Cerpen Ken nJawi Dwipa | Atifa - Suara Krajan

Atifa adalah temanku di antara teman-teman perempuanku. Ia berumur lima belas tahun– jadi satu tahun lebih muda dari pada diriku sendiri. Ia tak berbeda dengan gadis lain. Kalaupun perbedaan itu ada ialah, ini: ia tergolong cantik buat gadis-gadis remaja di sekolah kami. Biasanya tidak sedikit, mulai mengenal alat rias, ia tidak. Alami cantiknya. Senang orang melihatnya. Ia sopan, cekatan dan rajin. Selebihnya tidak manja. Sifat-sifat yang segera memashurkan namanya sampai berderet kelas tingkat 10 sampai 12. Tifa, manggilnya. Ia patut benar jadi temanku.

Tampak gadis ini tidak memerlukan perhatian orang. Sepertinya ia menghendaki orang memperhatikan kenyataan-kenyataan sosial dari kehidupan di sekolahnya dan menarik pelajaran darinya. Berbeda dengan yang lain. Bergaya hedon berpretensi kebablasan. Itulah kenapa Tifa teman mengasikan. Ia sekretaris handal di media sekolah- Infuse, yang kami gawangi.

“Tifa, tema-terbitan apa?” Tanyaku “Buat undangan bahas itu, Fa!”

“Baik, vino. waktunya? Hari, tanggal, jam … dan ….?”

“Kapan ya… terserah kamu, Fa! Aku ikut.” Aku malas menimbang,

“... dan ada pembicara ahli atau pemerhati tidak, untuk bahas tema?”

“Menurut kamu …?” Tanyaku balik.

“Bagaimana kalo ibu kepala sekolah. Tapi, ibu mau nggak, ya?”

“Ya, di coba dulu, nanti kita rencanakan alternative, jika tidak bisa.”

“Oke, undangan, besuk jadi, Vin.” Jawabnya.

Begitulah Tifa. Dalam diri tersimpan semangat. Mendapatkan tugas diterima dengan harapan lebih. Usia belasan begitu terampil juga tanggung jawab. Tuhan, kau ciptakan perempuan ideal. Terlahir di bumi ini untuk memperindah kehidupan umat manusia. Bukan hanya itu. Bantah dalam hatiku.  Ia terpenuhi semangat kartini. Mandiri, integritas dan penuh inisiatif. Itu yang tidak biasa dimiliki gadis seusianya.

Tema. Iya tema apa yang menarik? Pikirku. Aku menggali. Edisi pertama covid-19. Kedua varian dan dampaknya. Ketiga sekolah sehat. Keempat sekolah ramah anak. Kelima? Ah! Ku buka freandlist Hp. Aplikasi whats Apps aku scroll. Tifa Caem. Aku lihat foto profilnya. Buku. Graffiti nama dia. Aku tersenyun. Cepat mendapatkanya. Aku tekan tombol video call.

“tut…tut…” Suara nada dering menunggu. “tut…tut…” Ah! lama amat. Kenapa perasaan jadi cemburu. Apa ia mengabaikan? Apa ada orang lain bersamanya. Sial! Ada saja pikiran ini. Kita teman biasa. Intens di organisasi. Akrab di sekolah musti beda kelas. Cemburu datang bukan dari pikiran. Mungkin hati ini. Pikirku, tersenyum sendiri.

“Hallo, assalamualaikum… iya, Vin?” Membangunkan lamunanku. “Maaf tadi baru sholat dhuhur, Vin. Apa ada perubahan agenda rapat?” Tanyanya spesifik.

“Wa alaikum salam... Oh maaf, Fa. Bukan! Rapat tetap jalan. Kamu ada waktu tidak?”

“Maaf...?” Dari video Hp, otot matanya menarik mengerutkan wajah cantiknya.

“Ya waktu luang. Longgar tidak mengganggu kamu, pastinya.”

“Hemn…Mau jawaban jujur apa manis, Vin?” Tifa menggoda. “Kamu pilih ya! Kalau tangan kanan jawaban jujur dan tangan kiri jawaban manis. Tinggal sebut kanan apa kiri!”

Aku dengar suara tawanya di hp ini. Apa apaan, tifa? Main petak umpet segala.

“Bagaimana kalo saya memilih kanan, Fa?” Jawabku terlihat ragu. Ia tahu itu.

“Yang bener, Vin. Tidak menyesal?” Berusaha merontokan pilihanku.

“Usaha bagus, Fa! Apapun hasilnya tangan kanan!” Jawabku teguh.

“Hehe, oke, Vin. Jujur, maumu? Tangan kanan ini bilang, selalu punya waktu, untuk … untuk.” Sengaja ia perlambat. “Untuk…?” Sembari tersenyum menahan tawa, ia ...

“Aah!, kamu, Fa! Main main aja! Apa!?” Protesku tidak sabar.

“... hemnnn di mana ya ...?” Masih menggoda

“Untuk apa … faa …!” jengkel juga aku.

“Untuk media kita selalu ada waktu, Vin.” Jawab Atifa sembari ketawa.

“Ooooh... gitu …!”

Media ini membuatku bersemangat. Apalagi ada dia. Entah ini dorongan apa intinya senang diskusi denganya. Kadang cemburu muncul dengan sendirinya. Padahal tidak beralasan apapun. Kita teman dan masih sewajarnya menyandang itu, di usia kami. Tapi cemburu datang sendiri. Mungkin hati mewarisi sifat itu. Untuk menyertai keindahan dunia kami- manusia.

“Fa, bisakah kita diskusi untuk tema edisi ke lima?” tanyaku via video call. “Sebelum kita dapat pembicara, bukanya musti punya point of interst dahulu?”

“Iya ya.” Jawabnya. Masih senyam-senyum puas berhasil mengganggu nuraniku. Lanjutnya, “kalo kita ajak redaksi pelaksana?” Lalu, “coba hubungi Putri dan Reza! Tinggal kapan dan di mana? Aku siap, Vin! Yang penting tidak sampai malam!

“Oke, Fa. Nanti saya hubungi lagi ya!?” Aku lihat ia senyam-senyum melihatku. “ngapain sih kamu senyam-senyum, Fa!?” Protesku.

“Tidak, Vin. Mau ndak jawaban tangan kiri-nya?”

“Kupikir cukup, Fa! Simpan, saja!” Begini-begini bukan cowok peragu. Pikirku jaim.

“Baik … nanti kalau berubah fikiran bilang ya, Vin! Kalau sudah fix hubungi lagi!

“Oke, Tifa, genit!” Balasku menggoda.

Atifa akhiri dengan mengepalkan tinju di video call. Puas juga membuatnya sensi. Keesokan hari kuhubungi semua. Putri dan Reza sebagai redpel harus ikut. Bulletin tri wulan- format brosur – hitam putih, cukup medinamisasi sekolah. Guru, siswa, bahkan karyawan berpartisipasi.  Sepulang sekolah bergegas ke kelas Tifa. Naik tangga lantai tiga tak terasa. Enak menanjak. Terbawa suasana bertemu Tifa adalah hasrat yang buta. Sampai juga di kelas 10F. Aku nlyonong masuk. Pikirku jam pulang. Sial! Masih ada kegiatan dengan guru Tari.

“Ups!... Maaf… Maaf...” Aku segera balik badan.

Semua tertawa. Kedatanganku membuat rapat mereka buyar.

“Vino! Kalo bertamu salam dulu! Nylonong saja!” Guru Tini.

“Iya, Ibu, maaf….” Aku melirik mencari Tifa. Ia menutup mata, lalu, geleng-geleng. Aku tahu. Ia sesalkan atas adabku. Kutunggu di luar. Suara ramai pertanda selesai. Ibu Tini keluar diikuti siswa siswi. Atifa tak kunjung keluar. Apa apaan lagi tuh anak!?

“Assalamualaikum …” Kudapati Tifa. Ia menyapu kelas.

“wa alaikum salam... Bentar, Vin. Piket.” Katanya. Terlihat kepayahan mengakat kursi.

“Kamu sendiri, Fa?”

“Iya …!” Jawabnya pendek.

Aku bantu mengangkat kursi untuk di balik dan di taruh di meja.

“Sudah, Vin! Ini pekerjaanku.” Cegahnya.

“Tidak apa. Sudah ditunggu Putri dan Reza. Biar cepat.” Jawabku.

“Baik … trimakasih.” Katanya dan ia lanjutkan menyapu lantai.

***

Di sekretariat berdiskusi. Redpel dan iklan penting partisipasi. Kita awali evaluasi edisi petama sampai ke empat. Dari Lay out tidak menarik, materi sampai terbit terlambat.

“Temanya apa, Tifa, Putri dan Za!?” Tanyaku. “Supaya bisa angkat iklan?!

“Iya! Yang menarik dong!” Sahut Reza penanggung jawab iklan.

“Fa …!?” Tanyaku meliriknya.

“Kok, Saya!?” Atifa melihat Putri.

“Ups …. Fa …! Apa?!” Balas Putri.

Kami tertawa semua. Saling pandang satu sama lain.

“Nih minum dulu!” Reza teman terkaya. Dia keluarkan empat botol dari tas ranselnya.

“Cakeep …” Sambutku.

“Fa, aku, bukakan untukmu.” Reza memberikan.

Melihatnya bergidik punggungku. Atifa menerima gagu. Sambil kikuk meliriku.

“Bagaimana kalo kita mengangkat, Sex Education …” Kata Atifa memulai.

“Haa....! What?!” Putri reflek melihat Tifa. Tidak percaya ide datang dari dia.

Semua melongo. Barusan punggungku bergidik, cemburu, hilang cepat. Menjadi tegang. Putri dan Reza pun sama. Sampai Putri minum – botol fanta belum dia buka tutupnya.

“Serius kamu, Fa?!” Tanya Reza.

“Rasinolisasinya, Fa…?!” Tanyaku tenang biar terlihat tabah tidak berlebihan.

“Nanti kita diskusikan dengan ibu KS. Minta audiensi sekaligus membahas terbitan lima. Bahwa sex education mendesak. Tujuan pendidikan ke siswa. Kita dorong OSIS memfasilitasi seminar tema itu. Coba lihat ini!” Atifa menunjukan link di hp nya. “Tahu tidak, menkoinfo saja kewalahan memblokir situs dewasa –  di akses lewat VPN. Artinya, sejak anak pegang Hp– berapapun usianya, bisa mengakses. Sulit dibendung. Perlu bijak dan tidak tabu!”

Semua mengangguk. Ide nya berani dengan variable variatif. Social-ekonomi, karir masa depan, menikah usia dini, urus anak, kesehatan reproduksi, di sela dorongan hormone pubertas remaja. Setuju. Tema darurat sexis. Sekolah punya tanggung jawab moral-intelektual. Jangan terlambat untuk kemudian menyesal melihat kebobolan atas kelabilan remaja. Rapat selesai. Aku pulang terakhir, menutup pintu. Putri dan Reza lebih dahulu. Menyusul Tifa sedang berkemas. Sebelum ia keluar, aku sampaikan;

“Fa …! Saya berubah fikiran?” Ragu ku berucap.

“Oh, ya. Sabar. Tangan kiri ini bilang, kalau besuk media ke-lima cetak!” Ia tersenyum.

“Baik … Fa!” Aku bersemangat. “kreeek jeglaggg...!” Suara pintu aku tutup dan batang kunci aku putar. “Ceklik!


Solo, 24 Juni 2022



Ken nJawi Dwipa (Nama Pena Didik Haryanto) Guru Seni Budaya SMP Negeri 9 Surakarta. Tinggal di Jl. Dr Rajiman 521, Surakarta Pos 57148 Kampung Batik Laweyan Surakarta. WA. 089523044904

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak