Cerpen Ken nJawi Dwipa | Bom - Suara Krajan

 


Kaki melangkah ke timur. Melawan bayangan diri matahari pagi. Memandang jauh ke awan merah. Merah jingga tepatnya. Ku coba menembus batas jagat yang hampa. Pagi yang Berat. Berselimut merah jingga perlahan pudar.  Beransur hangat. Sengat mentari ingatkan langkah ini mengarah. Di punggung, ransel, terisi barang berbau anyir.  Sekalipun ada kain dan parfum. Tetap anyir. Sudah tiga hari bau itu melekat hidung.  Hawa kematian.

Tepat di lokasi terasa semakin berat. Melekat tak mau lepas. Banyak anak kecil berlarian. Mereka asik mandi bola di toko sebelah kiri food courd. Orang-orang makan. Bergantian, bergiliran untuk menambah energy kerja sisa hari. Kaki usaha mencari arah ideal. Memilih menemukan sasaran. Di ujung sana anjungan. Itu digunakan pidato kebesaran. Petugas lalu lalang. Entah sejak kapan siaga. Bisa sepekan sebelumnya, bisa sebulan lewat. Sudah Dipersiapkan. Memeriksa setiap orang datang tak terkecuali. Dari tempat ini terlihat benar semua waspada. Hanya pengunjung mall ini yang tampak riang senang tak tahu ancaman ada.

Siapa pun bisa ditangkap dalih keamanan. Bahkan bisa ditembak ditempat. Kode rahasia berusaha mereka sembunyikan. Tetap terbaca olehku. Tas Hitam kuletakan. bersebelahan kedua kaki. Tumit bergetar menyentuh bagian keras ujung tas. Hati-hati dengan tas ini! Itu pesannya. Giroh musti terus di jaga. Bisikan mati mulia. Bagai desingan peluru keluar dari kerongkongan mereka. Seia sekata. Perintah pimpinan terasa penuh dikepala. Ingat! Jangan goyah! Lakukan! Perjuanganmu perjuangan kita. Kita selalu ada. Surga kelak kita berjumpa. Demikian dengungan isi kepala.

Dari tempatku, kurang lebih tiga ratus meter. Di sana akan banyak orang datang. Berpidato, berbusa-busa janji harapan. Disitulah kami berencana. Kami bersekongkol dalam doa, dalam amarah, dalam kebencian, bahwa semua adalah kesucian. Jangan salah. Penjahat kelas teri pun berdoa setiap aksinya. Setiap orang memiliki kebaikanya. Salah jika mereka bisa baik kepada semua. Justru itu menyiksa hati dan raga sendiri. Kami tak berkesempatan bertanya, kecuali lakukan perintah. Lakukan! dan lakukan! itu saja. Menghitung kondisi terbaik dan terburuk. Lolos sampai di tempatku duduk sudah bagus. Lihat sistem keamannya. Beberapa barikade maupun angen siluman terkelabuhi. Manjur. Jampi-jampi doa dan nasbah pembesar selalu menguatkan tekat.

Kopi panas masih di meja. Di samping koran harian. Kursi depan kosong. Café strategis di tengah kota. Begitu indah. Berehat di food court tengah trotoar. Lalu lalang pejalan kaki tampak pucat dimatamorgana. Koran habis terbaca. Sampai layanan advertorial. Seseorang mendekat. Sosok kekar bertampang kaku. Wajah itu tertempa kedisiplinan gladi fisik teratur. Dia petugas  berpakaian freeman.

“Siang …” Ia berdiri di depanku.

“Siang.” Jawabku tenang.

“Sendirian ..?”

“Iya …” saya keluarkan kartu identitas samaran.

“Oh … Bapak BERTUGAS? Baik. Selamat bekerja.” Petugas mengakhiri lalu menjauh.

Hari sudah paruh waktu. Matahari tepat di kepala. Belum terlihat tanda rombongan datang. Kulihat jam digital beberapa kali. Biasa kegiatan repetisi menunggu. Beberapa meter dari tempatku, seorang perempuan bersama anak kecil mendekat. Bergandengan tangan bawa es krim. Sesekali mereka nikmati di teriknya mentari sambil jalan. Anak itu menunjuk kursi kosong, satu meja denganku. Perempuan, kira-kira, seumuran istriku melihat. Sesekali membetulkan derai rambut panjangnya segan menatapku. Cantik. Aku paham keraguannya adalah permintaan ijin bergabung satu meja denganku. Aku melihatnya. Mengangguk. Mempersilahkan.

“Trimakasih, mas.” Katanya

Aku hanya mengangguk. Berlanjut membaca koran. Mengabaikan kehadirannya adalah benar. Semua yang tidak berkepentingan akan merepotkan dalam misi bengis ini.

“Paman, paman, mau es krim?” Anak laki-laki kecil seumuran anaku, menyodorkan.

“Huusst ... !“ Cegah wanita itu, “Tidak sopan dJiwo. Tidak boleh!” maafkan anak saya ini, mas.”

Aku mengangguk tanpa kata. Kembali membaca. Kaca mata hitam ku kenakan. Membantu menajamkan, mengawasi, sekitar. Bergegas menjauh dari kerepotan pertama.

“Paman, aku juga punya kaca mata.” Kata anak itu mengajak bicara “Ini ... Bagus bukan?” Kacamata kaca hitam di ujung samping ada pola love berwarna kuning.

Iba juga hati ini melihat keberanian dan keramahan anak ini.

“Maaf, mas. Anak ini memang bandel....”

Aku kembali mengangguk. Mataku tertuju pada anak itu. Ku berjongkok.

“Siapa namamu, nak?” Tanyaku. Aku ulurkan tanganku berjabat.

“Among dJiwo paman.” Dia angkat tangang tinggi meminta TOS.

“Baik. Anak pintar. Kamu lebih senang – tos- ya, hemnnn ... siapa yang mengajarimu,... ?”

“Mamah, paman...”

Aku terima permintaan toss anak itu. Dia melepas kacamata hitamnya. “Paman mau tidak pakai kaca mata ini?” Mintanya.

Aku tersnyum. Anak ini pemberani. Benar sungguh pemberani.

“Trimakasih, Djiwo. Maukah kaca mata paman?” Aku lepas kaca mataku.

Kami bertukar. Dan segera aku meninggalkan mereka. Wanita itu tersenyum ramah. Senyuman berat, mohon maaf atas kelancangan anaknya, tanpa berucap maaf sekian kalinya. Tampak ia ingin berbincang. Terlihat caranya melihat. Mungkin segan atau karena memang aku tidak mencoba memberi peluang. Kami pun bersapa untuk yang terakhir kali tanpa prosesi bekenalan.

Dari kejauhan motor sirine menderu. Rombongan mobil di kawal four rider dan pasukan lengkap bersenjata. Aku terfokus kearah suara rombongan. Mendekat dengan waspada. Ransel aku jinjing. Kamera aku keluarkan juga kartu samaran. Sempurna. Berjalan mendekat aku sempatkan lihat wanita dan dJiwo yang berkaca mata dariku. Jarak seratus meter ku atur rencana. Hp berdering pesan singkat. Symbol emoji. MISI CENCLE! Ada pembatalan. Lega rasa hati. Semua tidak murah. Sejak pagi sudah mati rasa hati dengan tugas ini. Semua musti di jalankan. Aku terhenti. Berbalik. Wanita dan dJiwo sudah tidak ada di tempat semula. Segera aku mememsan taxi dan pergi dari tempat jahanam ini.

***

Digedung lantai 5 kami berkumpul. Hanya beberapa orang yang datang. Tidak sampai puluhan. Kami berangkulan dan saling menguatkan. Beberapa jam kemudian datang komandan. Masuk ruangan dan segera duduk paling ujung. Dia memimpin rapat.

“Salam perlawanan, sobat...!”

Kata komandan tenang penuh kewibawaan. Sudut matanya memerah. Kurang tidur.

“Salom ... Salom ... “ Jawab kami bersamaan.

“Baik. Misi pertama cencle. Informasi intelegent target tidak ada di rombongan.”

Lega. Untuk beberapa saat kami bisa menikmati udara pagi dan malam tanpa tugas hidup dan mati. Diruangan tertentu aku letakan tas yang berisi perangkat jahanam. Beberapa teman mengajakku berbincang. Diruangan senjata aku keluarkan isi tas ransel. Aku letakan di meja dengan hati-hati.

“kamu bawa apa itu Najib?” Tanya Tatar mendekat.

“Perbekalan.” Jawabku

Tatar anak baru bergabung. Terlihat benar belum paham semua perangkat yang menjadi bagian dari senjata. Anak itu tampak sedikit jumawa. Ceroboh. Perilakunya dan bicaranya. Aku selesai meletakan. Tas ransel sprey wewangian aku masukan di bufed kecil di bawahnya.

“Benda apa ini Najib?” Tanya tatar otak atik kotak hitam yang aku letakan penuh kehati-hatian.

“Bukak saja! Perintahku. Lanjutku, “Kuharap dibuka dengan hati-hati. Salah sedikit akan hancur tubuh kamu nanti.”

“Apa ? Peledak ?” Tatar urung dengan niatnya.

Pucat pasi wajahnya setelah menyadari. Tanpa diperintah segera menjauh dari benda jahanam itu. Aku ajak duduk di antara meja dan lampu di atas. Penerang muram. Hanya 15 watt dayanya. Aku buatkan kopi duduk bersama. Masih diam. Berbeda dengan awal yang bayak bicara. Mungkin sedang meyadari jika kelancangan juga kecerobohanya bisa merobohkan bangunan di mana ia berada saat ini.

“Silahkan minum...Tatar!”

Dia mengambil kopi dan meminumnya beberapa kali. Dia duduk didepan berhadapan. Selayaknya prosesi introgasi.

“Sudah berapa lama kamu bergabung di devisi ini?”

“Baru seminggu....” Jawabnya pendek.

“Jika kurang gulanya bisa ambil di bufed di bawah benda itu.”

“Tidak. Sudah cukup.” Jawabnya enggan melihat benda jahanam itu.

“Baik. Jika tidak ada kepentingan kamu bisa melakukan kegiatan selain diruangan ini. Sudah mendapat deploy dari komandan?”

“Iya....”

“Apa yang kamu butuhkan?” Tanyaku.

“Benda itu...” Sambil menunjuk kotak berisi rangkaian jahanam.

Aku mengangguk. Tugas dialihkan ke Tatar. Komandan meminta aku menjadi Asesor devisi. Aku menghela nafas berat.  Membuang nafas ke udara yang pengap.

***

Semua bertepuk tangan. Iwan sang sutradara terlihat puas. “Cat ....!” Teriak Sutradara. “Bagus! Tolong di catat scene terakhir!” Perintah Sutradara pada asisten.  Besuk pagi shooting dilanjutkan. Jangan sampai terlambat! Ingat  pekan depan harus selesai. Film dokumenter ini. Musti jadi!”

Semua crew  dan pemeran berkemas. Lelah tidak terasa saat pekerjaan tak kunjung usai. Tema yang berat. Karakter, menemukan riil aksi, tidak mudah dicapai untuk film dokumenter ini. 

“Eka ... bisa kesini sebentar ..!” minta Sutradara padaku.

“Baik ...”

“Trimakasih mau menjadi pemeran di film ini...”

“Tidak masalah... Ada yang lain?” Aku meminta jika ada sesuatu yang lain.

“Begini ... besuk maukah kamu menjadi pemeran kembali di film yang akan aku produksi ..?”

“Dengan senang hati ... Wan” Jawabku

“Saya berkeinginan mengankat , film tragedi Munir ... Bagaimana menurutmu ...?”

Aku terdiam. Ada perasaan sedikit ragu. Kenapa Iwan memilih film-film yang tidak populer.

“... Aku mencoba mengabadikan pengalan-pengalan sejarah kelam. Bahwa sejarah penting menjadi brenggala. Tidak lebih dari itu. Peradaban akan maju ketika mampu memberikan tempat yang tertinggi dalam capaianya. Yaitu kemanusiaan. Seberapa megahnya bangsa, seberapa kayanya bangsa, tanpa ada kemanusiaan maka tidaklah ada apa-apanya. Dengan film ini saya berusaha mengajak ke sana, Eka. Bagaimana dengan kamu?”

“Baik, setuju....” Aku mengangguk. Aku gapai tangan Sutradara muda ini.

“Trimakasih ....” Iwan merangkul Aku erat seperti punya teman yang lebih dari sekedar teman.

 

Selesai

 

Solo, 5 Oktober 2022

 

Penulis: Ken nJawi Dwipa (Nama Pena Didik Haryanto). Guru Seni Budaya SMP Negeri 9 Surakarta. Jl. Dr Rajiman 521, Surakarta Pos 57148 Kampung Batik Laweyan Surakarta. Phone: WA. 089523044904

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak