Puisi esai Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) sangat cocok untuk dijadikan referensi para pegiat literasi, terutama untuk siswa dan mahasiswa, karena isi didalamnya bukan hanya puisi esai, tetapi mempunyai konten yang lebih, seperti catatan-catatan kejadian alam, penjabaran kalimat yang tertuang dalam catatan kaki (dengan sumber referensi yang terpercaya), sehingga sangat layak untuk dibaca karena kaya dengan sumber referensi. Antologi puisi esai ini sangat cocok juga untuk dijadikan referensi para guru, dosen dan para pejabat pembuat kebijakan, apalagi bagi anggota dewan perwakilan rakyat. Bahkan karya-karya puisi esai pun sudah merambah ke dunia akademis, baik sebagai bahan kajian ilmiah maupun sebagai bagian dari materi ajar di sekolah menengah dan perguruan tinggi.
Puisi esai dalam antologi
puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta) Ada enam penyair tersebut adalah : Ana
Ratri Wahyuni, Dhenok Kristianti, Genthong H.S.A., Isti Nugroho, Listyaning
Aryanti, Otto Sukatno C.R. Dalam dunia perpuisian, tak hanya relasi
manusia dengan Sang Pencipta dan relasi antar manusia yang menjadi objek proses
kreatif penyair, menuliskan puisi-puisinya yang merepresentasikan
cerminan dari kegelisahan penyair dengan penguasa negeri ini, birokrasi, hukum
dengan semena-mena dan ketidak adilan aturan sepihak dan atau penyair
dengan manusia dengan cara penulisan baru puisi esai, puisi panjang bercatatan
kaki, mengawinkan fakta dan fiksi. dalam buku setebal 159 itu adalah media
untuk mempermudah pembaca agar tidak salah tafsir dalam memaknai karya 6
penyair dalam puisi esainya.
Buku ini dimulai dengan sambutan
pengantar yang sangat menarik bersinergi dengan karya-karya para
penyair-penyair yang telah lama berkecimpung dalam dunia tulis menulis dan
dituliskan pengertian dan makna dari puisi itu sendiri pada kata pengantar,
kemudian dilanjutkan dengan prawacana serta puisi-puisi esai dari masing-masing
penyair.
Puisi esai dalam antologi
puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta), Buku ini dimulai dengan sambutan dari pengantar yang sangat
menarik F. Bambang Kusumo, M.A. MELIPAT WAKTU, MEMBUKA INGATAN: JEJAK
MELANCHOLIA SEBUAH KOTA, dituliskan pengertian dan makna dari Dunia telah
dilipat.
Ruang dan waktu yang dulu jemawa
menjadi penentu hidup sosio-kultural kita, kini telah terlipat oleh teknologi
informasi. Ruang dan waktu lumer dan menihilkan batas-batas. Hidup sosial kita
pun berubah menjadi horison, sesuatu yang tampak berbatas, sekaligus tanpa
batas. Namun, melampaui kaki langit ruang-waktu, tersimpan tegangan dan
persoalan, dari cara kerja otak manusia sampai tingkah laku manusia. Inilah
yang telah lama dibidik dan diungkapkan oleh Ulrich Beck (1992). Lebih konkret,
proses evolusi menuju peradaban kota tentu menyimpan persoalan-persoalan di
aras individual dan struktur.
Dengan demikian,
konsekuensi-konsekuensi dari penalaran dan praktik modernitas menciptakan
impak-impak yang tak terdeteksi atau tak teramalkan sebelumnya. Risiko adalah
kata kunci yang mendeskripsikan proses kerusakan dan biaya. Beck dalam bukunya
“Risikogesellschaft: Auf dem Weg in eine andere Moderne” –Masyarakat Risiko:
Jalan Melampaui Modernitas (1986) menyebut proses modernitas semacam itu
sebagai “masyarakat risiko”. Individuasi adalah proses sosial yang tak
terelakkan, yang menghidupi dan dihidupi oleh roh modernitas.
Kesementaraan ruang dan waktu
yang menjadi-jadi, sebuah masyarakat likuid (liquid society) ketika struktur
demikian cair, labil dan senantiasa bergerak dinamis, adalah realita hidup kita
sekarang. Lebih jauh Ulrich Beck mewanti-wanti bahwa masyarakat likuid,
masyarakat pascamodern ini, berpotensi mencipta risiko-risiko: 1) risiko
struktur ketimpangan yang kian menguat, berujud ketimpangan global, nasional,
maupun regional; 2) akibat lanjutan, terjadi peningkatan risiko keamanan dan responnya.
Fenomena terjadinya radikalisme dan terorisme merupakan contoh; 3) risiko
peningkatan kerusakan lingkungan. Di dalam tiga risiko tersebut,
sesungguhnya kita melihat bagaimana risiko-risiko lain bermunculan dan
beroperasi, saat konflik dan persoalan sosial menjadi semakin menguat.
Demikian Pengantar F.
Bambang Kusumo, M.A. (Dekan Fisip Universitas Atma Jaya
Yogyakarta). juga menjelaskan isi dari keseluruhan puisi yang terdapat dalam
buku dengan singkat dan padat namun tetap dapat dimengerti pembaca. Kumpulan
puisi pada buku ini, menampilkan pemikiran kritis terhadap modernisasi dan
implikasi dari pasar bebas praktek ekonomi kapitalis dengan mengembangkan
pemikiran postmodern.
Puisi esai dalam antologi
puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta) karya Ana Ratri Wahyuni berjudul Kudengar Kota Itu Terpelajar
(Jarik Simbok ) 1 ini mengangkat kisah dan mengulas mengenai kesenjangan
sosial, Yogyakarta disebut sebagai daerah istimewa sebutan membanggakan
untuk kota ini, antara lain Kota Budaya, Kota Seniman, Kota Gudeg, Kota Museum,
Kota Batik, City of Tolerant, dan Kota Pendidikan. Sayangnya hiruk-pikuk semua
kegiatan tersebut tak selalu dimengerti oleh semua orang, bahkan oleh penduduk
asli kota ini yang setiap hari melihat [bukan membaca] baliho dan
spanduk-spanduk itu. Sariyem, buruh gendong Pasar Beringharjo, lahir sebagai
perempuan asli Kulon Progo. Pendidikan rendah Sariyem dan suaminya, bahkan
menurun ke anak keturunannya, seolah kutukan abadi yang harus disandang bersama
ratusan warga lain. Hanya pasar Beringharjo yang secara historis dan filosofis
tidak bisa dipisahkan dari Keraton Ngayogyakarta itu yang menjadi ‘sawah’
sekaligus masa depannya.
Puisi esai dalam antologi
puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta) karya Dhenok Kristianti berjudul Dalam Belitan Selendang
(Tembang Megatruh untuk Sari), mengisahkan kebejatan moral dan kerusakan moral
tentang berita-berita ‘kurang sedap’ yang terjadi di Yogyakarta, budaya
adiluhung yang secara turun-temurun telah menjadi jiwa masyarakat tersebut, di
zaman globalisasi ini mengalami banyak perubahan. Nampaknya ‘gempuran’
modernisasi mengubah pola perilaku masyarakatnya, sehingga pada tahun-tahun
terakhir (2013 hingga 2017) Yogyakarta dikabarkan menjadi ‘surga’ aborsi,
menduduki peringkat teratas dalam penyalahgunaan narkoba, dan perilaku ‘kumpul
kebo’ marak di rumah-rumah kos mahasiswa. Pada tanggal 5 September 2017 yang
lalu, misalnya, masyarakat Yogyakarta kembali digemparkan oleh berita pengguguran
bayi yang dilakukan seorang mahasiswi di kamar kos dan bayinya dimasukkan ke
dalam almari. Peristiwa yang memprihatinkan itu bertolak-belakang dengan
moralitas ajaran/ falsafah Jawa yang selama ini menjiwai kehidupan masyarakat
Yogyakarta.
Puisi esai dalam antologi
puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta) karya Genthong H.S.A. berjudul Begjo, Pasir Melimpah
Pasir Bertuah mengangkat kisah Begjo si penambang pasir, penambang
tanpa surat izin hitam di atas putih. Ia mempunyai anak istri, yang setiap hari
harus ia hidupi. Sekian lama Begjo dan kawan-kawan sedusun bekerja sebagai
penambang pasir yang merupakan berkah dari letusan Gunung Merapi. Sayangnya,
kegiatan mereka dalam mengais rezeki pemberian alam ini terusik oleh kedatangan
para penambang pasir ilegal yang menambang dengan peralatan berat. Mereka
mengeduk dengan rakus, sehingga merusak lingkungan dan membuat penambangan
pasir tak lagi aman. Puisi esai ini menguak ketidakadilan dan kerakusan
manusia, terutama justru dari kalangan para ‘cukong’ yang mampu membayar para
gali, yang dengan semena-mena melibas rakyat miskin di kaki Gunung Merapi.
Dengan gaya satir, Genthong mampu menguak sikap hidup dua golongan masyarakat
yang berbeda.
Puisi esai dalam antologi
puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta) karya Isti Nugroho berjudul Pembayun Puisi esai ini
menampilkan tokoh imajiner Ayun, panggilan akrab Pembayun. Ia perempuan,
pewaris kerajaan bisnis orang tuanya. Di luar kesibukannya, Ayun memiliki
ketertarikan pada bidang sejarah dan budaya. Dari kegemarannya mempelajari
buku-buku sejarah, ia mengenal dua orang dengan nama Pembayun. Tiga sosok
Pembayun ini secara ‘ajaib’ memiliki kesamaan. Pembayun Senopati berperan
mengekalkan kekuasaan ayahandanya; Pembayun putri Raja Yogya akan naik takhta;
dan Ayun, tokoh imajiner akan memimpin perusahaan Samudra Hindia Raya, warisan
orang tuanya.
Melalui sudut pandang tokoh
imajiner Ayun, diungkapkan persoalan-persoalan sosial dan budaya, terutama yang
berkaitan dengan masalah gender tentang kepemimpinan dan peranan perempuan di
ranah kekuasaan. Pembayun Senopati, misalnya, ia berhasil melanggengkan
kekuasaan ayahandanya dengan mengorbankan cintanya kepada Ki Ageng
Mangir.
Persoalan kedua yang ditampilkan
adalah masalah budaya di Kota Yogyakarta dewasa ini. Sebagai daerah istimewa,
Yogyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengku Bawono yang secara otomatis menjadi
gubernur. Selama ini Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak mengalami persoalan
yang meresahkan masyarakat tentang kepemimpinan. Namun demikian, diprediksi
ketenangan itu akan terusik apabila putri Sultan Hamengku Bawono X, yang lahir
dengan nama Nurmala Sari, lalu menjadi Raden Ayu Pembayun dan kemudian bergelar
Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi (GKR Mangkubumi), menggantikan ayahandanya
menjadi raja. Siapa pun yang menjadi raja Yogya, otomatis akan menjadi Gubernur
DIY. Ini diperkirakan akan menyulut persoalan besar sebab bertabrakan dengan
budaya patriarki yang dijunjung tinggi. Kecuali itu, bisa jadi masalahnya akan
berkembang pada soal ekonomi yang sensitif.
Puisi esai dalam antologi
puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta) karya Listyaning Aryanti berjudul Bisikan dari Pantai
Selatan Memanggilnya Pulang mengangkat kisah Kehidupan masyarakat Gunungkidul
sarat dengan kesederhanaan dan kedamaian, tetapi ada kalanya harus digemparkan
dengan kejadian bunuh diri warganya yang mengusik ketenangan. Kasus bunuh diri
yang banyak terjadi di wilayah tersebut dipicu oleh barbagai faktor yang hingga
kini masih menjadi sorotan dan misteri.
Kejadian bunuh diri ini sering
disertai mitos munculnya penampakan bola api di malam hari yang disebut pulung
gantung. Menurut mitos yang beredar di tengah masyarakat, rumah yang ‘didatangi’
pulung gantung akan menyebabkan salah seorang penghuninya ‘tersihir’ untuk
melakukan bunuh diri dengan cara menggantung, terjun ke laut, terjun ke dalam
luweng (gua tanah), atau pun cara yang lain.
Kasus bunuh diri ini menjadi
begitu misterius karena hanya korbanlah yang sesungguhnya tahu motif
tindakannya dan biasanya hal ini tetap menjadi rahasia karena pelaku bunuh diri
tidak meninggalkan catatan ataupun wasiat kepada orang lain.
Liku-liku kehidupan di kawasan
Gunungkidul inilah yang menjadi inspirasi penulisan puisi esai ini. Dengan
tokoh rekaan suami istri Raharja dan Rahayu, pembaca diajak untuk ikut
merenungkan berbagai nilai kehidupan yang terdapat di Gunungkidul, salah satu
wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Puisi esai dalam antologi
puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta) karya Otto Sukatno C.R. berjudul Sanimin, Lelaki yang
Menghardik Waktu mengangkat kisah Sanimin adalah tokoh utama dalam puisi
esai ini. Ia dilukiskan sebagai orang gila telanjang yang beberapa tahun lalu
berkeliaran di Yogyakarta. Puisi esai ini terinspirasi dari beberapa orang gila
yang berkeliaran di Yogyakarta. Di antara orang yang kehilangan ingatan itu,
sosok Sanimin nampak berbeda. Ada sesuatu dari hidup, nasib, dan prinsipnya, yang
tidak biasa. Hasil penelusuran, diketahui bahwa ternyata ia dulu seorang
punggawa negara. Pada suatu hari, terjadi peristiwa yang mengubah segalanya.
Saat itu ia masih muda dan sering harus meninggalkan keluarganya karena tugas.
Ketika ia sedang dinas itulah, istrinya diperkosa dan dibunuh. Akibatnya, ia
tertekan, stres, dan gila. Puisi esai ini merupakan hasil penelusuran tentang
asal-usul siapa Sanimin, prinsip-prinsip hidupnya, penyebab ia gila, dan
kesetiaannya terhadap cintanya. Kisah ini terjadi di zaman kekuasaan represif
Orde Baru dan agaknya ia kini telah meninggal dunia.
Keunikan yang dapat kita temukan
dalam buku puisi esai ini adalah cover puisi yang sangat menarik dengan warna
biru tua dan tulisan judul kuning dan gambar wayang tokoh semar
yang memancarkan ketenangan, kedamaian, dan kesejukan sesuai dengan judul
buku puisi esai ini yaitu “Di Balik Lipatan Waktu ” yang akan membuat orang
tertarik untuk membaca buku ini.
Keunggulan buku puisi esai ini
adalah, diksi dalam puisi tersebut begitu menyentuh, gaya bahasa yang di pakai
pun sangat indah. Dalam dunia perpuisian, tak hanya relasi manusia dengan
Sang Pencipta dan relasi antar manusia yang menjadi objek proses kreatif
penyair, menuliskan puisi-puisinya yang merepresentasikan cerminan
dari kegelisahan penyair dengan penguasa negeri ini, birokrasi, hukum dengan
semena-mena dan ketidak adilan aturan sepihak dan atau penyair dengan
manusia dengan cara penulisan baru puisi esai, puisi panjang bercatatan
kaki, yang ditulis menggunakan bahasa yang sangat mendalam. Sehingga,
siapa pun yang membaca puisi-puisi tersebut akan merasakan perjuangan setiap
tokoh yang dikisahkan dalam puisi tersebut. buku esai ini adalah pemilihan kata
yang mudah dipahami dan dimengerti oleh pembaca (bahasa sehari-hari) . Isi dari
keseluruhan puisi ini juga bersifat realistis karena pada buku ini penulis
benar-benar mengisahkan keadaan yang sering terjadi di tengah lingkungan
masyarakat Indonesia. Penggunaan kata yang tegas dan lugas menyebabkan pembaca
tidak akan kesulitan dalam memahami isi puisi. Keseluruhan puisi yang disuguhi
juga memiliki makna terpendam yang disembunyikan penulis di sela-sela
kata.
Kelemahan dalam puisi esai ini
adalah pemilihan kata kurang bisa dipahami oleh pembaca, kemudian ada beberapa
kata-kata yang sulit untuk di pahami dan tidak di jelaskan dalam buku puisi ini
sehingga mengharuskan pembaca untuk mencari artinya di Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) ataupun melalui internet lewat mbah google., kelemahan
berikutnya puisi esai tingkat kesulitan simbol-simbol dan metafora. Dan tingkat
kesulitan menyatukan bentuk dan isi secara organis. Maka proses kreatif penyair
harus terus di asah di latih secara maksimal, untuk melahirkan karya karya
puisi esai yang baik dan mengesankan.
Di awal hinga akhir buku ini,
pembaca akan disuguhkan dengan deretan puisi esai yang menguras emosi.
Isi puisi yang menggambarkan kesenjangan sosial yang sedang marak terjadi di
sekitar kita, dapat menghanyutkan siapa saja yang membaca sehingga, dapat
merasakan keadaan yang ingin disampaikan penulis kepada para pembacanya.
Keseluruhan puisi ini juga memiliki hikmah di setiap bait yang di sampaikan,
sehingga dapat menjadi modal pembelajaran bagi setiap orang yang membacanya,
dan menjadi pedoman kehidupan di masa depan sehingga tidak terjadi hal yang
sama di lain waktu.dan dengan membaca buku seri puisi akan membuat pembaca
paham tentang sederetan peristiwa konflik dan sejarah yang pernah terjadi DALAM
LIPATAN PERUT YOGYAKARTA tanpa melihat secara langsung.
Puisi esai dalam antologi
puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta) akan terbawa merasakan kebenaran sejarah yang membawa hikmah
:Tema-tema gugatan atas kasus yang diangkat dalam buku ini sebelumnya lebih
sering dibaca secara sangat berat dalam konteks konflik sosial antara mereka
yang menyebut diri sebagai pembela dan mereka yang dikatakan sebagai biang
kerok. Kritik dan narasi dalam buku ini terasa sejuk dan cerdas.melalui puisi
esai dalam memotret realitas sosial, kritik-kritik dapat disampaikan dengan
tegas atau tetap dapat mengalir deras tetapi tidak membuat pikiran dan perasan
terbakar karena dipaparkan secara puitis.. Dalam puisi esai kritik meluncur
tajam tetapi tetap enak nyaman dibaca dan renyah gurih..
Pemilihan pola ungkap melalui
Puisi esai dalam antologi puisi Di Balik Lipatan Waktu
(Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) , ini membuat isu yang
diangkat menjadi lebih mudah dikomunikasikan kepada khalayak pembaca Apalagi
diksi yang digunakan bersifat umum. Kalaupun ada istilah dan penamaan khusus
yang bersifat lokal penulis sudah mencoba memberikan penjelasan atau rujukan
lain pada bagian catatan kaki. Hal ini membuat puisi-puisi dalam kumpulan ini
lebih mudah dipahami, termasuk oleh para pembaca pemula. Karena, sastra
pada dasarnya memang sepanjang waktu berada dalam pertentangan antara tradisi
dan modernitas, antara satu genre dan genre yang lain, sesuai dengan situasi
dan perkembangan budaya, teknologi, dan pengaruh dari berbagai faktor lain di
luar karya itu sendiri. Dalam proses penulisan teks, pengarang menggunakan
berbagai rujukan atau kutipan dari teks-teks yang telah ia baca. Di samping
itu, sebuah teks baru tersedia melalui proses pencarian materi yang hendak
ditulis. DALAM LIPATAN PERUT YOGYAKARTA..
Hal ini membuat Puisi esai Di
Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
ini menjadi menarik untuk dibaca, apalagi bagi generasi muda yang tidak
mengalami secara langsung suasana konflik tersebut. Sebuah genre baru untuk
generasi milenial Semoga karya ini dapat memberikan pencerahan bagi para
pembaca dan menjadi sumber alternatif lain untuk pembelajaran sastra bagi
generasi yang akan datang.
Kota Wisata Batu, Minggu 28
Agustus 2022
---------------------------------------------------------------------------
*Drs. Akaha Taufan
Aminudin, Koordinator SATUPENA JAWA TIMUR INDONESIA Sekretariat Jalan
Abdul Jalil 2 Sisir KOTA BATU JATIM 65314
Karyanya ada dalam :
1
Buku Puisi 49 Penyair Indonesia
‘Dari Negeri Poci 3’ (Penerbit Tiara Jakarta,1996),
2
Buku Puisi ‘Luka di Atas Luka’
(diterbitkan Studio Seni Sastra Batu S3B, Pustaka Pelajar Jogjakarta dan
Averroes Press, Desember 2001)
3
Puisi Menolak Korupsi Penyair Indonesia
Penerbit Forum Sastra Surakarta 2013
4
Puisi Menolak Korupsi 2a Penyair
Indonesia Penerbit Forum Sastra Surakarta 2013
5
Buku Puisi, “Jangan Biarkan
Tanahku Hilang” (Penerbit Kayu Tangan Malang 2015),
6
”Akulah Musi” Antologi Puisi
Pertemuan Penyair Nusantara.V-Palembang (Penerbit Dewan Kesenian Sumatera
Selatan),
7
Seri Dokumentasi Sastra Antologi
Puisi Pendhapa 14 Requiem bagi Rocker (diterbitkan Taman Budaya Jawa
Tengah bekerjasama dengan Forum Sastra Surakarta) 2012.
8
Merindu Rasul dalam Sajak
(Penerbit Seruni, Juni 2012).
9
Antologi Puisi - Prosa Liris 50
Penyair Indonesia
10
LANGIT TERBAKAR SAAT ANAK - ANAK
ITU LAPAR
11
Penerbit Kendi Aksara Bantul
Yogyakarta 2013
12
Antologi Puisi - Prosa Liris 50
Penyair Indonesia
13
NEGERI SEMBILAN MATAHARI - Penerbit
Kendi Aksara Bantul Yogyakarta 2013
14 Buku 115 Resensi Puisi Esai, Dari
Aceh hingga Papua (Penerbit: Cerah Budaya Indonesia, Jakarta Februari 2019)
15 Antologi Puisi Penyair Malang
Raya - SAJAK
DWIWANGGA DUNIA TAK LAGI DINGIN. Penerbit Garudhawaca Yogyakarta
2021
16
Perahu Perak Bunga Rampai Puisi
Penerbit CV Delima Sidoarjo 2021
Selamat Succesfull Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN sepanjang masa Succesfull Sedulur
BalasHapus