Cerpen Riris Aida Rahma | Perempuan dalam Belenggu - Suara Krajan

 

Semua manusia lahir di tengah budaya. Tidak ada yang bisa menolak budaya. Termasuk saya yang berandai dapat memilih untuk tidak berada di keadaan liminal seperti itu.

Stasiun melenggang, saya menuruni gerbong kereta Kertajaya yang telah mengantarkan saya dari Stasiun Pasar Turi ke Stasiun Brebes. Kepulangan saya ke kota kelahiran ini bukan tanpa tujuan, melainkan dua hari lagi adalah hari raya idul fitri. Keluar dari pelataran stasiun, saya langsung diantarkan oleh tukang ojek menuju kampung saya yang berjarak kurang lebih 2 kilometer. Kampung saya berada di perbatasan budaya Jawa–Sunda dan kondisinya sudah berbeda jauh dengan empat tahun yang lalu sebelum saya memutuskan melanjutkan pendidikan di kota orang. Setibanya di rumah, saya sudah disambut oleh Bapak dan Ibu.

“Perjalanan lancar, Nduk?” Tanya Ibu, orang pertama yang selalu mengkhawatirkan saya.

“Lancar, Bu. Gak sampai ketinggalan kereta kok.” Jawab saya.

Yo wes, sana istirahat. Nanti ikut Ibu belanja buat acara buka meja,” suruh Ibu membuat saya langsung terkulai lemas.

            Saya benci setiap kali mendengar tradisi itu. Anehnya banyak gadis-gadis di kampung saya justru sangat menantikan acara tersebut.

            “Memang kita mau ikut acara itu?” Tanya saya.

            “Ya iya, kan kamu sudah gedhe!" Kali ini Bapak menyahut dari ruang tamu sambil menyeruput kopi pahit kesukaannya.

            “Gita gak mau ah Pak, nanti kalau ada yang melamar Gita gimana? Gita kan masih belum siap menikah muda!” Tolak saya.

            Saya memang hopeless romantic, tapi bukan berarti saya tidak pernah jatuh cinta sebelumnya. Saya masih ingat, sewaktu SMA saya pernah menyukai anak Pak RT yang rumahnya tidak jauh dari rumah saya, Revan namanya. Dulu kami sering pulang sekolah bersama. Tapi Bapak bilang itu hanya 'cinta monyet'. Terakhir kali saya dengar kabar tentang Revan, kalau dia mendaftar angkatan militer.

            Wes lah, nurut sama Bapak!”

            “Gita dua puluh dua tahun selalu nurut sama Bapak, Gita mau bangun karir dulu, Pak. Lagi pula kampung kita mau sampai kapan melestarikan budaya patriarki itu?”

            Saya tidak tahan lagi, meskipun saya hidup dikeluarga yang sederhana dan Bapak selalu mencukupi kebutuhan saya, segala keinginannya harus saya turuti. Apalagi warga di kampung saya yang kental patriarki menjadikan perempuan sebagai objek yang harus menyesuaikan standar laki-laki.

            “Buka meja ini adalah ajang untuk mempererat tali silaturahmi, Git!” Tegas Bapak.

            “Ajang silaturahmi atau ajang gengsi dan pamer kekayaan, Pak?”

            Sebelum berlanjut menjadi perdebatan, Ibu segera menghentikan aksi kami dan menyuruh saya segera masuk ke dalam kamar.

 

***

 

            Sebelum acara buka meja, semua warga di kampung saya yang memiliki anak gadis atau perawan akan berlomba-lomba pergi berbelanja kudapan yang enak dan mewah sementara anak laki-laki atau bujang akan membuat petasan. Namun, kemarin saat saya pulang dari berbelanja dengan Ibu, saya melihat rumah Pak RT sepi.

            “Apa Revan tahun ini tidak ikut buka meja, Bu?” Tanya saya sambil memotong sayuran. Apa saya terlalu merindukan cinta lama saya?

            Emboh yo, Git. Setahu Ibu, Revan itu sekarang sudah di tempatkan kerja di luar pulau. Pastinya jarang pulang.” Jawab Ibu.

            “Kok belum ganti baju, Git? Wes jam berapa ini? Abis sholat magrib, bujang-bujang itu pasti kesini!” Suruh Bapak saat keluar dari kamar mandi.

            Lagi-lagi saya harus terpaksa mengikuti keinginan Bapak. Bisa dibilang saya seperti hidup di dalam botol yang tidak tahu bagaimana caranya keluar dari dalam sana. Saya pun beringsut menuju kamar untuk bersiap–siap. Setahu saya para gadis akan berdandan sesuai dengan bagaimana laki-laki mempersepsikan kecantikan, namun saya berdandan seadanya.

            Sampai menjelang sholat tarawih, barulah terdengar seseorang menyalakan petasan di pekarangan rumah saya sebagai pertanda ada bujang yang akan bertamu. Saya segera menyambutnya di ruang tamu dengan senyuman dan menyuguhkan kudapan yang sudah keluarga kami siapkan.

            “Nama saya Aditya.” Ucapnya sambil mengulurkan tangan pada saya.

            Saya menjabat tangannya, “Saya Gita.”

            Sambil menikmati kudapan sambil melanjutkan obrolan dengan Aditya. Katanya dia tinggal di kampung sebelah dan sekarang bekerja sebagai pengusaha. Semakin lama Aditya minta dilayani yang aneh–aneh layaknya raja. Tiba-tiba dia mendekatkan duduknya pada saya dan dengan lancang memegang tangan saya kemudian meraba-raba pinggang saya tanpa izin sambil meluncurkan rayuan-rayuan nakal. Dengan mata berkaca-kaca, saya langsung menamparnya dengan keras lalu berlari ke dalam kamar dan menangis sejadi-jadinya.

            Dari luar, Ibu dan Bapak saya terus menggedor-gedor pintu kamar saya. Kata Bapak saya harus minta maaf pada Aditya karena sudah berbuat tidak sopan pada tamu tetapi saya tidak peduli. Berselang kemudian, saya mendengar ada bunyi petasan lagi dari pekarangan rumah saya. Saya bersumpah tidak akan keluar dari kamar dan menemui tamu–tamu itu lagi.

            “Gita ayo keluar, ada Revan mau ketemu ini lho!"

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak