jika mengetahui harganya.

Begitu jelinya Nabila dalam memperhatikan arus gaya penampilannya. Hingga tak sadar yang seharusnya menjadi utama telah dikesampingkan. Saat Gina datang ke kamar asrama menghampiri Nabila dengan membawa benda kecil ditangan yang tampaknya selalu bisa ditebak oleh Nabila “ produk baru lagi Gin? ” dengan ekspresi bahagianya ia bertanya.

“ iya, ini ada produk baru lagi. Sudah banyak loh orang yang pakek skin care ini, muka mereka jadi glowing. ” Gina menunjukkan benda kecil penyebab Nabila tersenyum senang, yang ternyata itu hanya salah satu bagian dari satu paket skincare itu. berarti jika ingin membelinya tidak cukup dengan hanya membeli satu bagian saja, sebab serum, cream siang/malam, toner dan yang lainnya akan merasa iri jika Nabila hanya memilih facial wash saja. Sehingga hati Nabila tertuntut untuk memiliki semua bagian dari satu paket skin care baru itu tanpa tau skin care yang baru saja sebulan lalu dia beli masih tersisah banyak di lemarinya yang terpaksa dilengser posisinya dalam lemari sebab ada yang lebih baru dihati Nabila.

Gina yang berasal dari keluarga pas-pasan sudah bisa menebak bahwa dia akan selalu merasa senang jika menawarkan berbagai barang-barang baru kepada Nabila, sebab karenanya lah dia akan mendapatkan untung dari barang yang dijualnya. Yang kemudian hasil untung dari penjualannya itu kembali dia kelolakan untuk dapat juga membeli barang-barang baru serta skincare untuk menyamakan gaya penampilan Nabila.

Dengan penuh kehati-hatian Nabila merapikan berbagai alat make up nya. Satu paket skincare produk baru tak lupa dia susun di posisi paling terdepan. Ketika sedang merapikan lemari dia menemukan dua lembar kertas kuitansi pembayaran semester lalu. pembayaran uang semester kuliah, spp pondok dan termasuk biaya lainnya, yang karena itulah kemudian dia ingat jika dirinya memiliki tunggakan pembayaran pada pondok selama enam bulan. Dengan penuh kehati-hatian pula dia membuka isi dompet untuk memastikan berapa uang yang tersisa di dalamnya. Namun sangat disayangkan. Setelah rasa gembira yang baru hitungan jam dia rasakan, sekarang digantikan oleh perasaan takut. Prediksi buruk mulai melintas di pikirannya, tentang bagaimana kalau bapak zaid bagian administrasi kembali memanggil dirinya untuk segera melunasi utang-utang lalu. Sedangkan isi dompetnya sekarang tidak akan cukup untuk membayar uang spp walau hanya satu bulan.

Pagi hari adalah waktu di mana para santri diselimuti semangat untuk melangkahkan kaki menuju kelas pada dirosah sobahiyah, setelah sebelumnya saat setelah subuh pergi ke rumah Nyai untuk mengaji kitab dengan panggilan populernya “ kitab kuning”. Diskusi dikelas yang baru saja di mulai dalam pengawasan ustadzah. Pembahasan diskusinya mengenai ” peran lembaga pesantren di Indonesia “. Diskusi itu berjalan dengan sempurna, para santriwati yang dalam satu kelas itu berjumlah tiga puluh orang rata-rata aktif memberikan argumen mereka. Namun mandet ketika ustadzah melontarkan pertanyaan kepada Nabila dan juga Gina yang sedari tadi saling sibuk menunjukkan punggung tangannya yang sedikit berubah menjadi lebih cerah setelah memakai body lotion yang juga bagian dari produk baru yang ia beli.

            Sebentar lagi kita akan ikut memeriahkan hari ulang tahun Indonesia tanggal 17 Agustus, ustadzah ingin bertanya “apakah santri Indonesia telah menerapkan nilai sila pertama? “ sungguh mudah menjawab pertanyaan itu bagi mereka anak muda yang benar-benar mengerti dan memahami akan  pentingnya pancasila. Namun pertanyaan itu tak kunjung mendapat jawaban dari Nabila ataupun Gina dikarenakan tidak tahu apa yang seharusnya mereka ucapkan perihal pertanyaan dari sang ustadzah.

Tidak jarang kebohongan Nabila lakukan ketika hendak meminta uang saku bulanan. Menelpon orang tua dan kemudian rela berbohong untuk bisa mendapat uang saku lebih dengan berbagai alasan ada kebutuhan organisasi, ada kitab ini yang harus dibeli dll, padahal kenyataannya uang itu digunakan untuk menyenangkan hatinya sendiri dengan menuruti nafsu. Tindakan korupsi ini tercela dilakukan lantaran mau memenuhi kebutuhan dirinya yang sebenarnya bukanlah suatu hal yang harus diutamakan jika dibandingkan dengan pendidikannya. Dan sekarang dampak dari perbuatannya itu baru terasa, dikeluarkan dari pondok dengan meninggalkan rasa malu serta tunggakan uang yang berbulan bulan sudah tidak dibayar.

  Generasi muda sekarang ini pemberani, bahkan dia bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan anak zaman dahulu. Tak jarang pada zaman ini kita lihat perlakuan seorang murid terhadap gurunya yang tidak sopan, memperlakukan guru layaknya teman sebaya. Teringat cerita guruku akan murid-murid pada masa lampau yang begitu ta’dzim terhadap gurunya. Jangankan terhadap gurunya, ayam milik sang guru saja mereka sayangi apalagi terhadap guru mereka.

Berbeda dengan anak zaman sekarang ini, yang ditakuti bukan lagi seperti apa yang ditakuti anak zaman dahulu tetapi yang ditakuti adalah ketinggalan gaya hidup yang modern. Yang tanpa disadari menuntun kepada perusakan moral generasi bangsa.

Melintas di pikiranku suatu kemirisan, tindakan itu seharusnya tak dilakukan seorang yang di setiap zaman selalu disebut sebut sebagai penerus bangsa ini, besar harapan Para pejuang negeri ini kepadamu. Bung Karno pernah berkata “beri aku seribu orang tua, niscaya kan kucabut semeru dari akarnya, dan berikan aku sepuluh pemuda niscaya kan kuguncangkan dunia”. Kata penuh makna itu bertujuan untuk mendorong anak muda terlibat aktif dalam memajukan bangsa, agar menjadi Negara yang maju, beradab dan berdaya saing. bukan malah untuk melakukan penyelewengan.

 

Afifah Nadhirah, Asal Sumenep. Mahasiswa Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan (IDIA)

 

 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak