“Terima kasih, Hartono,” ucapmu sambil tersenyum, merespons kata-kataku
yang melesat bak panah, tak kalah dari pujian-pujian yang kau lantunkan di
dalam Gereja Santo Penabur.
Hulu dari perjumaan kita tentu saja berkat Desi dan Wila. Aku pun
bersumpah, kelak jika kau berhasil kurengkuh dalam pelukan, Desi dan Wila
adalah dua orang pertama yang akan kuberi hadiah cokelat dan es krim.
Pada waktu-waktu berikutnya, kau dan aku kian tenggelam dalam banyak
perbincangan, sebab sama-sama bergelut di studi hukum. Tak jarang kita
menghabiskan waktu di sudut kedai depan kampus untuk sekadar membahas tentang
peliknya kasus korupsi, revisi KUHP, dan sengkarut elite politik di Senayan
Jakarta sana. Meski begitu, Mila, asal kau tahu, semua obrolan kita itu adalah
siasatku menuju ke satu muara.
Mila, pada empat bulan kita yang terlewati dengan banyak cerita, aku
menggenapinya dengan penantian di pelabuhan. Tepat pukul empat sore, saat
matahari masih berayun di ketinggian, aku duduk sambil menghalau angin yang
menerpa dua lembar kertas puisiku. Ketika aku mendapat empat bait, kau pun
datang dengan raut yang sungguh mengembirakan. Rambutmu berterbangan seperti
burung camar yang berjinjit-jinjit di atas laut lepas. Puisiku terhenti, namun
jantungku kian berlari. Lantas kau duduk tepat di sebelahku. Aku tajamkan mata
ke sekujur lehermu yang berhias kalung berliontin salib.
“Apa aku telat?” tanyamu lugu.
“Keterlambatan empat menit dari kesepakatan adalah siksa bagiku, Mila.”
Lalu tawa kita terhentak di antara derau disel kapal yang hendak menepi.
Ketika surya merangkak di ambang air dan langit, aku pun menyatakan
maksud yang sebenarnya. “Aku mencintaimu, Mila,” kataku lirih. Dua, tiga, empat
detik berlalu tanpa suara dari bibir kita. Sunyi menyergap. Perasaanku mulai
dilanda kalut tak tertahankan. Sementara dari sudut lain, matamu seakan
mengerjap enggan dan sungkan.
“Mila…”
“Maaf,” ucapmu sambil tertunduk.
Hatiku serasa gempa bumi, mataku serasa tsunami.
“Maaf, aku harus jujur kalau aku merasakan hal yang sama,” sambungmu
lagi dengan nada lucu yang tersendat.
Spontan kuraih tubuhmu dalam pelukan. Kita bersatu diiringi desir angin
sore pelabuhan. Oh Mila, sejak saat itu, kaulah perempuan yang selalu
kuhardikan dalam hari-hari yang melelahkan.
Namun Mila, tujuh bulan selepas menjalin kasih, tampaknya banyak
kepayahan yang terjadi antara kita. Pertama, aku meminta maaf atas
kekecewaanmu. Kau datang jauh dari Mamasa hendak menemuiku. Setibanya di sini,
pertemuan malah sama sekali tak terjadi. Kau tahu Mila, saat itu aku sedang
kacau. Aku kalap dengan sukarnya mendapat pekerjaan padahal map-map surat
lamaran sudah menumpuk di kamar. Begitu pula dengan sampah-sampah surel yang
telah kukirim ke-34 perusahaan, tak satupun berbalas. Karenanya, saat itu aku
merasa hina untuk menemui seorang perempuan yang gemilang pendidikannya seperti
dirimu.
Akhirnya aku tersadar jika semua itu semu belaka. Aku sadar jika
ketulusanmu adalah anugerah yang telanjur kusia-siakan. Berbulan-bulan kau
menolak seluruh panggilanku. Jangankan bertemu, pesan, surat, salam, semuanya dariku
bahkan tak kau tanggapi. Kutanyakan keadaanmu pada Desi dan Wila, juga tak
pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Mila, sebegitu salahkah aku di
hadapanmu?
Atas kerancuan-kerancuan yang terjadi, maka tanya menyembul dalam
diriku. Mungkinkah kau ingkar pada kesetiaan? Mungkinkah kau telah mendapatkan
lelaki lain yang lebih dari segalanya?
Dan, ya. Keraguanku itu pada akhirnya terjawab saat kuberanikan diri
bertamu di rumahmu. Belum genap lima belas menit aku duduk di ruang tamu,
seorang lelaki datang dan mendapat sambutan hangat yang belum pernah kudapatkan
darimu. Tak perlu banyak bicara, saat itu juga aku mengahatur pamit. Berbekal
senyuman-senyuman kecut, kuraih ransel dan melangkah menjauh dari rumahmu, juga
dari kehidupanmu.
Mila, jangan pernah kautanya bagaimana perasaanku. Bukankah itu tak akan
berarti apa-apa untukmu? Aku tersungkur dalam titik terendah. Aku gemar melamun
dan mengingau, membayangkan kembali kisah yang pernah kita jalani bersama.
Dalam remang lampu kamar, kulanjutkan puisi yang dahulu belum rampung kutulis.
Pada reruntuhan hati, aku berharap semoga kelak kita akan berjumpa dengan
keadaanku yang lebih tertata. Sementara kau, Mila, tentu saja semoga bahagia
dengan keputusanmu.
Akhirnya permohonanku terwujud juga. Meski sepertinya mustahil, nyatanya
kau dan aku berjumpa kembali di pelabuhan. Ya, tempat kita pernah memulai
segalanya. Akan tetapi, kali itu kau tampak lain dari yang dahulu. Mila, aku
ingat sekali saat itu pandanganmu kosong, wajahmu layu, matamu sayu. Dipenuhi
sesenggukkan, kau mengucap maaf atas perbuatanmu kepadaku. Aku membisu. Akan
tetapi dalam rintih keinginan, aku menjawab maafmu dengan ingatan yang sulit
sekali hilang: tentang sikapmu yang dingin, tentang salam yang tak kaubalas,
dan tentang lelaki yang kau pamerkan di hadapanku.
Merasa tak mendapat jawaban apa pun dariku, kau seperti putus asa.
Sembari mengusap air mata yang tak kuketahui maksudnya, kau membalikkan
punggung. Perlahan kau berjalan menjauh, sedangkan aku masih mematung.
Mila, aku benci pertemuan itu. Aku benci pengabaian, karena dialah
musabab kehancuran kita.
Ombak berkecamuk pada sore yang getir. Ia mengampuni karang yang
menghalang. Dan, ya, pengampunan adalah obat mujarab dari segala derita. Tanpa
kusadari, lidahku yang semula kelu sesaat berucap lantang memanggilmu.
“Mila!”
Spontan kau berbalik, dalam pandangan yang gamang, mata sembabmu
menghunus jantungku sekuat mungkin. Setengah mati aku menahan munafik. Namun,
kekecewaanku yang menjamur telah terkelupas oleh perasaan yang sukar kusembunyikan.
Sejujurnya kelopak mataku tak sanggup berbohong, hatiku enggan rela atas
upaya kepergianmu. Mila, kau tak perlu kembali, akulah yang akan melangkah
menghampiri dirimu yang hampa itu. ***
Adhy
Rantedoda. Gemar menulis dan
membaca buku. Sekarang tinggal di Mamuju, Sulawesi Barat. Dapat disapa lewat
IG: adhykarangan.
Cerpen luar biasa.Diksi yang kreen
BalasHapusMakasih
Hapus