Pada setiap 26 Juli kita merayakan
Hari Puisi Indonesia. Ini karena 26 Juli 1922 merupakan hari lahir penyair
legendaris dan avant garde, Chairil Anwar. Andaikan Chairil Anwar dianugerahi
umur panjang oleh Allah SWT, pada 26 Juli tahun ini, penyair bohemian ini
berusia 100 tahun atau satu abad.
Ketika saya belajar pada tahun 1970-an, di kelas enam Sekolah
Dasar (SD) saya baru mengenal namanya. Karena guru kelas saya memperkenalkan
sejumlah puisinya yang harus saya hafal untuk lomba deklamasi. Pada saat itu,
membaca puisi dan musikalisasi puisi belum populer. Pada setiap Peringatan 17
Agustus tentu saja ada lomba deklamasi yang mewajibkan peserta membawakan puisi
Chairil Anwar.
Foto hitam-putih sang penyair ini
juga terlihat. Tampak Chairil Anwar menghisap sebatang rokok. Terlihat
eksentrik. Namun, foto Chairil Anwar dengan rokok yang terselip di kedua
bibirnya, untuk masa sekarang tentu saja dipandang tidak mendidik. Sebab merokok
sangat mengganggu kesehatan kita. Apalagi dapat menyebabkan penyakit kanker
bagi penghisapnya.
Puisi-puisi Chairil Anwar yang
terkenal karena terdapat di dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia adalah “Doa”,
“Doponegoro”, dan “Aku”. Oleh Paus Sastra dan Kritikus Sastra Indonesia, H.B.
Jassin, ia dinobatkan sebagai Pelopor
Angkatan 45. Ia juga dijuluki penyair revolusioner.
Setelah saya dewasa saya baru tahu
bahwa tema-tema puisi Chairil Anwar ternyata menggarap berbagai aspek kehidupan
yang multidimensional. Puisi-puisi Chairil Anwar yang ekspresionisme
bersentuhan dengan religiusitas, nasionalisme, patriotisme, cinta, perempuan
dan wanita, panorama alam, individualistik, dan politik.
Binatang Jalang
Sebuah puisinya yang terkesan individualistik adalah puisi “Aku”. Padahal, tidak demikian. Inilah puisi yang menggunakan diksi metafora dan simbolik “binatang jalang” yang populer tersebut.
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilng pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Aku Ini Binatang Jalang, (Chairil
Anwar, Jakarta: Gramedia, 1988, hlm. 13)
Penggunaan diksi “binatang jalang”
yang menggambarkan negeri ini yang belum merdeka dari penjajahan, tentu saja
memiliki tujuan. Ini agar puisi ini bisa selamat dan terbit. Di samping itu,
Chairil Anwar juga berharap agar ia tidak ditangkap oleh polisi Jepang yang
kejam.
Dalam pandangan Chairil Anwar yang
visioner -- negeri ini yang masih dijajah oleh Saudara Tua,, Jepang – harus
merdeka. Chairil Anwar tak sudi diperbudak oleh Jepang. Meskipun mara bahaya dan
penderitaan akan menghampiri, ia tak perduli. Sebab, ia membayangkan negeri ini
harus merdeka – layaknya hidup seribu tahun lagi.
Akan tetapi, Sapardi Djoko Damono
dalam kata penutup Aku Ini Binatang
Jalang (Koleksi Sajak 1942 – 1949), (Chairil Anwar, Jakarta: Gramedia,
1986, hlm. 102) mengatakan bahwa
larik-larik dalam puisi “Aku” di samping mengandung dan mengungapkan
vitalitas, di sisi lain juga menggambarkan kehidupan yang mungkin tidak dapat
terhapus dari kehidupan berkesenian di negeri ini, yaitu kejalangannya. Sebagai
“binatang jalang” Chairil Anwar merupakan lambang berkesenian di Indonesia.
Seolah berkembang menjadi mitos,
seniman layaknya seperti Chairil Anwar “binatang jalang” harus eksentrik dan
bohemian. Namun seiring dengan berjalannya waktu, seorang seniman tidak lagi
harus meniru perilaku dan karakter sang “binatang jalang”. Mungkin pada zaman
sekarang seniman harus berlaku pragmatis dan cenderung hedonistis.
Puisi Mbeling
Puisi “Aku” karya Chairil Anwar yang menggunakan diksi ‘binatang jalang” mampu menjadi inspirasi penyair Remy Sylado yang kini menjadi tokoh yang memberikan pengaruh dalam sejarah dan pertumbuhan sastra Indonesia (33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (Jamal D. Rahman, dkk., Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2014, hlm. 573 – 585)). Remy Sylado adalah sastrawan dan tokoh yang memperkenalkan puisi mbeling, sebuah genre puisi dalam sastra Indonesia.
Menurut Remy Sylado, dalam bahasa
Jawa, kata mbeling berarti nakal atau
suka memberontak terhadap kemapanan dengan cara-cara yng menarik perhatian.
Namun berbeda dengan kata urakan, yang dalam bahasa Jawa lebih dekat dengan
sikap kurang ajar dan asal beda, kata mbeling mengandung unsur kecerdasan serta
tanggung jawab pribadi (Puisi Mbeling,
Remy Sylado, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2004, hlm. xi).
Sementara itu, menurut Sapardi Djoko
Damono (Kesusastraan Indonesia Modern:
Beberapa Catatan, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 940, ciri utama puisi
mbeling adalah kelakar. Di samping
itu, di dalam puisi mbeling terdapat kritik sosial yang memuat ejekan. Ini
diwujudkan dengan memanfaatkan kata-kata,
arti, bunyi, dan tipografi.
Dalam puisi “Di Blok Apa?” Remy
Sylado mengejek Chairil Anwar dengan kelakarnya yang
mampu memancing kita tersenyum. Inilah puisi tersebut selengkapnya.
DI BLOK APA?
Kalau
Chairil Anwar
Binatang jalang
Di blok apa
Tempatnya
Di Ragunan?
Puisi Mbeling (Remy Sylado,
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004, hlm. 14)
Binatang jalang dalam puisi di atas
mengacu kepada binatang yang sesungguhnya. Diksi ini memiliki makna denotatif
atau arti yang sebenarnya. Ia sebangsa dengan harimau, gajah, ular, singa, dan
buaya, yang dipelihara di Kebun Binatang Ragunan di Jakarta Selatan.
Binatang-binatang ini tentu saja ditempatkan di kandang yang aman agar tidak
mengganggu pengunjung. Jadi Remy Sylado berkelakar dengan mepertanyakan di blok
apa sang binatang jalang tinggal di Kebun Binatang Ragunan di Jakarta Selatan.
Sementara itu, saya menggambarkan
kesenjangan (gap) antara Chairil
Anwar dan konglomerat. Chairil Anwar yang menyebut dirinya sebagai binatang
jalang (bermakna konotasi atau kiasan) yang meninggal dunia dalam usia 27 tahun
(26 Juli 1922 – 28 April 1949) mewariskan kepada keturunannya sejumput harta
berupa puisi yang jumlahnya kurang lebih 70 buah.
Ini tentu saja tidak sebanding
dengan binatang ekonomi (bermakna
konotasi atau kiasan) yang mampu memberikan warisan berupa harta kekayaan yang
dapat menghidupi sanak keluarganya hingga tujuh keturunan. Mereka adalah para
konglomerat yang kaya raya dan menguasai perekonomian Republik ini.
Inilah puisi mbeling “Chairil Anwar
dan Konglomerat” selengkapnya.
CHAIRIL ANWAR
DAN KONGLOMERAT
Chairil Anwar
Sang binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Hingga akhir hayatnya
Mewariskan puisi melegenda
Sekitar tujuh puluh puisi layaknya
Konglomerat
Si binatang ekonomi
Menguasai ibu pertiwi
Hingga akhir hayatnya
Mewariskan harta tak terkira
Untuk tujuh keturunan layaknya
Jakarta, 28 April 2014
Beda Pahlawan dan Kruptor: Sekumpulan Puisi Mbeling, (Syukur Budiardjo, Kebumen: Intishar Publishing, 2019, hlm. 34)
Puisi “Aku” karya Chairil Anwar yang
menggunakan diksi pada salah satu larik puisinya – binatang jalang – menginspirasi Remy Sylado dan Syukur Budiardjo
menulis puisi mbeling mengenai binatang
jalang. Kata kunci yang menjadi diksi yang disodorkan Remy Sylado adalah
"Blok" dan "Ragunan". Kata kunci yang menjadi diksi
yang digunakan Syukur Budiardjo adalah "binatang
ekonomi".
Demikianlah, larik puisi “Aku”,
“binatang jalang”, yang telah mengilhami Remy Sylado dan Syukur Budiardjo
menulis puisi “Di Blok Apa?” dan
“Chairil Anwar dan Konglomerat” sebagai puisi mbeling. Demikianlah.
Cibinong, Juli 2022
===============
Syukur Budiardjo, Penulis dan Pensiunan Guru ASN di DKI Jakarta. Alumnus Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Jakarta. Menulis artikel,
cerpen, dan puisi di media cetak, media daring, dan media sosial. Kontributor sejumlah
antologi puisi. Menulis buku kumpulan puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu
Lelaki Datang (2018), Demi Waktu (2019), Beda Pahlawan dan Koruptor (2019), buku
kumpulan esai Enak Zamanku, To! (2019), dan buku nonfiksi Strategi Menulis Artikel Ilmiah
Populer di Bidang Pendidikan Sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018). Akun
Facebook, Instagram, dan YouTube menggunakan nama Sukur
Budiharjo. Email
budiharjosukur@gmail.com.Tinggal di
Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16913.
Sebuah puisinya yang terkesan individualistik adalah puisi “Aku”. Padahal, tidak demikian. Inilah puisi yang menggunakan diksi metafora dan simbolik “binatang jalang” yang populer tersebut.
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Chairil Anwar dianggap memiliki seperangkat ciri seniman: tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Sejumlah anekdot lahir dari ciri-ciri tersebut. Tampaknya masyarakat menganggap bahwa seniman tidak berminat mengurus jasmaninya, dan lebih sering tergoda oleh khayalannya; mungkin yang paling mirip dengan golongan “binatang jalang” ini adalah orang sakit jiwa.
Puisi “Aku” karya Chairil Anwar yang menggunakan diksi ‘binatang jalang” mampu menjadi inspirasi penyair Remy Sylado yang kini menjadi tokoh yang memberikan pengaruh dalam sejarah dan pertumbuhan sastra Indonesia (33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (Jamal D. Rahman, dkk., Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2014, hlm. 573 – 585)). Remy Sylado adalah sastrawan dan tokoh yang memperkenalkan puisi mbeling, sebuah genre puisi dalam sastra Indonesia.
mampu memancing kita tersenyum. Inilah puisi tersebut selengkapnya.
Chairil Anwar
Binatang jalang
Di blok apa
Tempatnya
Di Ragunan?
Sang binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Hingga akhir hayatnya
Mewariskan puisi melegenda
Sekitar tujuh puluh puisi layaknya
Si binatang ekonomi
Menguasai ibu pertiwi
Hingga akhir hayatnya
Mewariskan harta tak terkira
Untuk tujuh keturunan layaknya
Syukur Budiardjo, Penulis dan Pensiunan Guru ASN di DKI Jakarta. Alumnus Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Jakarta. Menulis artikel,
cerpen, dan puisi di media cetak, media daring, dan media sosial. Kontributor sejumlah
antologi puisi. Menulis buku kumpulan puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu