5 Puisi Safandi Mardinata | BELAJAR MENGAJI - Suara Krajan

Puisi Safandi Mardinata
MENYEDUH KOPI BALI
 
menyeduh kopi bali, dunia pagi
embun membelai daun
daun menimang embun
 
menyeduh kopi bali, teringat
masa pakansi
arus selat dan pengap ventilasi
keringat para penari
senyum mbok dan bli
selalu menarik-narik
ingatan untuk kembali
 
menyeduh kopi bali, mengingatkan
pada ketelanjangan nurani,
yang tulus dan berani
yang tak cukup sekadar dihalangi
oleh bikini
 
menyeduh kopi bali
sesaat melenakan dari situasi
gonjang-ganjing politik
yang debu-debunya mengotori
ruang hati, menyeduh pagi
menyeduh kopi bali
 
Bojanegara, 15/07/2022
 
 
BELAJAR MENGAJI
 
aku baru belajar mengaji
tolong aku mengeja nurani
dari alif ba ta hingga kukenal isi dunia
mulai kueja meski dengan lafal terbata
 
aku ingin belajar mengaji
dengan suara seindah burung kenari
tolonglah aku agar fasih mengaji
dengan tanpa mencaci
 
aku ingin mengaji, tanpa menuding
kanan ataupun kiri, mengaji dengan
mata tertunduk searah farji
nurani menengadah mengharap berkah
 
ajari aku mengaji
dengan tanpa menyakiti
 
ajari aku mengaji
seperti gemulai tubuh penari
agar aku fasih mengaji dengan kaki
yang masih menapak
bumi
 
Bojanegara, 16/07/2022
 
 
MALAM HANYA GARDU
 
malam hanya gardu
menunggu pagi lembayung
dengan tatapan sendu
terjaga dengan kopi di tangan
rokok yang mulai berpuntung
dan udara yang mulai mencubit
 
kartu gaple bergelimpangan
dengan buku tulis lusuh
mencatat kekalahan yang
lebih unggul daripada
kemenangan itu sendiri
 
malam hanya gardu
sempit kepongahan
seorang tua membungkuk
meneliti catatan jimpitan
bersama dinginnya malam
seorang pemuda menyuruh
--mungkin tidak sengaja--
seorang tua untuk mengelap
tempat duduknya
 
selamat malam harmoni
selamat malam ego diri
angin telah membaca
kelakuan anak zaman
sambil mengunyah ketela keju
yang hampir beku
 
Bojanegara, 12/07/2022
 

MENENGOK MASA LALU
 
menengok masa lalu
aku tak kan mau larut
dalam adukan nostalgia
semanis gula
 
menengok masa lalu, hampir
membuatku menetes air waspa
setelah tahu bahwa embun pagi
tak sesejuk dahulu, kicau burung
tak seramai pasar baru
karena kau tanam beton
di sebalik gunung-gunungku
 
menengok masa lalu, ku takkan
bisa menahan pilu, derai-derai
tawa sederhana, yang tak bisa
tergantikan oleh gemerlap harta
 
menengok masa lalu, koran-koran
sabtu teronggok menjadi saksi bisu
harapan-harapan yang bertumpu
pada iklan lowongan pekerjaan
 
menengok masa lalu, takkan lengkap
tanpa doa untuk ibu
 
Bojanegara, 13/07/2022
 
 
MEMUNGUT BUTIR PUISI
 
menunduk bukan mengantuk
menghadapi meja kerja seharian
bukan maksud tunduk atasan
sekadar memungut
butir-butir pikiran
 
: adakah kata-katamu
kekurangan huruf, apakah makna itu
sudah bertaaruf dengan nurani
yang penuh debaran hidup
 
menunduk bukan suntuk
memungut remah-remah untuk diramu
dalam cawan-cawan kontemplasi
berlagak seolah penyair sejati
 
menunduk dengan peluk
cerita seharian tadi, hendak mengaduk
menjadi adonan puisi yang sedap
sesuai selera nurani yang takluk
 
Bojanegara, 18/07/2022
 
 
 
Safandi Mardinata, lahir di Tuban pada 29 Juni 1983. Karya tulisnya berupa puisi, cerpen, geguritan, serta cerkak telah termuat di beberapa media cetak, media daring, dan buku-buku antologi bersama. Buku-bukunya yang telah terbit; Titip Kangen (MNC, 2016), Cethik Geni (Temalitera, 2018), Jalanidhi (Temalitera, 2020), Sastra Jawa Modern dan Seksualitas Perempuan (Lensa Publishing, 2022). Sejak 2011 berdomisili di Kabupaten Bojonegoro dan bergiat di Sanggar Interlude. HP: 081359117609, surel: safandimardinata@gmail.com.
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak