Tentang Buku | Permainan Metafora dalam Karya Sastra - Suara Krajan

Judul Buku    : Permainan Metafora dalam Karya Sastra

Penulis            : Akhmad Idris

Penerbit          : LovRinz

Cetakan          : I, Juni 2022

Tebal              : x + 68 halaman

ISBN               : 978-623-446-341-5

Peresensi        : Fathorrozi

 

Saya sama sekali tak menafikan mereka yang mengklaim bahwa akhlak bertahta di atas ilmu. Sebab, realitas di sekeliling kita kerapkali para penyandang ilmu terkucilkan di tengah-tengah masyarakat lantaran tidak menerapkan akhlak dalam berperilaku dan berucap. Perilaku keras dan ucapan kasar yang mengundang kebencian justru menunjukkan bahwa ilmu yang dimilikinya jauh dari kesantunan.

Masyarakat pun menilai, santun (arti lain dari akhlak) lebih luhur dari ilmu. Mereka juga menyetujui bahwa sebelum belajar ilmu, harusnya lebih dulu belajar akhlak, karena dalam belajar ilmu butuh akhlak. Hal pertama kali yang dipandang oleh masyarakat adalah akhlak, setelah itu baru ilmu. Betapa banyak orang yang berilmu namun tidak berakhlak, akhirnya berujung nestapa.

Demikian pula dalam bersastra. Terlebih kita hidup di daerah yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Kesantunan lebih diutamakan. Maka dari itu, sebelum kita bertekad untuk menjatuhkan diri dalam berkarya sastra, alangkah baiknya lebih dulu kita mendalami kesantunan dalam bersastra.

Langkah tepat untuk belajar kesantunan yang dimaksud di atas salah satunya adalah dengan membaca dan mempelajari buku karya terbaru Akhmad Idris yang berjudul Permainan Metafora dalam Karya Sastra ini. Dalam buku yang diterbitkan oleh LovRinz pada Juni 2022 tersebut, penulis mengupas bagaimana agar hal tidak senonoh menjadi sesuatu yang biasa saja dan diterima oleh publik. Semisal urusan ranjang yang dianggap kurang santun, bagaimana cara sastrawan untuk menyiasatinya biar menjadi hal yang estetis.

Stigma seperti ini (sedikit maupun banyak) berpengaruh terhadap perkembangan diksi kesusastraan nusantara (halaman 57). Kalimat-kalimat yang dianggap terlalu vulgar rawan disensor, bahkan terancam gagal terbit sekalipun ide cerita yang diangkat terkini, unik dan berinovasi. Dalam karya fiksi, hal seperti ini dinamakan kode estetik.

Akhmad Idris dalam buku dengan tebal 68 halaman ini, ia mengulik novel Para Pelacurku yang Sendu karya Gabriel Garcia Marquez yang dipandang telah berhasil menggambarkan urusan seksualitas dengan bahasa yang cukup santun. Novel yang berisi kisah seorang lelaki tua berusia 90 tahun jatuh cinta kepada seorang gadis yang baru memasuki masa puber ini, dipaparkan oleh Gabriel Garcia Marquez dengan bahasa figuratif sehingga membuat urusan seks tidak lagi terkesan tabu, namun justru terlihat anggun dan elegan (halaman 58).

Sebagai contoh konkret, penulis mengutip sebagian isi novel tersebut sebagaimana penggalan berikut:

Pada percobaan pertama, ia melawan dengan paha mengencang. Aku bernyanyi di telinganya: Malaikat merubungi di ranjang Delgadina. Ia menjadi sedikit lebih santai. Seembus gelombang hangat mengalun di urat nadiku (Gabriel Garcia Marquez, Para Pelacurku yang Sendu, 28).

Lewat ungkapan tersebut, keinginan untuk berhubungan badan tersampaikan dengan santun. Penyebutan ingin berhubungan intim yang diungkapkan dengan kalimat ‘seembus gelombang hangat mengalun di urat nadiku’, menjadi bukti bahwa karya sastra memang mampu membuat santun segala hal yang dianggap tabu.

Pada lembaran berikutnya di lain judul, Akhmad Idris juga memunculkan kesantunan sastra dalam novel karya Gabriel Garcia Marquez yang lain; Love in the Time of Cholera (Cinta Sepanjang Derita Kolera). Untuk menyebut alat kelamin laki-laki, Gabriel menggunakan istilah lain yang terkesan lebih santun agar terhindar dari ketabuan. Sebagaimana dalam kutipan berikut:

Dia punya hak pemakaian permanen untuk satu kamar hotel, bukan hanya untuk memecahkan masalah bagian bawah perutnya kapan saja dia memutuskan akan melakukannya (Gabriel Garcia Marquez, Cinta Sepanjang Derita Kolera, 136).

Dengan penggunaan ungkapan yang meminjam nama anggota tubuh yang lain (perut), hal yang tidak pantas menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Dari itu, penting bagi penulis atau pengarang karya sastra untuk belajar kesantunan, agar karya yang dihasilkan mampu diterima oleh berbagai kalangan, termasuk kalangan yang menjunjung tinggi adat kesopanan.***

 


*) Fathorrozi, penulis lepas, tinggal di Ledokombo, Jember, Jatim.

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak