Cerpen Wahyu Amanatullah M. S. M. | Rumah Ranu - Suara Krajan



 Ranu melangkahkan kakinya menuju warung kopi di seberang jalan. Ia baru saja didepak dari kafe estetik di sebelah kanan jalan karena kurang gaul. Terlalu kuper, katanya. Dari seberang jalan, terlihat beberapa orang dari warung kopi melambai-lambai, mengundang Ranu untuk datang berkunjung. Ranu merasa diundang. Sesampainya di sana, ia disambut kepulan asap rokok dan senyum ramah. Warung itu segera menjelma rumah bagi Ranu.

Entah bagaimana ceritanya, diskusi memanas. Ranu tak sependapat. Tiba-tiba semua orang menuding Ranu. Berbagai caci-maki bermunculan. Ranu melepas label "rumah" dari warung kopi itu. Sebelum asap rokok semakin mengepul memenuhi udara warung kopi, Ranu kabur. Ternyata hari sudah malam. Ranu tak menemukan rumah–setidaknya rumah untuk membagikan keluh-kesah. Maka, tidak ada pilihan untuk pulang ke rumah yang bukan rumah.

Sepanjang perjalanan Ranu kerap menjumpai beberapa pasang mata menatapnya dengan penuh tanya. Sebenarnya Ranu juga ingin bertanya pada dirinya sendiri, di manakah tempat yang benar-benar bisa disebut rumah?

Dari kejauhan, tempat yang disebut “Rumah Ranu” itu terlihat remang-remang. Hanya lampu depan yang tampak menyala. Tak ada binar-binar cahaya yang berpendar dari dalam rumah.

“Jam berapakah ini?” Ranu melirik ponselnya yang kosong melompong tanpa notifikasi. “Oh, setengah sepuluh.”

Ranu selalu membawa kunci cadangan. Jaga-jaga. Barangkali orang tuanya lupa kalau mereka memiliki anak yang suatu saat akan pulang kemalaman. Barangkali mereka sibuk merajut mimpi-mimpi bahagia setelah sebuah pertarungan yang mengorbankan beberapa piring dan perabotan. Ranu harus mengerti karena ia dituntut untuk selalu mengerti.

Ceklek!

Pintu terbuka. Ranu disambut dengan kegelapan yang nyata. Kegelapan tak hanya tampak dalam pandangan matanya, tetapi juga dalam dirinya. Kakinya menginjak sesuatu yang tajam sehingga ia mengaduh pelan. Sepertinya sisa pertarungan itu tak cukup sampai di ruang makan, tetapi juga ruang tamu. Orang tuanya terlalu asyik bermain lempar piring hingga mereka lupa kalau suatu saat mereka akan memiliki tamu.

Ranu menekan sakelar. Ruang tamunya terang benderang kini. Ia mendudukkan pantatnya di kursi, lalu mengangkat satu kakinya. Dengan hati-hati ia mencabut beling yang menancap di kaki. Darah keluar dari luka. Perih.

“Ah, sialan.”

Memang sial hidup Ranu. Mungkin ia memang sial dari lahir. Bapaknya yang mengaku kyai mengatakan bahwa buah kesialan datang dari dirinya sendiri. Kesialan itu  bisa diatasi dengan beribadah, yaitu rajin puasa, rajin sholat, dan rajin mengaji. Namun Ranu tak pernah menemukan omongan bapaknya itu dalam setiap tindakan bapaknya. Setiap tiba bulan Ramadhan ia tak pernah menemukan bapaknya berpuasa. Setiap kali adzan subuh berkumandang ia tak pernah melihat bapaknya berangkat ke mushola. Anehnya lagi, setiap mendengar orang mengaji, bapaknya seperti kesetanan. Maka ia mulai mempertanyakan omongan bapaknya sendiri. Namun menurut bapaknya, ia hanya anak durhaka yang sok tahu.

Barangkali karena bapaknyalah keluarganya selalu ditimpa kesialan. Dipandang buruk, dipandang gagal, dan dipergunjingkan tetangga. Malu? Entah. Sepertinya rasa malu sudah bersahabat dengan keluarga Ranu sejak Ranu berada dalam kandungan. Sekarang rasa malu itu seolah menjadi pondasi di dalam rumahnya.

Hal itu terbukti dari orkestra piring pecah yang tak hanya mewarnai malam demi malam rumah ini, tetapi juga rumah tetangga. Kalau keluarganya punya rasa malu, mereka tak akan memperdengarkan orkestra sumbang itu. Terkhusus, bapaknya. Kalau bapaknya memang benar-benar memiliki rasa malu, mengapa harus merangkul perempuan lain?

Rasa malu telah menjadi bagian dari diri Ranu. Mulai dari rasa malu karena tidak bisa mengaji, rasa malu karena tidak pernah mendapat ranking satu, rasa malu karena tidak bisa membeli buku, dan rasa malu karena tidak benar-benar memiliki teman. Setiap kali berusaha menemukan rumah yang baru, Ranu selalu merasa tidak tempat benar-benar bisa disebut rumah. Orang-orang menatapnya sinis. Diam-diam mereka akan menertawakan Ranu seolah ia terlahir sebagai badut.

Segala dalam hidup Ranu dipenuhi tanda tanya. Ketika orang tuanya sedang bermain lempar piring, kerap terdengar kalimat, “Aku tidak mencintaimu!”. Ranu semakin bingung. Sepengetahuannya, pernikahan selalu didasari oleh rasa cinta. Lalu, bagaimana kalau tidak cinta? Suatu malam setelah sebuah pertarungan yang mengorbankan figura berisi foto keluarga, ibu menuding Ranu sembari mengungkapkan kata-kata yang tak kalah absurdnya, “Karena kaulah aku harus menikah dengan dia!”

Ranu semakin tidak mengerti. Sebenarnya, yang pembawa sial itu dia atau bapaknya?

Malam semakin larut. Ranu memutuskan untuk tidur. Ia harus tidur sebelum menemukan rumah baru lagi untuk berpulang. Ke mana dia pergi besok? Ia tidak tahu. Yang penting tidur dulu.

 

Surabaya, 23 September 2022

 

 

Wahyu Amanatullah Mustikaningtyas Sayyidatul Mujahidien, lahir di Tuban tahun 2002. Mulai menulis sejak kelas 1 SMA. Saat ini ia tengah menempuh pendidikan S1 di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak