8 Puisi Nur sodikin | Pagi Pak Tani - Suara Krajan

RINDU DENDAM 3
 
Mungkin aku adalah Doa
mungkin kau juga
Yaaa! mungkin saja kita semua adalah 
perwujudan sebuah Doa..
yahh sekurang kurangnya masih
sebuah balasan.


SEDERHANA SAJA
 
aku tak begitu ingin menjadi pagi saat kau membuka mata
atau mungkin mentari yang kau sambut mesra
seperti senja yang selalu kau tatap,
apalagi hujan yang kau ajak menari.
sederhana saja,
aku hanya ingin
menjadi rambut hitammu
sempat mendiami kepalamu
yang tak sengaja rontok saat kau sisir
lalu disambut tangan halusmu
dan kau sayangi kepergiannya
sesederhana itu.
 

PAGI PAK TANI
 
Rasa syukur pagi ini
kubuka jendela rumah
biar angin menyapa ramah
menarik nafas yang hampir saja gelisah.
 
Mana keramahan desa pagi ini?
benar saja dia mengumpul 
di warung mak tani 
di meja sedia segelas kopi
 
hah nikmat sekali
selera humor naik tinggi
ngobrol sana sini 
canda sana sini
mau itu basa basi ku tak peduli
ini pagi para petani
Sebelum memikul cangkul 
yang tak sempat tumpul.
 
Pagi pak tani! 
surya mulai meninggi
ladang menunggu
selalu butuh perhatianmu
tanaman yang subur puncaknya syukur
untuk hidup makin makmur.


GELADAK BIRU
 
aku orang indonesia
hutan dan gunung adalah rumahku
lalu mereka memindahnya ke kota 
sembari berkata,
 
biar bebatuan dan pepohonan ini ku satukan 
biar kalian bisa melihatnya dengan satu pandangan
kita orang desa patutnya percaya
mereka yang lebih pintar tentu lebih bisa bijaksana.
 
Kata bapak aku harus sekolah yang tinggi biar lebih dihargai
bertani tak lagi mencukupi
perlu menjadi buruh pabrik atau negeri
biar mendapat gaji untuk hidup sehari hari.
 
Aku hidup di desa dan hidup sederhana
kata guruku aku perlu makanan yang bergizi
tapi kata ibuku yang penting perut terisi
kata guruku aku perlu belajar yang rajin
tapi kata ibuku aku perlu bantu orang tua biar bisa makan ikan asin.
Bapak seorang petani 
panen tiap tiga sampai empat bulan sekali
namun hasil panen kami 
tak cukup untuk lima puluh hari.
Suatu hari nanti aku  ingin ke kota
untuk melihat megahnya indonesia
dan gedungnya yang tinggi tinggi
biar tidak hanya menonton dari televisi
mungkin hidup di sana lebih mudah
harga kebutuhan juga lebih murah
daripada di desa mau baju baru harus sabar dulu
menunggu berbulan bulan itu pun belum tentu
 
aku harus bangga jadi orang indonesia
seperti yang diajarkan guruku
dan aku harus bisa menjadi pekerja
seperti yang diajarkan ayah ibuku.


RUMAHKU
 
Angin barat angin timur angin selatan, angin utara
angin perubahan.
Langit siang langit malam, 
langit impian.
Sawah bawah gunung
lautan dan tanah seberang
desa, kota lama 
tanah air kita.
 
Teng teng teng
bunyi jam dinding tengah kota,
Itu bunyi tanda bahaya!.
masih tenang saja.
Hingga suara
jelas mengganggu terdengar dimana mana.
Menjerit berteriak,
'pergi berperang untuk tanah air!.
Obrolan canda ria 
di sela tangan menggebrak meja
terdengar suara entah siapa
ini soal hidup kita!.
Terik siang itu terasa panas meraba ubun kepala
kuambil saja senjata yang kupunya 
berangkat pergi bersama mereka.
Siapa takut mati
tak ingin terbelakang 
tentu digaris depan
pemberani yang patut dipuji
Di ujung jalan
lahan gersang
sejauh mata memandang
desahan nafas makin jelas 
selalu siap dengan serangan
di tanah gersang 
berkabut dedebuan
terpaksa pasukan terbagi
di Antara kanan dan kiri 
berkelompok dengan gagah berani
Aku, digaris kanan masih dekat ke kiri
disela kabut terpisah 
tak tau arah
mungkin masuk ke bagian kiri
 
kulihat gerombolan sebelum hilang 
para pejuang dengan senjata serabutan dengan mantap menembak 
hingga burung pun tak sanggup mengelak.

Mungkin sewindu perang terjadi 
atau baru dua hari
sambil berjalan tembak sana tembak sini 
suara bising serasa tak mendengar lagi
banyak yang mati, siapa peduli

Ini hari menuju malam
atau kabut yang semakin kelam
di jalan aku terjengkang 
masuk ke lubang jebakan.
Cepat saja senjata menodongku
dilihatnya lagi
selamatlah aku ia kawan sendiri
ditariknya aku 
dipeluknya aku
 
nadanya sayu berkata padaku,
Aku.!
Masih tak takut mati sampai saat ini
demi hidup dan tanah kita  
jelas rela menyumbang jiwa dan nyawa
 
tapi tak kutemukan musuhku 
padahal ingin kurajang tubuhnya 
sekalipun hanya mayat tak berdaya.
di sana sini
kulihat hanya bangkai saudara sendiri.
 
mulai lelah kurasai 
mencari musuh diperang ini
rasanya rindu kamarku
ruang tamu, lantai kayu, lukisan didinding biru
rumahku.
 
Entah kapan ini dimulai
juga apakah akan selesai
'hey kawan'
apakah kita akan pulang?
 
mungkinkah telah jauh kita berperang
hingga tak tau lagi jalan menuju pulang
rasanya selalu mendengung di dada,
kudengar bisikan itu, rumahku,
rumahku.


HASRAT
 
Siapa yang tak menatap? 
dunia yang tampak menawan
menyajikan beribu ribu keindahan
dari beragam angan angan
 
Siapa yang tak menetap? 
dihiasi harta tahta
dikelilingi wanita wanita
dicukupi segala kebutuhannya.
Siapa yang tak terbuai? 
ditinggikan namanya
di tandukan kepala kawanan nya
diberi kehormatan dan tahta
 
siapa yang tak lalai? 
dihantam nafsu
yang menggambarkan surga surga. 
hingga terbelenggu
lalu menjadi lupa.


BAHASA INDONESIA YANG BAIK
 
Aku tidak mungkin lupa dengan persamaan bahasa indonesia yang sudah terjalin baik.
Bahwa segala yang baik akan selalu berbiak,
segala perbuatan buruk akan membusuk.
Bahwa sabar tidak pernah kehilangan sadar,
ikhlas akan mendapatkan kilas.
bahwa dengan berpikir kita tidak akan lupa untuk berzikir,
dengan beradu kita akan mulai berdoa


REJEKI
 
Ibarat meraih awan
kugenggam ditangan
kubawa pulang sambil menari nari
kumasukkan lemari laci laci.

Gembiranya
besok atau lusa jua tak perlu berjaga
di luar rumah menunggu mega
cukup berdiam diri
di samping secangkir kopi.
Namun siapa bisa merasai angin?
siapa bisa menggenggam angin?
kucari di lemari laci laci
kosong tak terisi.



Nur sodikin lahir di Blora Jawa Tengah. Beberapa puisinya telah dibukukan dalam beberapa event antologi juga dimuat di beberapa media termasuk di negerikertas.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak