Entah bagaimana ceritanya, diskusi memanas. Ranu tak sependapat.
Tiba-tiba semua orang menuding Ranu. Berbagai caci-maki bermunculan. Ranu
melepas label "rumah" dari warung kopi itu. Sebelum asap rokok
semakin mengepul memenuhi udara warung kopi, Ranu kabur. Ternyata hari sudah
malam. Ranu tak menemukan rumah–setidaknya rumah untuk membagikan keluh-kesah.
Maka, tidak ada pilihan untuk pulang ke rumah yang bukan rumah.
Sepanjang perjalanan Ranu kerap menjumpai beberapa pasang mata
menatapnya dengan penuh tanya. Sebenarnya Ranu juga ingin bertanya pada dirinya
sendiri, di manakah tempat yang benar-benar bisa disebut rumah?
Dari kejauhan, tempat yang disebut “Rumah Ranu” itu terlihat
remang-remang. Hanya lampu depan yang tampak menyala. Tak ada binar-binar
cahaya yang berpendar dari dalam rumah.
“Jam berapakah ini?” Ranu melirik ponselnya yang kosong melompong
tanpa notifikasi. “Oh, setengah sepuluh.”
Ranu selalu membawa kunci cadangan. Jaga-jaga. Barangkali orang
tuanya lupa kalau mereka memiliki anak yang suatu saat akan pulang kemalaman.
Barangkali mereka sibuk merajut mimpi-mimpi bahagia setelah sebuah pertarungan
yang mengorbankan beberapa piring dan perabotan. Ranu harus mengerti karena ia
dituntut untuk selalu mengerti.
Ceklek!
Pintu terbuka. Ranu disambut dengan kegelapan yang nyata.
Kegelapan tak hanya tampak dalam pandangan matanya, tetapi juga dalam dirinya.
Kakinya menginjak sesuatu yang tajam sehingga ia mengaduh pelan. Sepertinya
sisa pertarungan itu tak cukup sampai di ruang makan, tetapi juga ruang tamu.
Orang tuanya terlalu asyik bermain lempar piring hingga mereka lupa kalau suatu
saat mereka akan memiliki tamu.
Ranu menekan sakelar. Ruang tamunya terang benderang kini. Ia
mendudukkan pantatnya di kursi, lalu mengangkat satu kakinya. Dengan hati-hati
ia mencabut beling yang menancap di kaki. Darah keluar dari luka. Perih.
“Ah, sialan.”
Memang sial hidup Ranu. Mungkin ia memang sial dari lahir.
Bapaknya yang mengaku kyai mengatakan bahwa buah kesialan datang dari dirinya
sendiri. Kesialan itu bisa diatasi
dengan beribadah, yaitu rajin puasa, rajin sholat, dan rajin mengaji. Namun Ranu
tak pernah menemukan omongan bapaknya itu dalam setiap tindakan bapaknya.
Setiap tiba bulan Ramadhan ia tak pernah menemukan bapaknya berpuasa. Setiap
kali adzan subuh berkumandang ia tak pernah melihat bapaknya berangkat ke
mushola. Anehnya lagi, setiap mendengar orang mengaji, bapaknya seperti
kesetanan. Maka ia mulai mempertanyakan omongan bapaknya sendiri. Namun menurut
bapaknya, ia hanya anak durhaka yang sok tahu.
Barangkali karena bapaknyalah keluarganya selalu ditimpa kesialan.
Dipandang buruk, dipandang gagal, dan dipergunjingkan tetangga. Malu? Entah.
Sepertinya rasa malu sudah bersahabat dengan keluarga Ranu sejak Ranu berada
dalam kandungan. Sekarang rasa malu itu seolah menjadi pondasi di dalam
rumahnya.
Hal itu terbukti dari orkestra piring pecah yang tak hanya
mewarnai malam demi malam rumah ini, tetapi juga rumah tetangga. Kalau
keluarganya punya rasa malu, mereka tak akan memperdengarkan orkestra sumbang
itu. Terkhusus, bapaknya. Kalau bapaknya memang benar-benar memiliki rasa malu,
mengapa harus merangkul perempuan lain?
Rasa malu telah menjadi bagian dari diri Ranu. Mulai dari rasa
malu karena tidak bisa mengaji, rasa malu karena tidak pernah mendapat ranking
satu, rasa malu karena tidak bisa membeli buku, dan rasa malu karena tidak benar-benar
memiliki teman. Setiap kali berusaha menemukan rumah yang baru, Ranu selalu
merasa tidak tempat benar-benar bisa disebut rumah. Orang-orang menatapnya
sinis. Diam-diam mereka akan menertawakan Ranu seolah ia terlahir sebagai
badut.
Segala dalam hidup Ranu dipenuhi tanda tanya. Ketika orang tuanya
sedang bermain lempar piring, kerap terdengar kalimat, “Aku tidak
mencintaimu!”. Ranu semakin bingung. Sepengetahuannya, pernikahan selalu
didasari oleh rasa cinta. Lalu, bagaimana kalau tidak cinta? Suatu malam
setelah sebuah pertarungan yang mengorbankan figura berisi foto keluarga, ibu
menuding Ranu sembari mengungkapkan kata-kata yang tak kalah absurdnya, “Karena
kaulah aku harus menikah dengan dia!”
Ranu semakin tidak mengerti. Sebenarnya, yang pembawa sial itu dia
atau bapaknya?
Malam semakin larut. Ranu memutuskan untuk tidur. Ia harus tidur
sebelum menemukan rumah baru lagi untuk berpulang. Ke mana dia pergi besok? Ia
tidak tahu. Yang penting tidur dulu.
Surabaya, 23 September 2022
Wahyu Amanatullah
Mustikaningtyas Sayyidatul Mujahidien, lahir di Tuban tahun 2002. Mulai menulis sejak kelas 1 SMA. Saat
ini ia tengah menempuh pendidikan S1 di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Negeri Surabaya.