Sejak beberapa pekan yang lalu tingkah Lek
Gendhis tidak seperti biasanya. Perempuan berusia enam puluh tahun itu sering
membicarakan hal-hal tidak masuk akal denganku. Katanya, Nai, anak satu-satunya
yang berada di Malaysia setiap malam Jumat pulang ke rumah, membawakannya aneka
makanan yang berasal dari Negeri Jiran itu. Lain waktu Lek Gendhis pernah
bilang bahwa suaminya, yang sudah meninggal setahun lalu, diam-diam mengirimkan
seikat bunga di suatu malam sebab ketika ia bangun di waktu pagi, kamarnya
beraroma bunga melati, bunga kesukaan Lek Gendhis sejak masih gadis.
Bukan aku menyangka ucapan Lek Gendhis hanya
karangan saja. Apalagi selama ini janda tua itu telah dikenal sebagai orang
yang jujur di desa. Aku sebagai tetangganya juga tak pernah dibohongi sekali
pun. Akan tetapi, ucapan Lek Gendhis akhir-akhir ini memang terdengar agak
aneh. Meskipun begitu, cerita-cerita yang disampaikan Lek Gendhis kudengarkan
saja, seolah-olah memercayainya. Kupikir tak ada pilihan lain selain berlaku
demikian, bukan? Ia sudah terlalu tua untuk disangkal-sangkal.
Seperti pagi ini, Lek Gendhis bercerita
kepadaku bahwa tadi malam ia kekenyangan makan pizza yang dikirimkan Nai
melalui ojol. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku ingin menanggapinya dengan
sungguh-sungguh.
“Wah, pizza kiriman Nai pasti enak. Tumben aku
enggak dikasih, Lek?” Kulebarkan senyumku setelah bertanya demikian.
Dulu, kira-kira beberapa bulan lalu, Lek
Gendhis memberiku sekotak pizza bertoping ayam balado. Nai membelikan banyak
pizza yang dikirimkan lewat tukang ojol, katanya waktu itu.
“Anu, Dik. Nai cuma kirim satu saja tadi
malam. Kapan-kapan aku minta dikirimkan banyak, ya, biar kamu sama suamimu ikut
kebagian juga,” jawab Lek Gendhis sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling
pelataran rumahku.
“Iya, Lek. Enggak apa-apa jangan dianggap serius
ucapanku barusan,” jawabku sedikit merasa tidak enak hati. Aku tadi hanya
bercanda, tetapi Lek Gendhis menanggapi omonganku dengan sungguh-sungguh.
“Besok-besok pasti Nai akan kirim lagi. Kamu
tenang saja, Dik. Semoga nanti ditambahi makanan lain juga.”
Ucapan Lek Gendhis kuangguki dengan yakin,
membuat wajah Lek Gendhis terlihat bahagia. Perempuan tua itu terus bicara
dengan semangat perihal kiriman-kiriman Nai yang akan datang, sampai-sampai tak
sadar memperlihatkan ketiaknya yang keriput ketika kedua tangannya terangkat ke
atas. Kukira Lek Gendhis tidak tahu kalau daster yang ia pakai sobek besar di
bagian pangkal lengannya karena biasanya perempuan tua itu sangat memperhatikan
penampilannya.
Aku mengangguk-angguk lagi sebagai tanda
menyetujui perkataannya. Tentu saja aku juga banyak berharap si Nai akan
mengirimkan pizza sungguhan. Aku teringat anakku satu-satunya yang sudah
berumah tangga, tetapi tidak pernah membelikan pizza seperti Nai. Jangankan
membelikan pizza, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari pun Misa harus
jungkir balik. Suaminya yang bekerja sebagai tukang becak tidak selalu
menghasilkan cukup uang setiap harinya.
Seandainya dulu Misa mau ke Malaysia menjadi
TKW seperti Nai, mungkin hidupku akan lebih baik seperti Lek Gendhis. Misa
bakalan banyak uang, aku juga pasti ikut dapat bagian. Sudah banyak perempuan
desa ini yang sukses menjadi TKW di negara tetangga. Rumah orang-orang yang
anaknya menjadi TKW itu kebanyakan sudah direnovasi menjadi lebih bagus dan
lebih besar, tidak seperti rumahku yang
tetap saja berdinding kayu dan berukuran kecil sejak Misa masih bayi hingga
sekarang.
“Misa enggak mau jadi TKW, Mak. Nanti siapa
yang merawat Mamak sama Bapak kalau sudah tua. Biarlah Misa enggak banyak uang,
yang penting bisa nemenin kalian di sini,” ucap Misa bertahun-tahun lalu ketika
kuminta ia menjadi TKW seperti teman-temannya.
“Tapi nanti hidup kita bisa enak, Nduk. Banyak
uang, rumah bagus. Jodohmu juga bisa dapat orang kaya.”
Waktu itu aku membujuk Misa selama berhari-hari
supaya mau mendaftar TKW. Satu-satunya sapi yang dimiliki suamiku telah siap
dijual untuk biaya pengurusannya. Namun, Misa tetap tidak mau. Katanya, ia
tidak ingin berpisah denganku dan bapaknya. Alasan yang konyol bagiku waktu
itu, hingga sekarang pun aku masih berpikir demikian.
***
Pagi ini Lek Gendhis ke rumah. Ia meminta dua
sendok gula. Katanya, Nai kirim sesendok teh tetapi lupa kirim gulanya.
Kang War, suamiku, mengernyit. Rupanya, ia
ikut menyimak ucapan Lek Gendhis. Kukedipkan sebelah mataku kepada Kang War
sebagai kode supaya ia diam saja.
Setelah kuberi dua sendok gula, Lek Gendhis
pamit pulang. Ia terlihat seperti sedang terburu-buru. Sejenak kutarik napas
pelan-pelan, lalu mengembuskannya dengan cepat. Terbayang jika Misa menjadi
TKW, apa iya aku akan menjadi aneh seperti Lek Gendhis? Bisa saja begitu,
barangkali karena bertahun-tahun terpisah dari anak semata wayang.
“Dik, ajak Lek Gendhis periksa saja ke Dokter
Rahmat,” ucap Kang War setelah punggung Lek Gendhis tidak kelihatan.
“Jangan ngawur kalau ngasih saran, Kang!”
“Kok, ngawur? Lek Gendhis itu aneh tingkahnya,
Dik. Bahaya nanti kalau makin parah. Mana ada Nai kirim teh cuma sesendok, coba
pikir!”
Kang War bersungut-sungut setelah menyelesaikan ucapannya. Bagaimana kalau kuberitahu Kang War perihal cerita Lek Gendhis tentang Nai yang pulang setiap malam Jumat, juga tentang suaminya yang kirim bunga? Bisa-bisa Kang War memaksaku membawa Lek Gendhis ke Dokter Rahmat sekarang juga.
Saran Kang War untuk mengajak Lek Gendhis
periksa ke Dokter Rahmat sebenarnya masuk akal. Kang War pernah bilang bahwa
dokter itu dikenal sebagai tempat orang-orang berkonsultasi masalah kejiwaan.
Rumahnya tidak jauh dari kantor kecamatan. Aku pernah membaca tulisan
“Psikiater” tertera di papan depan rumahnya. Kata Kang War dulu, tulisan itu
artinya Dokter Rahmat pandai memecahkan masalah-masalah hidup yang aneh dan
rumit, mungkin seperti yang sedang dialami Lek Gendhis sekarang.
Selama ini, tempat praktek Dokter Rahmat
selalu ramai pengunjung. Namun, sepertinya orang-orang yang mendatangi Dokter
Rahmat kebanyakan berasal dari tempat jauh, bukan dari desa kami. Barangkali
karena sudah tersebar anggapan di kalangan orang desa bahwa orang-orang yang
datang ke tempat praktik Dokter Rahmat adalah mereka yang terganggu jiwanya,
bisa juga dikatakan sebagai orang gila atau kurang waras. Kukira Lek Gendhis
juga tidak akan mau kuajak ke sana, mana ada orang yang mengakui dirinya gila.
***
“Dik, Nai kemarin kirim baju buatku katanya.
Tapi di teras rumah, kok, tidak ada, ya? Apa kira-kira ada orang yang ambil?”
Pertanyaan Lek Gendhis sore ini mengagetkanku.
Entahlah, aku merasa menjadi orang yang dituduh mengambilnya sebab hanya rumahku
yang dekat dengannya, sedangkan tetangga lain jauh semua. Sebelah kanan rumah
Lek Gendhis hanya ada tanah kosong, sedangkan rumahku tepat di sebelah kirinya.
“Maksudnya gimana, Lek? Aku malah enggak lihat
ada barang di teras Lek Gendhis dari kemarin.”
“Nai bilang kemarin bajunya sudah dikirim.”
“Nai telepon? Atau kirim pesan, Lek?”
“Bukan telepon atau kirim pesan. Tapi Nai
datang tadi malam.”
“Nai datang? Mana Nai sekarang, Lek?"
Lek Gendhis diam sebentar. Kedua matanya
berkedip beberapa kali sebelum akhirnya berucap, “Sudah balik lagi ke
Malaysia.”
Setelah menjawab pertanyaanku, Lek Gendhis
terlihat seperti orang kebingungan. Pandangan matanya sebentar menatapku, lalu
berganti melihat barisan tanaman kenikir yang sedang tumbuh subur di halaman
rumah. Kemudian, ia memilih menekuri ujung sandal jepitnya yang mengelupas.
“Lek, sebenarnya apa yang terjadi? Nai
baik-baik saja, kan?”
Lek Gendhis diam. Kulihat sudut matanya
berembun. Kini pandangan matanya kosong, tidak lagi tertuju pada rimbunan daun
kenikir di depan sana ataupun ujung sandalnya.
“Gimana kalau besok kuantar ke Dokter Rahmat,
Lek? Barangkali beliau bisa membantumu.”
***
Matahari terlambat datang pagi ini. Mendung
menggantung di langit abu-abu, membuat Kang War tidak bersemangat menjemur
gabah di pelataran. Sejak tadi ia mengawasi hamparan gabah di hadapannya dengan
wajah cemberut.
Biasanya, saat aku dan Kang War menjemur gabah
begini, Lek Gendhis ikut duduk-duduk di teras rumahku. Namun, dua hari ini aku
tak melihat Lek Gendhis. Ia juga tidak berkunjung ke rumahku, tepatnya sejak
aku mengajaknya konsultasi ke Dokter Rahmat waktu itu. Barangkali ia sakit hati
karena secara tidak langsung aku telah menganggapnya kurang waras.
Pintu rumah Lek Gendhis yang tertutup rapat
membuat perasaanku tak nyaman. Biasanya, pagi begini ia tak pernah membiarkan
pintu depan rumahnya tertutup. Biar rezeki berdatangan, begitu jawabnya suatu
kali ketika kutanya kenapa pintu rumahnya tak pernah ditutup sejak pagi hingga
siang.
Beberapa saat kemudian, aku seperti mendengar
suara minta tolong dari dalam rumah Lek Gendhis. Dengan perasaan tak keruan aku
berlari menuju rumah perempuan itu. Untungnya, pintu samping tidak dikunci,
sehingga dengan cepat kutemukan Lek Gendhis yang sedang terlentang di lantai
dapur.
“Lekas dipindah ke ranjang, Dik!” Ternyata
Kang War mengikutiku ke sini.
Segera kami pindahkan Lek Gendhis ke ranjang
yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Kubuka kulkas hendak mencari air minum
karena di meja tak kutemukan teko atau botol minum. Ternyata, kulkasnya mati
dan dalamnya kosong, sepertinya sudah lama tidak dipakai.
Kuminta Kang War mengambil air minum di rumah
kami, sekalian memberi tahu tetangga yang lain. Aku khawatir terjadi apa-apa
sama Lek Gendhis. Lebih baik kami mendatangkan beberapa tetangga lain daripada
nanti disalahkan.
Sambil menunggu datangnya tetangga, kuolesi
sekujur tubuh Lek Gendhis dengan minyak kayu putih yang barusan dibawakan Kang
War. Perempuan tua itu dari tadi hanya membuka matanya saja tanpa bersuara.
Tubuhnya lemas, seolah-olah berhari-hari tidak makan.
Ketika kulihat ponsel Lek Gendhis di atas
meja, tiba-tiba terpikir olehku untuk memberitahu Nai mengenai kondisi ibunya.
Setelah layar ponsel berwarna terang segera kucari nama “Nai”. Lalu, kutekan
tombol “panggil” setelah menemukannya.
“Nai,” ucapku setelah panggilan tersambung.
“Saya, Ita, teman Nai. Bukankah saya sudah
bilang berkali-kali sama Ibu sebelumnya kalau Nai sudah meninggal sebulan yang
lalu?”
-Tamat-
Jember, Juni 2021
Ilva Zumaroh.
Perempuan kelahiran Jember, yang berdomisili di Sidoarjo,Jawa Timur. Menyukai
membaca, menulis, dan fotografi. Sebagian karya tulisnya telah tertuang dalam
beberapa buku antologi cerpen dan puisi. Novel Nyanyian dari Pesisir
merupakan buku solo perdananya, yang ide penulisannya terinspirasi dari kisah
nyata perjuangan masyarakat pesisir di desa kelahirannya saat menolak rencana
proyek tambang pasir. Bisa disapa melalui akun ig ilva.zuma, FB : Ilva Z atau
Email: ilva.zuma@gmail.com
No WhatsApp 085708676008
Kang War bersungut-sungut setelah menyelesaikan ucapannya. Bagaimana kalau kuberitahu Kang War perihal cerita Lek Gendhis tentang Nai yang pulang setiap malam Jumat, juga tentang suaminya yang kirim bunga? Bisa-bisa Kang War memaksaku membawa Lek Gendhis ke Dokter Rahmat sekarang juga.
***