Puisi-Puisi Terjemahan Paavo Haavikko | Oleh Eka Ugi Sutikno - Suara Krajan

ANAK LAKI-LAKI BEDEBAH, LAHIR BERSAMA GIGI DI MULUTNYA
 
Anak laki-laki bedebah, lahir bersama gigi di mulutnya,
Rambut di kepalanya,
Duduk di sudut, di buai tidak,
Juga tidak di lutut seseorang,
Merah segar rambutnya seperti pohon cemara di musim dingin, dan dalam pijar
Anak laki-laki bedebah pergi melalui pepohonan, di kepalanya
tidak bertopi,
Ia meluangkan jalan, adalah raksasa,
Setinggi satu inci, ia mengambil arah.
 
Sepuluh tahun berlalu, si Cantik tengah tertidur, raksasa
            tumbuh,
Laki-laki itu tumbuh dalam tidur, terus tumbuh, sepuluh tahun yang lain
Dan raksasa adalah raksasa, tumbuh pasti,
Ia pergi melalui pepohonan.
 
Di dalam mimpinya ia melihat tiga orang laki-laki yang membawa dunia di atas
            bahu mereka,
Dengan pesona ia menyambar, dan sambar pesona ia tertawa,
Tawa luruh sudah dan luruh jatuh seperti sebuah
            pohon oak,
Pohon-pohon oak tumbang lebur di sepanjang jarak dan
            tinggi,
Lalu bersandar pada daratan, tidur,
 
Mereka tidur, mereka mimpi, mereka luruh, pembawa surat
            dunia.

 
DALAM MIMPI
 
Dalam mimpi
Bejana emas
Dalam mimpi
Langit terbuka
 
Bejana itu emas
 
Pengikut Raja telah mengikat kami
Dari pergelangan kaki hingga puncak pohon
Menekuk pohon
 
Pohon-pohon yang hijau
Meledak murka
Kami murka
Menantang hidup abadi
Dan terobek
 
Hijau
Menghijaukan kami
 
Kami terbang
Menantang tonggak pintu
Udara
 
Udara
Tercurah untuk kami
 
Dulu kami adalah pemanah Raja
Kami adalah daun pada pohon
 
Dedaunan
Menyentuh udara
 
Tidak berat
Seperti harta karun Raja
 
Kami mangkat
Pepohonan
Berada di dalam pijar yang memerah.
 

MASIH SAJA, KITA HARUS MEMILIKI KATA DENGAN KEGEMBIRAAN
 
Masih saja, kita harus memiliki kata dengan kegembiraan,
Mendirikan rumah untuk menangkap sinar surya,
Membuka jendela-jendela kami di atas lembah;
Lalu, terduduk di bawah pohon dan mendengarkannya,
Bertukar gurau dan mendiskusikannya,
 
Menyerahkan segala kebencian, melihat cemara tumbuh, dan mawar
Bagaimana bunga itu berada di sana, di dekat ladang,
 
Sebelum danau membeku kau mendengar penunggang kuda
Di atas jalan mereka pada hutan, sebelum gunung-gunung menjadi
            gelap pada Bohemia,
Gunung-gunung Bohemian, hutan-hutan Bohemian,
Di kedalaman hutan Balkan,
Di kedalaman debu Balkan,
Di mana pohon pinus, cemara dan willow bangkit dari pasir, seekor burung
            putih bertengger
Di sisi atas kejauhan Danube, memanjatkan tangis kesedihan.


TAPI BAGAIMANA JIKA HARI-HARI YANG BAIK MENUBRUK KELU KAMI
 
Tapi bagaimana jika hari-hari yang baik menubruk kelu kami
Jika tak ada kelu, bagaimana kami sanggup bertahan,
Jika tak ada kelu, bagaimana kami sanggup bertahan karena sajak-sajak
            tampak nihil makna sudah,
Ini, pujian generasi sekarang:
Kami telah menulisnya, puisi itu, lalu kami menjadi kelu, mendengar:
Sekaranglah waktunya menabuh genderang,
 
Inilah waktunya menabuh genderang,
Dan suara genderang ketika bisunya kegelapan mendahuluinya,
Curamnya kegelapan yang tak mampu melanting bahana,
Dua kali, tidak,
Di sini sudah tujuh kali Resimen Hitam menghimpun,
            di bawah spanduk hitam,
Dan ini tak serupa, kala itu di sinilah tempat berhimpun, dan
            inilah waktunya
Dan sekaranglah gemuruh genderang berbicara:
 
Sekaranglah saatnya dan inilah waktunya karena sebelum maut menjemput,
Sebelum pepohonan meledak menjadi bunga,
Dan hingga, meski dasawarsa emas ini telah memulai dan
            menghela dekat,
Pertemanan yang langka menjadi lelah, ini emas berubah
menjadi baja.


KAYU POHON CEMARA YANG DULU TERAWAT AKRAB
 
Kayu pohon cemara yang dulu terawat akrab,
Seluruh jalan dari hutan Balkan menuju tanah berhutan ini,
            di sini
Terawat akrab, alat pengukur kompor itu tertutup sebelum petang, untuk menjaga
panas tungku,
Betapa kekalnya dunia ini, mengerikan, di sini, selalu
            di sini
Kami hanya bergerak,
Dan aku harus menempuh pikiran dengan berbuat, apa yang
dimula
Menunggu surat yang tak akan kunjung,
 
Membawaku pada surat si laki-laki mati itu, bermutu tinggi, melalui
            hutan
Ini adalah hutan masyhur, ini adalah kekayaan agung dari Balkan hingga
            pohon ini,
Ini adalah warisan dari leluhur, para penyair, juga, beristirah
            di sana,
Oh, akhirnya aku dapat mengatakannya, mereka beristirah di sana,
Menggali runtuh, memeras dengan upaya keras di bawah
            lempeng rumput,
Benar juga: mereka tengah istirahat,
Aku iri pada mereka si hutan masyhur ini, angin membuatku menikung
            ke depan
Dan membawa pegawaiku ke dalam badai tak berkesudahan,
Angin berhembus di seberang makam mereka,
 
Tapi fajar, fajar, lebih penting dari segala: redup sinar
            yang lesu di puncak pepohonan,
Ketika kami, kami sendiri, beranjak menyeberang danau beku, hendak pergi
            ke mana? pada yang berbunga.
 
 

Paavo Haavikko (1931-2008) adalah seorang penyair dan dramawan Finlandia. Ia pernah mendapatkan penghargaan Neustadt International Prize di bidang sastra. Beberapa puisi di atas dialihbahasakan oleh Eka Ugi Sutikno dari buku versi Inggris Anselm Hollo dan Robin Fulton yang berjudul Paavo Haaviko and Tomas Tranströmer Selected Poems (Penguin Books, 1974).
 
Penerjemah karya-karya di atas adalah Eka Ugi Sutikno yang kini aktif di Kubah Budaya, menjadi anggota Kabe Gulbleg, dan mengajar di Universitas Muhammadiyah Tangerang.
 
Data pribadi
Nama            :  Eka Ugi Sutikno
Gawai           : 081911154291
Facebook      :  https://web.facebook.com/ekaugisutikno?_rdc=1&_rdr
Instagram     :  https://www.instagram.com/ekaugisutikno/
Surel             :  ekaugisutikno@gmail.com
Linktree        : https://linktr.ee/ekaugisutikno


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak