KAU HARUS
TAHU
engkau harus tahu
anakku
buku di kardus ini memang berdebu
sarang lelaba dan bekas guratan sapu
memang tak seindah tampilan androidmu
engkau harus tahu
anakku
debu yang menyelimuti kardus itu
menyembunyikan buku
menyembunyikan ilmu
jika kau mau membacanya dengan menggebu
hujan di luar memang semakin deras
mengeja tiap kesalahan manusia yang buas
anakku kau harus tahu
lebarkan payungmu
agar tampiasnnya
tidak memercik
dan meracuni pikiranmu
Bojanegara, 03/08/2022
JEJAK
mungkinkah kita
meninggalkan jejak
bekas langkah yang terseok
di antara rumpun bambu
mungkinkah kita
meninggalkan jejak langkah
di ujung mulut termometer yang
perlahan dingin membeku
di sudut dalam laci
jejak yang bersuara "aku ada!"
jejak yang penuh keangkuhan masa muda
jejak yang menjadi pertanda
kita
ada
Bojanegara, 04/08/2022
MENGAPA HARI INI KITA BERPUISI?
adakah kau tanyakan
pada desah napasmu yang memburu
mengapa puisi tak pernah cemburu
ketika kau selalu buka ponsel,
kau cermati wa, kau tengok fb dan
kawan-kawannya, kau ajak mereka tertawa
namun puisi tak kausapa jua
mengapa kita begitu jumawa
dengan status media sosial yang agamis,
ekonomis, ironis, apalah, apalah...
mengapa setiap puisi
hanya kau ajak menangis
air matamu
puisi
Bojanegara, 05/08/2022
PERSEMAYAMAN
mengapa rindu bersemayam
di balik gigil kata-kata
sementara nafsu
hanya bertabir celana
setiap keinginan
bersemayam dalam gigil doa,
sementara kebutuhan
semakin membabi-buta
mengapa setiap aku
bersemayam dalam gigil rindumu
rinduku
Bojanegara, 07/08/2022
MENIKMATI
MAKAN
menikmati makan
sejatinya adalah merasa puas
jika orang lain dapat makan
selayaknya tuan
menikmati makan
sejatinya terjadi ketika kanak-kanak
di pinggiran jalan bersendawa
berlega dada dalam
segala kekurangan
tuan
nikmatilah makan
malam
Bojanegara, 03/08/2022
SEPOI
pagi adalah sepoi angin
yang menyegarkan hari lusuh
dan kusut seprai bekas bercinta
tadi malam
pagi adalah sepoi
yang membelai basah rambut
yang lelah oleh desah lembut
percintaan
sepoi yang masyuk
dengan kesendirian dan bercinta
keabadian membelai rindu
di sela-sela gigil batu
dan lumut-lumut yang biru
pagi adalah sepoi
pagi adalah asyik masyuk
dengan dingin
aroma kopi
yang semakin menusuk
adalah pagi
adalah sepoi
Bojanegara, 09/08/2022
Safandi Mardinata, lahir di Tuban
pada 29 Juni 1983. Karya tulisnya berupa puisi, cerpen, geguritan, serta cerkak
telah termuat di beberapa media cetak, media daring, dan buku-buku antologi
bersama. Buku-bukunya yang telah terbit; Titip
Kangen (MNC, 2016), Cethik Geni
(Temalitera, 2018), Jalanidhi
(Temalitera, 2020), Sastra Jawa Modern
dan Seksualitas Perempuan (Lensa Publishing, 2022). Sejak 2011 berdomisili
di Kabupaten Bojonegoro dan bergiat di Sanggar
Interlude. HP: 081359117609, surel: safandimardinata@gmail.com.
buku di kardus ini memang berdebu
sarang lelaba dan bekas guratan sapu
memang tak seindah tampilan androidmu
debu yang menyelimuti kardus itu
menyembunyikan buku
menyembunyikan ilmu
jika kau mau membacanya dengan menggebu
hujan di luar memang semakin deras
mengeja tiap kesalahan manusia yang buas
anakku kau harus tahu
lebarkan payungmu
agar tampiasnnya
tidak memercik
dan meracuni pikiranmu
meninggalkan jejak
bekas langkah yang terseok
di antara rumpun bambu
meninggalkan jejak langkah
di ujung mulut termometer yang
perlahan dingin membeku
di sudut dalam laci
jejak yang penuh keangkuhan masa muda
jejak yang menjadi pertanda
kita
ada
pada desah napasmu yang memburu
mengapa puisi tak pernah cemburu
kau cermati wa, kau tengok fb dan
kawan-kawannya, kau ajak mereka tertawa
namun puisi tak kausapa jua
dengan status media sosial yang agamis,
ekonomis, ironis, apalah, apalah...
mengapa setiap puisi
hanya kau ajak menangis
air matamu
puisi
di balik gigil kata-kata
sementara nafsu
hanya bertabir celana
bersemayam dalam gigil doa,
sementara kebutuhan
semakin membabi-buta
bersemayam dalam gigil rindumu
rinduku
sejatinya adalah merasa puas
jika orang lain dapat makan
selayaknya tuan
sejatinya terjadi ketika kanak-kanak
di pinggiran jalan bersendawa
berlega dada dalam
segala kekurangan
nikmatilah makan
malam
yang menyegarkan hari lusuh
dan kusut seprai bekas bercinta
tadi malam
yang membelai basah rambut
yang lelah oleh desah lembut
percintaan
dengan kesendirian dan bercinta
keabadian membelai rindu
di sela-sela gigil batu
dan lumut-lumut yang biru
pagi adalah sepoi
pagi adalah asyik masyuk
dengan dingin
aroma kopi
yang semakin menusuk
adalah pagi
adalah sepoi
Terima kasih redaksi dan semua pembaca.
BalasHapus