Jogja, Padaku
Gadis Bersahwat Puisi
Dari langitnya
Linus dan Emha melambai dengan tapak tangan gelantung butir matahari
Yang untukku sekeping, jadi benih cahaya
Pesona rupawan Malioboro
Jelma kekasih padaku gadis yang puber
Yang bersahwat puisi, dada gelora digoda kejantanan kata-kata
Ya, Malioboro, dalam riuh dan gemerlapnya bagiku
Kuterangsang pula oleh derap Kuda Merah Kuda Putih
Ditunggangi Umbu, pangeran kelana yang raja
Yang segera menarik aku ke punggung angin
Terbang, melintasi alun Melodia
Ah, Jogja
Begitu berpendarnya untuk mimpi penyair tak menyusuri lorong-lorong gulita
Hingga karenanya kini aku di sepetak taman, menyiangi kembang kerlip kelopak
Hingga karenanya aku dara muka berbinar, setelah dipuaskan kenyataan: hari-hari bergumul dengan sastra
Hingga sebabnya pula dari dadaku lahir dan berkejaran ribuan Kuda Merah Kuda Putih yang derapnya gemuruh di sekujur bumi
Oh, Jogja
Yang perkasa
Dari puncak hari-hari usai bercinta aku serukan namanya pada dara-dara semesta
Dan tapak tanganku yang melambai pada mereka telah dilekati debu rembulan
Untuk nanti kuberi sejumput pada Si puber
Yang sepertiku dulu, gelisah sendiri di balik kaca jendela kamarnya
Sumbawa Timur,
2022
Aku Pada Kasihku,
Dulu dan Kini
Dulu
Kasihku tak minta mawar
Sebab kupunya bunga kangkung
Terompet yang nyaring tegaskan cinta sahaja
Tak pula kuberi coklat
Karena ia suka cengkaruk:
Renyahkan hidup
Dengan bijak maknai berkah
Bahkan dari sisa-sisa
Kini
Tak kuberi ia mawar
Dimana kucari bunga kangkung?
Angin kering menderu di atas rekah telaga
Karena air tanah terisap pabrik-pabrik raksasa
Tak bisa pula kuhadang coklat
Yang dilemparkan iklan untuknya
Dan menyenggol tampi nasi aking
Berserakan di tanah sebelum kering
Aku pada kasihku
Dulu dan kini
Sangat jauh berbeda
Hanya satu yang serupa
Sama-sama terjajah
Sumbawa Timur, 2022
Cengkaruk:
kerupuk dari nasi aking
Saat Nanti
Anak-anak Hilang
Sepanjang gang ke Bale Ngaji
Jejak-jejak kecil mereka terus tercetak
Menyesaki dinding benak
Yang ingin kututupi tebal lumutnya
Dengan mozaik sore-sore yang langitnya keemasan
Kulihat mereka berlarian disemangati adzan
Dipecut pujian orang tua usai mencium tangan
Dan ba’da isya
Ayah ibu menyambut senang kepulangan
Menyimak lancar bacaan iqro
Yang dengan bangga diperdengarkan
Sepanjang gang sepi ke Bale Ngaji yang terkunci
Jejak-jejak hilang mengelepak dalam ghirah henti detak
Dinding benakku kosong
Oleh kata-kata gelisah bakal puisi
Yang lebih dulu disergap beliung
Diterbangkan ke balik langit begitu senja
Kudapati bayang-bayang mereka bermain di padang asing
Yang begitu dekat dengan ayah ibu dan guru ngaji
Tapi tak terjangkau
Tak bisa dimasuki
Dalam pekat gulita
Kami terima kenyataan anak-anak itu tak lagi kembali
Sumbawa Timur, 2022
Bale Ngaji:
Bahasa Sumbawa, rumah tempat anak-anak belajar mengaji
Kenangan
Kupacu
kenangan datang berlari
Memasuki halaman-halaman puisi
Yang ingin terus kutulisi
Ada
rumah panggungku di bawah akar gedung-gedung
Kepak kepodang lincah menjangan terikat di tumpukan kayu pembeli hutan
Sorak sorai anak bakala
Lantun pelawas menebar hikmah
Terjebak sebagai video masa lalu dalam ponsel penuh game serta musik-musik bising
Kenangan
itu meringkik keras
Meronta-ronta
Menendang-nendang
Aku
yang terinjak
Terlempar
Hanya bisa mengusapi dada yang begitu perih
Sumbawa Timur, 2022
Bakala:
Bahasa Sumbawa, permainan main hadang
Pelawas:
Bahasa Sumbawa, orang yang memperdengarkan lawas, puisi lama khas Sumbawa
Linus dan Emha melambai dengan tapak tangan gelantung butir matahari
Yang untukku sekeping, jadi benih cahaya
Pesona rupawan Malioboro
Jelma kekasih padaku gadis yang puber
Yang bersahwat puisi, dada gelora digoda kejantanan kata-kata
Kuterangsang pula oleh derap Kuda Merah Kuda Putih
Ditunggangi Umbu, pangeran kelana yang raja
Yang segera menarik aku ke punggung angin
Terbang, melintasi alun Melodia
Begitu berpendarnya untuk mimpi penyair tak menyusuri lorong-lorong gulita
Hingga karenanya kini aku di sepetak taman, menyiangi kembang kerlip kelopak
Hingga karenanya aku dara muka berbinar, setelah dipuaskan kenyataan: hari-hari bergumul dengan sastra
Hingga sebabnya pula dari dadaku lahir dan berkejaran ribuan Kuda Merah Kuda Putih yang derapnya gemuruh di sekujur bumi
Yang perkasa
Dari puncak hari-hari usai bercinta aku serukan namanya pada dara-dara semesta
Dan tapak tanganku yang melambai pada mereka telah dilekati debu rembulan
Untuk nanti kuberi sejumput pada Si puber
Yang sepertiku dulu, gelisah sendiri di balik kaca jendela kamarnya
Kasihku tak minta mawar
Sebab kupunya bunga kangkung
Terompet yang nyaring tegaskan cinta sahaja
Tak pula kuberi coklat
Karena ia suka cengkaruk:
Renyahkan hidup
Dengan bijak maknai berkah
Bahkan dari sisa-sisa
Tak kuberi ia mawar
Dimana kucari bunga kangkung?
Angin kering menderu di atas rekah telaga
Karena air tanah terisap pabrik-pabrik raksasa
Tak bisa pula kuhadang coklat
Yang dilemparkan iklan untuknya
Dan menyenggol tampi nasi aking
Berserakan di tanah sebelum kering
Dulu dan kini
Sangat jauh berbeda
Hanya satu yang serupa
Sama-sama terjajah
Jejak-jejak kecil mereka terus tercetak
Menyesaki dinding benak
Yang ingin kututupi tebal lumutnya
Dengan mozaik sore-sore yang langitnya keemasan
Dipecut pujian orang tua usai mencium tangan
Dan ba’da isya
Ayah ibu menyambut senang kepulangan
Menyimak lancar bacaan iqro
Yang dengan bangga diperdengarkan
Jejak-jejak hilang mengelepak dalam ghirah henti detak
Dinding benakku kosong
Oleh kata-kata gelisah bakal puisi
Yang lebih dulu disergap beliung
Diterbangkan ke balik langit begitu senja
Yang begitu dekat dengan ayah ibu dan guru ngaji
Tapi tak terjangkau
Tak bisa dimasuki
Dalam pekat gulita
Kami terima kenyataan anak-anak itu tak lagi kembali
Memasuki halaman-halaman puisi
Yang ingin terus kutulisi
Kepak kepodang lincah menjangan terikat di tumpukan kayu pembeli hutan
Sorak sorai anak bakala
Lantun pelawas menebar hikmah
Terjebak sebagai video masa lalu dalam ponsel penuh game serta musik-musik bising
Meronta-ronta
Menendang-nendang
Terlempar
Hanya bisa mengusapi dada yang begitu perih
Kepada Perantau
Apakah rindu belajar mengayuh sepeda di padang yang rumputnya hijau berbunga
Dan tiap orang menyerukan semangat
Jatuh luka pun diusapi bujukan yang semilir?
Apakah juga gelisah memandangi padang zamannya yang kerontang
Tiada tawa anak-anak, tiada semangat berbunga-bunga
Tiap helai rumputan kering menusukkan jarum-jarum kenangan di dada
Yang bertumpukan dengan mimpi layu
Serta kata-kata sepi makna?
Dengan berkantong-kantong benih rumputan
Serta matahari hujan yang telah kau ajak berteman
Orang-orang berkerumun, menanyakan sepedamu
Tapi kautunjukkan sebuah kereta
Yang pastikan mereka ikut denganmu ke seberang waktu
“itu anak yang dulu jatuh dan kita hibur
Hari ini ia buat kita bahagia.”
Yin Ude, penulis Sumbawa, karyanya berupa puisi, cerpen dan artikel dipublikasikan di berbagai media cetak dan online di dalam dan luar Sumbawa, seperti Lombok Pos, Gaung NTB, Suara Muhammadiyah, Sastra Media, Elipsis, Bali Politika, Uma Kalada News, Negeri Kertas, Suara Krajan, jurdik.id. dan Indonesiana. Memenangkan beberapa lomba penulisan seperti Juara 2 Lomba Cipta Puisi Bulan Bahasa Himapbi Universitas Asy’ariah Mandar, Sulbar (2021), Anugerah Puisi Terbaik Peringatan Konferensi Asia Afrika Tahun 2022 Negeri Kertas, dan Anugerah Cerpen Terbaik Hari Nelayan Nasional Tahun 2022 Negeri Kertas. Puisinya termasuk dalam 30 Karya Kandidat Pemenang Sayembara Puisi Teroka-Indonesiana Tahun 2022. Telah menerbitkan buku tunggal Kumpulan Puisi dan Cerita “Sajak Merah Putih” (2021) dan Novel “Benteng” (2021). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama penyair Indonesia. Terbaru adalah Antologi Puisi “Minyak Goreng Memanggil” (2022).
Facebook: Yin Ude
Kontak: 087810071573 (WA)
Email: abidanayi@gmail.com