Gantungan Baju
Sudah seberapa
kecut pengalaman bajumu?
Aku rasa noda hidup telah banyak menempel padanya
Mewarnai kerah tubuhmu yang kelam
Lalu apakah akan kau sikat agar hilang dan lupa?
Sebaiknya jangan, biar ia membekas bersama kenangan
Aku malu punya
kotoran sepertimu
Di dada
Hari ini
Akan kubawa kepadanya
Agar segera dibilas hingga suci
Maka tidak ada lagi hitam di atasnya
Namun aku takkan
mau merasa putih
Sebab merasa putih adalah kehitaman
Yang hakiki
Purwokerto, 2020
Memelukmu, Aku
Tahu
Malam senyap
merayap
Di punggungmu yang dingin itu
Memelukmu, Aku tahu
Bakal ada matahari hangat
Terbit pada sela-sela bahu
Tak ada kata sedih
Sebab aku hari yang tak kenal letih
Ruang kosong ada
pada dadamu
Menjamur di sudut-sudut rusuk
Meracuni firasatmu
Memelukmu, Aku tahu
Penawar dari jemu
Menjadi obat kala sepi
Yang habis masanya
Tak ada sakit di hati
Sebab aku kesembuhan
Atas menderitanya rasa sendiri
Purwokerto, 2020
Lelaki yang
Membangunkan Sahur
Kesabarannya tak
pernah rampung
Walau jalan gulita menyandung kaki
Kerikil malas menggelitik telapak
Menarik paksa tubuh lelahnya
Menggapai beduk dan mikrofon adalah tujuan wasilah
Yang mengantarkan tujuan hakiki ridhonya
Ia rela
meninggalkan waktu
Demi maslahat kesempatan sahur
Katanya, Imsak sudah dekat
Padahal ia sengaja berbohong
Lagi-lagi demi umat
Masyarakat tidak memberinya upeti
Karena upah Tuhan sudah mencukupi
Banjarnegara,
April 2021
Menunggu Matahari
Tenggelam
Pedagang pinggir
jalan selalu bising
Memekik telinga orang-orang telah tertahan
Sebagian sudah terseret pada keinginannya
Sebagian lagi masih terus menahan
Mereka tidak tergiur oleh bisikan perut
Yang bersyahwat sesaat
Aku memandang televisi
Yang menampilkan ajakan keniscayaan
Memang tak mudah untuk berjalan di tali kebenaran
Harus tabah seperti menunggu matahari tenggelam di belahan dunia utara
Banjarnegara,
2021
Memilih Kurma
Semua pedagang
berteriak, "Kurmaku paling murah, lezat, dan nikmat."
Maka berdatanglah orang-orang untuk menyicipi
Sebenarnya mereka tahu, tidak ada kenikmatan yang murah apalagi gratis
Kenikmatan harus dibayar mahal
Seperti iman yang harus ditukar nyawa
Kurma hitam,
coklat, dan putih
Sejenak terasa manis sesaat
Tapi ada satu kurma dari tujuh puluh tiga jenis yang benar-benar manis
Yaitu kurmanya dan para sahabatnya
Purwokerto, 2021
Bagus Sulistio, lahir di Banjarnegara, 16 Agustus 2000.
Berdomisili di Desa Karangsalam, Susukan Banjarnegara. Saat ini ia menjadi guru
wiyata bhakti PAI di SD N 1 Karangsalam dan mentor kepenulisan cerpen di
Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. Ia juga menjadi
wakil ketua Forum Lingkar Pena (FLP) ranting Banjarnegara dan anggota di KPBJ.
Karyanya pernah menjadi nominator sayembara esai Balai Bahasa Jawa Tengah,
Juara 2 esai bahasa Arab FAC FEBI IAIN Purwokerto, Juara 2 Lomba Cerpen
Nasional FAH UIN Jakarta, terdokumentasikan dalam beberapa antologi cerpen
serta tersiar pada beberapa media seperti Suara Merdeka, Kompas Id, Islami.co,
Minggu Pagi, Solopos, Banjarmasin Post, Harian Sultra dan masih banyak lagi.
Nomor Hp/WA. 083126620440. Facebook : Bagus Sulistio.
Aku rasa noda hidup telah banyak menempel padanya
Mewarnai kerah tubuhmu yang kelam
Lalu apakah akan kau sikat agar hilang dan lupa?
Sebaiknya jangan, biar ia membekas bersama kenangan
Di dada
Hari ini
Akan kubawa kepadanya
Agar segera dibilas hingga suci
Maka tidak ada lagi hitam di atasnya
Sebab merasa putih adalah kehitaman
Yang hakiki
Di punggungmu yang dingin itu
Memelukmu, Aku tahu
Bakal ada matahari hangat
Terbit pada sela-sela bahu
Tak ada kata sedih
Sebab aku hari yang tak kenal letih
Menjamur di sudut-sudut rusuk
Meracuni firasatmu
Memelukmu, Aku tahu
Penawar dari jemu
Menjadi obat kala sepi
Yang habis masanya
Tak ada sakit di hati
Sebab aku kesembuhan
Atas menderitanya rasa sendiri
Walau jalan gulita menyandung kaki
Kerikil malas menggelitik telapak
Menarik paksa tubuh lelahnya
Menggapai beduk dan mikrofon adalah tujuan wasilah
Yang mengantarkan tujuan hakiki ridhonya
Demi maslahat kesempatan sahur
Katanya, Imsak sudah dekat
Padahal ia sengaja berbohong
Lagi-lagi demi umat
Masyarakat tidak memberinya upeti
Karena upah Tuhan sudah mencukupi
Memekik telinga orang-orang telah tertahan
Sebagian sudah terseret pada keinginannya
Sebagian lagi masih terus menahan
Mereka tidak tergiur oleh bisikan perut
Yang bersyahwat sesaat
Yang menampilkan ajakan keniscayaan
Memang tak mudah untuk berjalan di tali kebenaran
Harus tabah seperti menunggu matahari tenggelam di belahan dunia utara
Maka berdatanglah orang-orang untuk menyicipi
Sebenarnya mereka tahu, tidak ada kenikmatan yang murah apalagi gratis
Kenikmatan harus dibayar mahal
Seperti iman yang harus ditukar nyawa
Sejenak terasa manis sesaat
Tapi ada satu kurma dari tujuh puluh tiga jenis yang benar-benar manis
Yaitu kurmanya dan para sahabatnya