Ibu sedang istirah sebentar dari perjalanan
yang panjang dan melelahkan. Malam menjelma
gubuk yang selalu dijadikannya tempat untuk berteduh
atau hanya tempat merebah badan serta pikiran-pikiran
dari sebuah pertengkaran yang tak diketahui usainya kapan.
Biasanya Ibu sudah menyuruhku tidur. Namun,
kali ini malah Ibu yang ketiduran. Aku membiarkan
mata ibu terpejam dari hujan-hujan yang selalu dijatuhkan
di setiap bekas-bekas telapak kaki perjalanan,
sedangkan aku menggantikannya berjaga
dan berharap melihat pagi ibu yang begitu lega
karena lilin-lilin doanya masih tetap menyala.
Al-Ikhsan, 2020
Terdengar ada yang sedang mengeruk tanah
di buritan rumah. Sepertinya itu Ayah.
Aku melongok ke belakang, ternyata benar,
Ayah sedang membuat tungku
dari tumpukan-tumpukan batu
sambil ditemani oleh Ibu.
"Bukankah semakin dalam semakin enak?"
Ibu tersenyum geli dan malu.
"Tapi boros kayu," timpal Ibu kemudian.
"Tak perlu khawatir. Tulangku masih kuat
untuk menahan panasnya api.
Sewaktu-waktu kayu habis, tulangku pun jadi."
"Jangan bercanda."
"Tak ada waktu untuk bercanda.
Menghangatkan rumah harus serius;
menghidupi anak-anak harus fokus."
Tanah selesai dikeruk, batu-batu sudah
terpasang 3 sisi mengelilingi lubang kerukan dengan rapi,
kayu-kayu mulai dimasukkan, dan api pun siap dinyalakan.
di atas tungku yang sudah menyala itu.
"Pak, tolong pegang dandang ini.
Aku mau cari pecahan batu kecil untuk
megganjal dandang biar bisa seimbang."
Ayah mengangguk sambil meraih dandang.
Dalam hatiku bergumam paham,
semuanya harus benar-benar seimbang,
tak ada yang boleh jomplang,
sekecil apa pun batu, sangat dibutuhkan.
Aku khusyuk sekali melihat ayah dan ibu
bekerjasama. Walau sudah ngantuk, aku penasaran,
sebenarnya mereka berdua sedang memasak apa.
dan meniupi onggokan kayu supaya api
tetap nyala walau keningnya dipenuhi keringat
dan wajahnya hitam dipenuhi jelaga.
Ibu pun aktif sekali mondar-mandir mengambil air,
membawa sutil dan membuka dandang kemudian
mengarau masakan, memasukkan bumbu-bumbu
sambil mulutnya berkomat-kamit menzikirkan entah,
dan lain-lain dan lain-lain.
Malam semakin malam,
mereka berdua masih sibuk di belakang.
Walau masih penasaran dan dipenuhi pertanyaan,
aku lebih memilih membaringkan tubuh di atas amben.
"Tuhan yang baik, walaupun aku tidak tahu
Ayah dan Ibu sedang memasak apa,
tapi tolong awasi mereka berdua.
Jangan biarkan Ayahku memasukkan tulang-tulangnya
ke dalam tungku hanya untuk menjaga api tetap nyala
dan kuatkanlah kaki ibuku supaya tidak mudah patah,
ia sering mengelilingi rumah 1000 kali dalam sehari.
Aku masih kanak-kanak, Tuhan,
tak mampu melek terlalu malam,
apalagi mengawasi Ayah-Ibu selama 24 jam. Amin."
1. Pawon adalah tungku dengan bahan bakar kayu. Bisa juga berarti dapur.
Ayah tetap meniup-niup pawon dengan semprong
untuk menghidupkan api dan menjaga nyalanya.
Tak peduli dengan usianya yang sudah senja,
ia mati-matian menjaga seisi rumah tetap hangat,
walau wajahnya sudah kepanasan,
dan kakinya terlihat gemetaran.
ketika mengetuk pintu rumah.
juga tubuh yang kurus dan lesu
aku berniat untuk istikharah di atas pangkuan ibu.
Ibu juga memainkan pikiranku.
oleh Ibu untuk membersihkan beras dari kutu.
kutu-kutu juga berkeliaran di dalamnya?"
Sepertinya pelajaran liwet, pelajaran hidup juga.
untuk menampi pikiranku dari rasa galau dan gundah.
biar langkahmu jadi pulen dan enak."
ia membiarkan tubuhnya terulur panjang,
telentang, dan pasrah dipeluk rafia.
Setiap sumbu harus segera masuk
dan merasakan minyak yang terteguk
lewat tali rafia yang telah dikulum basah
oleh bibir perempuan yang selalu bergairah.
mengira-ngira apa yang ada dan api supaya nyala.
Dari kedua mata itu, sebuah gunting keluar
dan bergerak-gerak dan memotong sebuah usia
yang sudah menghitam dan jadi arang.
akan kukenang perempuan itu sebagai nyala api
yang mencahayaiku setiap hari.
awang-awang seperti kolam renang.
Setiap malam aku terjun,
membersihkan tubuh dari getun.
dengan wajah penuh semringah
sambil bibirnya menzikirkan entah.
seruku saat tiba-tiba ayah terlihat
mengendap di antara gelap yang pekat.
"Hahaha. Tidak, tidak.
Ayah selalu tidak kuat berada di situ
: berada di kolam dingin buatan ibu."