3 Puisi Anindita Buyung P. | Doa-Doa di Atas Sepeda Motor Kita - Suara Krajan

Jiwa-Jiwa yang Belum Kembali
 
Apa yang kau tahu tentang perjalanan?
Bila jarak tak bisa kau jelmakan sajak; bila sepi tak kuasa kau ubah puisi.
Rindu tak selalu sedu, Kirana.
 
Ke mana jiwa-jiwa itu kembali jika hati tak miliki sepi?
Di mana rindu akan bersemayam jika sunyi tak lagi diam?
Tak ada sesuatu yang kekal, Kirana, itulah sebab kita perlu punya bekal.
Jika yang ku punya hanya berbait sajak, akankah langkahmu beranjak?
 
Kirana, aku rindu.
Sajakku tak pernah beranjak dari namamu.
Sementara rindu pernah berjarak di sela temu.
Jiwa-jiwa yang merindu belum jua kembali,
langkah-langkah yang berlalu tidak berkenan henti.
 
Kirana, kekasihku.
Hidup adalah tentang temu dan pisah.
Manusia hanya seorang tamu penulis kisah.
Di langit semua terlihat; di bumi segala tertulis.
Tentang takdir dan sebentang waktu yang terkikis.
 
Magelang, 2022


Ternyata Hati Tak Selalu Berwarna Putih
 
ternyata hati tak selalu berwarna putih
terkadang ia merah seperti bara
yang begitu mudah disulut nyalanya
sesekali hati berwarna hitam
seiras takhta dikepalanya yang kian legam
kerap kali pula haru layaknya biru
serasi nuansa yang tenang dan pilu
 
ternyata hati tak selalu berwarna putih
adakalanya ia berwarna jingga yang senja
menghangatkan sore yang letih dan rengsa
acap pula bernuansa kuning yang waspada
khawatir hidup tak sejalan dengan rencana
sekali waktu ia memukau seperti hijau
meredamkan silau; melesapkan galau
 
ternyata hati tak selalu berwarna putih
sebab telinga tak ada batas dengarnya
sebab mata tak punya tabir pandangnya
lidah tak begitu piawai menerjemahkan kata-kata
jemari tak selalu lihai merapalkan suara-suara
kita manusia yang berusaha jadi manusia
 
Magelang, 2022


Doa-Doa di Atas Sepeda Motor Kita
 
Di punggung Jogja kudapati jalan-jalan mengular
dan perempatan-perempatan yang masih lengang,
dikunjungi waktu yang menumpang pada sepeda motor kita.
Ia cari celah antara kau dan aku;
pada rengkuh tanganmu di pinggangku.
Seperti tahu bahwa arah perjalanan kita
mendekat kepada tuju yang mudah diterka.
 
Barangkali kita mesti beristirahat sejenak, mumpung hari masih Sabtu.
Sebentar lagi malam lahir di Bukit Bintang, dari rahim perantau
yang mencari juga menemukan alasan untuk tinggal lebih lama dari rencana.
Kemudian, bersama rindu, menikmati aroma jagung
yang menenggelamkan rona bulan di wajahmu.
 
Dik, tatapanmu sedingin rahasia
yang perca-perca rencananya digubah dengan benang-benang kenangan.
Aku bahkan belum menyentuh takdir
sebab doa-doa yang kita panjatkan entah akan mengetuk pintu yang mana.
 
Ah, sudahlah, mari kuantar kau kembali,
sebab esok kau punya janji: menyanyikan kidung penenang jiwa.
Sementara di kakiku masih terasa sisa angin kemarin
mengibaskan sarung dan langkah yang dimaknai musala-musala.
Apakah itu akan menyayat doa-doa yang bersemayam muram di telapak tangan kita?
 
Magelang, 2021

Anindita Buyung P., lahir di Banyumas tinggal di Magelang. Menulis puisi dan cerpen di sela kegiatannya sebagai pengajar di sebuah sekolah mengengah atas di kota Magelang. Beberapa karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak, daring, dan antologi bersama. Penulis bisa ditemui di akun instagram @aninditabuy dan surel aninditabuyung@gmail.com.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak