Kaki
melangkah ke timur. Melawan bayangan diri matahari pagi. Memandang jauh ke awan
merah. Merah jingga tepatnya. Ku coba menembus batas jagat yang hampa. Pagi
yang Berat. Berselimut merah jingga perlahan pudar. Beransur hangat. Sengat mentari ingatkan
langkah ini mengarah. Di punggung, ransel, terisi barang berbau anyir. Sekalipun ada kain dan parfum. Tetap anyir. Sudah
tiga hari bau itu melekat hidung. Hawa
kematian.
Tepat
di lokasi terasa semakin berat. Melekat tak mau lepas. Banyak anak kecil berlarian.
Mereka asik mandi bola di toko sebelah kiri food
courd. Orang-orang makan. Bergantian, bergiliran untuk menambah energy kerja sisa hari. Kaki usaha mencari
arah ideal. Memilih menemukan sasaran. Di ujung sana anjungan. Itu digunakan pidato
kebesaran. Petugas lalu lalang. Entah sejak kapan siaga. Bisa sepekan
sebelumnya, bisa sebulan lewat. Sudah Dipersiapkan. Memeriksa setiap orang
datang tak terkecuali. Dari tempat ini terlihat benar semua waspada. Hanya pengunjung
mall ini yang tampak riang senang tak tahu ancaman ada.
Siapa
pun bisa ditangkap dalih keamanan. Bahkan bisa ditembak ditempat. Kode rahasia
berusaha mereka sembunyikan. Tetap terbaca olehku. Tas Hitam kuletakan. bersebelahan
kedua kaki. Tumit bergetar menyentuh bagian keras ujung tas. Hati-hati dengan
tas ini! Itu pesannya. Giroh musti terus
di jaga. Bisikan mati mulia. Bagai desingan peluru keluar dari kerongkongan
mereka. Seia sekata. Perintah pimpinan terasa penuh dikepala. Ingat! Jangan
goyah! Lakukan! Perjuanganmu perjuangan kita. Kita selalu ada. Surga kelak kita
berjumpa. Demikian dengungan isi kepala.
Dari
tempatku, kurang lebih tiga ratus meter. Di sana akan banyak orang datang. Berpidato,
berbusa-busa janji harapan. Disitulah kami berencana. Kami bersekongkol dalam
doa, dalam amarah, dalam kebencian, bahwa semua adalah kesucian. Jangan salah.
Penjahat kelas teri pun berdoa setiap aksinya. Setiap orang memiliki kebaikanya.
Salah jika mereka bisa baik kepada semua. Justru itu menyiksa hati dan raga
sendiri. Kami tak berkesempatan bertanya, kecuali lakukan perintah. Lakukan!
dan lakukan! itu saja. Menghitung kondisi terbaik dan terburuk. Lolos sampai di
tempatku duduk sudah bagus. Lihat sistem keamannya. Beberapa barikade maupun angen
siluman terkelabuhi. Manjur. Jampi-jampi doa dan nasbah pembesar selalu
menguatkan tekat.
Kopi
panas masih di meja. Di samping koran harian. Kursi depan kosong. Café
strategis di tengah kota. Begitu indah. Berehat di food court tengah trotoar. Lalu lalang pejalan kaki tampak pucat dimatamorgana.
Koran habis terbaca. Sampai layanan advertorial. Seseorang mendekat. Sosok
kekar bertampang kaku. Wajah itu tertempa kedisiplinan gladi fisik teratur. Dia
petugas berpakaian freeman.
“Siang
…” Ia berdiri di depanku.
“Siang.”
Jawabku tenang.
“Sendirian
..?”
“Iya
…” saya keluarkan kartu identitas samaran.
“Oh
… Bapak BERTUGAS? Baik. Selamat bekerja.” Petugas mengakhiri lalu menjauh.
Hari
sudah paruh waktu. Matahari tepat di kepala. Belum terlihat tanda rombongan
datang. Kulihat jam digital beberapa kali. Biasa kegiatan repetisi menunggu.
Beberapa meter dari tempatku, seorang perempuan bersama anak kecil mendekat.
Bergandengan tangan bawa es krim. Sesekali mereka nikmati di teriknya mentari sambil
jalan. Anak itu menunjuk kursi kosong, satu meja denganku. Perempuan, kira-kira,
seumuran istriku melihat. Sesekali membetulkan derai rambut panjangnya segan menatapku.
Cantik. Aku paham keraguannya adalah permintaan ijin bergabung satu meja
denganku. Aku melihatnya. Mengangguk. Mempersilahkan.
“Trimakasih, mas.” Katanya
Aku
hanya mengangguk. Berlanjut membaca koran. Mengabaikan kehadirannya adalah
benar. Semua yang tidak berkepentingan akan merepotkan dalam misi bengis ini.
“Paman,
paman, mau es krim?” Anak laki-laki kecil seumuran anaku, menyodorkan.
“Huusst
... !“ Cegah wanita itu, “Tidak sopan dJiwo. Tidak boleh!” maafkan anak saya
ini, mas.”
Aku
mengangguk tanpa kata. Kembali membaca. Kaca mata hitam ku kenakan. Membantu menajamkan,
mengawasi, sekitar. Bergegas menjauh dari kerepotan pertama.
“Paman,
aku juga punya kaca mata.” Kata anak itu mengajak bicara “Ini ... Bagus bukan?”
Kacamata kaca hitam di ujung samping ada pola love berwarna kuning.
Iba
juga hati ini melihat keberanian dan keramahan anak ini.
“Maaf,
mas. Anak ini memang bandel....”
Aku
kembali mengangguk. Mataku tertuju pada anak itu. Ku berjongkok.
“Siapa
namamu, nak?” Tanyaku. Aku ulurkan tanganku berjabat.
“Among
dJiwo paman.” Dia angkat tangang tinggi meminta TOS.
“Baik.
Anak pintar. Kamu lebih senang – tos- ya, hemnnn ... siapa yang mengajarimu,...
?”
“Mamah,
paman...”
Aku
terima permintaan toss anak itu. Dia melepas kacamata hitamnya. “Paman mau
tidak pakai kaca mata ini?” Mintanya.
Aku
tersnyum. Anak ini pemberani. Benar sungguh pemberani.
“Trimakasih,
Djiwo. Maukah kaca mata paman?” Aku lepas kaca mataku.
Kami
bertukar. Dan segera aku meninggalkan mereka. Wanita itu tersenyum ramah.
Senyuman berat, mohon maaf atas kelancangan anaknya, tanpa berucap maaf sekian kalinya.
Tampak ia ingin berbincang. Terlihat caranya melihat. Mungkin segan atau karena
memang aku tidak mencoba memberi peluang. Kami pun bersapa untuk yang terakhir
kali tanpa prosesi bekenalan.
Dari
kejauhan motor sirine menderu. Rombongan mobil di kawal four rider dan pasukan lengkap bersenjata. Aku terfokus kearah
suara rombongan. Mendekat dengan waspada. Ransel aku jinjing. Kamera aku
keluarkan juga kartu samaran. Sempurna. Berjalan mendekat aku sempatkan lihat
wanita dan dJiwo yang berkaca mata dariku. Jarak seratus meter ku atur rencana.
Hp berdering pesan singkat. Symbol emoji. MISI CENCLE! Ada pembatalan. Lega
rasa hati. Semua tidak murah. Sejak pagi sudah mati rasa hati dengan tugas ini.
Semua musti di jalankan. Aku terhenti. Berbalik. Wanita dan dJiwo sudah tidak
ada di tempat semula. Segera aku mememsan taxi dan pergi dari tempat jahanam
ini.
***
Digedung
lantai 5 kami berkumpul. Hanya beberapa orang yang datang. Tidak sampai
puluhan. Kami berangkulan dan saling menguatkan. Beberapa jam kemudian datang komandan.
Masuk ruangan dan segera duduk paling ujung. Dia memimpin rapat.
“Salam
perlawanan, sobat...!”
Kata
komandan tenang penuh kewibawaan. Sudut matanya memerah. Kurang tidur.
“Salom
... Salom ... “ Jawab kami bersamaan.
“Baik.
Misi pertama cencle. Informasi intelegent target tidak ada di rombongan.”
Lega.
Untuk beberapa saat kami bisa menikmati udara pagi dan malam tanpa tugas hidup
dan mati. Diruangan tertentu aku letakan tas yang berisi perangkat jahanam.
Beberapa teman mengajakku berbincang. Diruangan senjata aku keluarkan isi tas
ransel. Aku letakan di meja dengan hati-hati.
“kamu
bawa apa itu Najib?” Tanya Tatar mendekat.
“Perbekalan.”
Jawabku
Tatar
anak baru bergabung. Terlihat benar belum paham semua perangkat yang menjadi
bagian dari senjata. Anak itu tampak sedikit jumawa. Ceroboh. Perilakunya dan
bicaranya. Aku selesai meletakan. Tas ransel sprey wewangian aku masukan di bufed kecil di bawahnya.
“Benda
apa ini Najib?” Tanya tatar otak atik kotak hitam yang aku letakan penuh
kehati-hatian.
“Bukak
saja! Perintahku. Lanjutku, “Kuharap dibuka dengan hati-hati. Salah sedikit
akan hancur tubuh kamu nanti.”
“Apa
? Peledak ?” Tatar urung dengan niatnya.
Pucat
pasi wajahnya setelah menyadari. Tanpa diperintah segera menjauh dari benda
jahanam itu. Aku ajak duduk di antara meja dan lampu di atas. Penerang muram.
Hanya 15 watt dayanya. Aku buatkan kopi duduk bersama. Masih diam. Berbeda
dengan awal yang bayak bicara. Mungkin sedang meyadari jika kelancangan juga
kecerobohanya bisa merobohkan bangunan di mana ia berada saat ini.
“Silahkan
minum...Tatar!”
Dia
mengambil kopi dan meminumnya beberapa kali. Dia duduk didepan berhadapan.
Selayaknya prosesi introgasi.
“Sudah
berapa lama kamu bergabung di devisi ini?”
“Baru
seminggu....” Jawabnya pendek.
“Jika
kurang gulanya bisa ambil di bufed di bawah benda itu.”
“Tidak.
Sudah cukup.” Jawabnya enggan melihat benda jahanam itu.
“Baik.
Jika tidak ada kepentingan kamu bisa melakukan kegiatan selain diruangan ini.
Sudah mendapat deploy dari komandan?”
“Iya....”
“Apa
yang kamu butuhkan?” Tanyaku.
“Benda
itu...” Sambil menunjuk kotak berisi rangkaian jahanam.
Aku
mengangguk. Tugas dialihkan ke Tatar. Komandan meminta aku menjadi Asesor
devisi. Aku menghela nafas berat.
Membuang nafas ke udara yang pengap.
***
Semua
bertepuk tangan. Iwan sang sutradara terlihat puas. “Cat ....!” Teriak
Sutradara. “Bagus! Tolong di catat scene
terakhir!” Perintah Sutradara pada asisten.
Besuk pagi shooting
dilanjutkan. Jangan sampai terlambat! Ingat
pekan depan harus selesai. Film dokumenter ini. Musti jadi!”
Semua
crew dan pemeran berkemas. Lelah tidak
terasa saat pekerjaan tak kunjung usai. Tema yang berat. Karakter, menemukan
riil aksi, tidak mudah dicapai untuk film dokumenter ini.
“Eka
... bisa kesini sebentar ..!” minta Sutradara padaku.
“Baik
...”
“Trimakasih
mau menjadi pemeran di film ini...”
“Tidak
masalah... Ada yang lain?” Aku meminta jika ada sesuatu yang lain.
“Begini
... besuk maukah kamu menjadi pemeran kembali di film yang akan aku produksi
..?”
“Dengan
senang hati ... Wan” Jawabku
“Saya
berkeinginan mengankat , film tragedi Munir ... Bagaimana menurutmu ...?”
Aku
terdiam. Ada perasaan sedikit ragu. Kenapa Iwan memilih film-film yang tidak
populer.
“...
Aku mencoba mengabadikan pengalan-pengalan sejarah kelam. Bahwa sejarah penting
menjadi brenggala. Tidak lebih dari itu. Peradaban akan maju ketika mampu
memberikan tempat yang tertinggi dalam capaianya. Yaitu kemanusiaan. Seberapa
megahnya bangsa, seberapa kayanya bangsa, tanpa ada kemanusiaan maka tidaklah
ada apa-apanya. Dengan film ini saya berusaha mengajak ke sana, Eka. Bagaimana
dengan kamu?”
“Baik,
setuju....” Aku mengangguk. Aku gapai tangan Sutradara muda ini.
“Trimakasih
....” Iwan merangkul Aku erat seperti punya teman yang lebih dari sekedar teman.
Selesai
Solo, 5 Oktober 2022
Penulis: Ken nJawi Dwipa (Nama Pena Didik Haryanto). Guru Seni Budaya SMP Negeri 9 Surakarta. Jl. Dr Rajiman 521, Surakarta Pos 57148 Kampung Batik Laweyan Surakarta. Phone: WA. 089523044904