Cerpen Sima Diana Islami | Kilas Balik - Suara Krajan



 Aku masih ingat saat-saat itu, saat di mana kita bisa tertawa lepas dengan semua candamu. Saat di mana kita menghabiskan waktu seharian. Saat di mana kau selalu menemani hari-hariku. Saat kau ada di sampingku ketika aku membutuhkan tempat untuk berbagi. Dan saat-saat yang lainnya yang kita lakukan bersama. Semua itu seakan telah lenyap dengan berjalannya waktu. Sekarang... Sekarang kau telah berubah, kau tidak sama seperti dulu. Entah apa yang membuat hal itu terjadi.

"An! Ana?" Suara itu membuyarkan lamunanku. "Kamu kenapa?" tanya lelaki itu.

"Nggak kenapa-kenapa," jawabku.

"Nggak usah bohong, aku tahu kok kalau kamu kenapa-kenapa. Kamu kenapa hmm?" tanyanya sekali lagi.

"Huft. Sebenarnya, aku nggak tahu sampai kapan aku bisa bertahan, aku nggak tahu sampai kapan aku kuat menghadapi rasa sakit ini. Jujur, aku udah nggak kuat, Al. Hari demi hari, luka-luka ini semakin bertambah, tapi..." Aku menggantungkan perkataanku. Sungguh, aku tak mampu untuk mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang selama ini selalu aku sembunyikan darinya. Namun mungkin saat ini yang tepat untuk mengatakannya.

"Tapi?"

"Tapi perasaanku malah semakin dalam."

"An, maaf."

"Untuk apa?"

"Karena telah memberimu luka seberat itu."

Hening... Ya, kita memilih diam satu sama lain. Tidak ada lagi pembicaraan di antara kita. Mungkin rasa canggung yang sedang bertahta, sehingga hanya ada keheningan di antara kita.

"Al!" Aku terpaksa membuka pembicaraan.

"Ya?" Dia menoleh kepadaku, meski aku masih setia menatap lurus kedepan.

"Aku tahu kamu tidak mengikatku, dan memang tidak ada ikatan apa pun di antara kita. Tapi, selama ini aku merasa seakan aku adalah milikmu, tapi kamu bukan milikku. Selama ini aku diam, karena sungguh aku tidak tahu harus berhenti atau bertahan. Namun sekarang aku sadar, bertahan pun akan menambah rasa sakit yang kurasa. Jadi mulai sekarang, aku memohon kepadamu, lepaskan aku."

"Kamu kenapa sih, An?" tanyanya kaget.

"Mungkin selama ini aku yang salah, Al. Aku terlihat tidak menghargaimu. Aku terlihat terlalu egois. Aku yang terlalu mengikuti egoku. Aku yang terlalu pengecut untuk itu semua. Namun jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku sungguh sangat menghargaimu, bahkan aku berharap lebih terhadapmu. Mungkin cara yang aku ambil itu salah menurutmu, dan menurut orang lain. Tapi itulah caraku, aku hanya mampu mengutarakannya dengan diam. Mungkin itu yang membuatmu seperti ini. Mungkin itu yang membuatmu beralih. Mungkin karena itu. Aku minta maaf untuk itu semua. Dia... dia lebih baik daripada aku. Aku tahu itu, iya kan? Aku tahu mungkin mengikhlaskanmu itu sulit, tapi jika kebahagiaanmu ada padanya, aku rela. Dia bisa lebih membahagiakanmu. Dia..."

"Kamu ngomong apa sih, An? Dengar, dia hanya teman dekatku, tidak lebih. Iya, aku akui, aku menyayanginya, tapi itu hanya sekedar sayang, gak lebih," ucapnya memotong pembicaraanku.

"Maaf, Al. Mungkin sekarang kau hanya sebatas sayang kepadanya, tapi suatu saat, siapa yang tahu? Aku tahu kok, ada rasa lebih di antara kalian. Aku tidak mau menuntutmu, karena aku masih sadar siapa diriku. Bukankah kamu sendiri yang bilang, jika aku tidak boleh melarangmu dekat dengan dia? Aku mengerti arti dari kata-katamu itu, Al. Aku paham. Aku tahu, kamu pasti bahagia bersama dia. Jadi, kumohon hentikan ini semua. Mungkin, ini memang jalan terbaik yang Tuhan berikan. Jika memang Tuhan telah menakdirkan kita berdua, Dia pasti akan menyatukan kita kembali. Namun satu hal yang harus kamu tahu, anganku masih tetap sama. Aku masih berharap, meskipun jalan yang kita ambil berbeda, namun tujuan kita masih tetap sama. Lagi pula, kita juga akan segera lulus, kan? Mungkin itu akan membantuku menyembuhkan luka-luka ini. Aku yakin, aku akan sembuh."

"Kenapa kamu melakukan ini semua, Ana? Kenapa?"

"Maaf, Al. Sekali lagi, maaf."

"Oke kalau itu maumu. Aku akan melakukannya. Meskipun aku tahu itu akan sulit, bahkan tidak mungkin untuk aku lakukan, tapi yang harus kamu tahu, An, rasaku masih tetap sama, masih sama seperti dua tahun yang lalu, rasa ini tidak berubah. Dan aku yakin sampai kapan pun tidak akan berubah. Tapi kalau memang maumu demikian, aku akan melepaskanmu. Aku akan melakukan apa yang kamu minta."

"Terima kasih, Al. Terima kasih atas semua yang telah kamu lakukan kepadaku, dan semua kebaikanmu. Aku tidak akan melupakan hal itu."

Selasai. Kata itu yang mampu menggambarkan semuanya. Sungguh, aku tidak berharap kata-kata itu muncul dari mulutku, namun aku harus bagaimana? Aku sudah terlalu lelah dengan semua ini. Aku lelah. Mungkin dengan ini, rasa sakitku akan berkurang, dan bahkan akan hilang. Terima kasih atas segalanya.

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak