4 Puisi Zainun Nafis KZ. | Hati, Batu, Menjadi Abu - Suara Krajan

Hati, Batu, Menjadi Abu
 
Sungai itu
Terdapat batu  dengan lumut aksara duka
Telah terdapat di atasnya 
Sebuah mahkota dari gua gelegata
Di mana gua itu 
Ada di antara dua gunung tak sempurna.
 
Wahai dewaku.
Sudah terlahir beberapa kutu
Menjadikan sungai itu tak lagi suci
Sentuhannya pada batu tak dapat lagi ditafsiri bahkan nyawa pada angka suci
Telah berlayar bersama air mata itu lagi.
 
Aku hanya dedaunan 
Pada pohon di tepi sungai
Apabila jatuh pada air mata itu
Hanya bungkam, lalu tertegun 
Pada letupan gelembung sukma.
 
Sehingga hati  dan batu hancur dalam doaku Agar menjadi serpihan abu.
Lalu air mata itu 
Memelukku atas kelahiran rindu.
 
Pendowo, 2021
 
 
Tubuhku Kaku
 
Bukit tinggi, ada di depanku
Terdapat pohon dengan ranting kehidupan
Bersinar adanya lampu,
Lampu, dari berbagai warna pelangi  Menginjakkan kakinya pada dua daun awan
Sesudah peniupan sukma itu dilaksanakan.
 
Lampu-lampu itu
Sudah lama melukis di kertas malam
Dari sebelum peradaban diteteskan
Pada sebuah bunga berinkarnasi  Menjadi buah pengasingan diri.
 
tubuh sudah kaku
meratap diri, lebih hitam dari bayangan sendiri ingin rasanya aku bersembunyi
di antara celah tanah dan bayangan ini
agar udara, tidak mati sia-sia
Apalagi dikubur dalam diri ini.
 
Kutub, 2021  
 
 
Bisakah Aku?
 
Bisakah aku terlahir kembali?
Dari sebutir pasir tak pernah dijilat lautan
Sedangkan jiwa malam, sudah diseruput bulan.
 
Bisakah aku dimuntahkan kembali?
Ketika kencing ikan pada lautan sudah tawar  Sedangkan aroma kopi, sudah dilecehkan asap tembakau.

Bisakah aku bercerita kembali?
walau lubang pada karang itu sudah menjadi kenangan Sedangkan akar pohon, sudah kehilangan bunga mekar.
 
Bisakah aku tumbuh kembali?
Jika semua lautan tidak mempunyai tabir sendiri
Sedangkan cahaya, sudah dihitamkan oleh bayang-bayang
 
Mungkinkah aku dikafirkan?
Jika aku ingin kembali
Meski dari sekumpulan kata menjijikkan Dari seorang gelandangan berbalut kain hitam.
 
Aku. Tetap ingin kembali
Walau darah di tubuhku tak merah lagi
Dan jari pada tangan itu 
Sudah kehilangan ruasnya lagi.
 
Pincuk, 2022
 
 
Mentari di Atas Sangkar Merpati
 
Pagi
Kuukur mentari dengan ruas-ruas jari
Terdapat tiga ruas di atas sangkar merpati
Sudah mampu menciptakan bayangan ilustrasi
Pada setetes embun pagi, menari di ujung daun padi.
“Bumi hancur. Aku ditelan bayangan sendiri.”
 
Aku coba berenang dalam bayangan 
Kupotong satu ruas jari
Tetap saja mentari 
Ada di atas sangkar merpati
Tapi darah menetes dari ujung jari 
Setiap tetes melahirkan diri ini
Dengan cerita tak sama lagi.
“Aku hancur bumi ditelan bayangan sendiri.”
 
Aku jejaki setiap cerita itu sampai kini
Hingga ruas-ruas jari
Sudah tak ada lagi
Tetap saja mentari 
Ada di atas sangkar merpati
Lalu dia menumbuhkan ruas-ruas jari ini
Dengan setiap ruasnya ada kuku sebagai samudera cerita lagi.
Aku, dengan kaki ditelan letih 
Hanya bisa meratap dengan warna sudah kubenci.
 
Pincuk, 2021
 
 
Zainun Nafis KZ, kelahiran Sumenep. Puisi-puisinya sering nongkrong di media cetak dan daring. Saat ini aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak