
Sejuk, hening, dan udara yang bersih serta panorama khas pedesaan siap menyambut kedatangan para wisatawan baik manca negara dan domestik. Pintu gerbang desa yang berbentuk pura, jalan desa yang terbentang dengan lebar tidak lebih dari 3 meter, berlapiskan batu-batu kerikil yang menyatu dengan semen, terlihat sangat bersih. Hampir tidak ditemukan sampah. Sebuah pemandangan yang indah untuk sebuah desa yang berada di Indonesia.
Desa Penglipuran merupakan
salah satu desa yang ada di pulau Bali. Tepatnya di kabupaten Bangli. Sebuah
desa wisata yang menjadi magnet wisatawan. Rasanya tak lengkap jika kita
melewatkan pesona desa wisata Penglipuran ini.
Kita disuguhi berbagai keunikan panorama, budaya, juga konsepnya
sebagai sebuah desa yang memiliki nilai
sejarah, filosofis, serta sarat dengan nuansa religinya yang sangat kental,
juga penduduknya yang sangat ramah.
Begitu masuk di kampung,
beberapa penduduk menyapa pengunjung
dengan ramahnya. Rumah-rumah yang berjajar padat, dengan interiornya yang khas.
Beberapa perempuan muda, ibu-ibu, juga anak-anak membawa sebuah sesembahan,
mengenakan busana sehari-hari, ada ikat pinggang dari kain. Lalu bersimpuh memuja Tuhan YME. Sebuah suasana
yang sangat religius.
Udara yang sangat bersih ini
sangat terasa karena tidak ada kendaraan bermotor sama sekali. Dan setiap 30
meter terdapat tempat sampah. Tak hanya bersih, keadaan kanan kiri jalan dan
rumah-rumah penduduk terlihat sangat asri. Rerumputan hijau segar sangat rapi
dan terawat. Pohon-pohon kamboja khas pulau dewata tampak bermekaran, seakan
ikut gembira menyambut para wisatawan. Pura-pura mungil berjajar rapi di depan
rumah warga menambah pesona eksotis desa ini.
Hampir setiap rumah
menawarkan dagangan. Mempersilahkan pengunjung untuk mampir, sekadar
melihat-lihat dan membeli beberapa barang yang dijual. Seperti kerajinan tas,
dompet, sarung khas Bali, kipas batik, asesoris, juga aneka minuman yang dibuat
sendiri (Homemade). Mereka juga menawarkan persewaan baju adat buat pengunjung
untuk bisa berswafoto di sekitar desa, atau di Pura depan rumah warga, atau
jalan desa yang memiliki pemandangan yang memikat.
Dengan membayar sewa baju
adat laki-laki maupun perempuan seharga 25 ribu rupiah saja, penampilan kita
menjadi sangat berbeda. Berkebaya, memakai jarik, dan mengenakan ikat pinggang
khas perempuan Bali.
Tata kelola desa ini memiliki
filosofi yang sangat dalam. Yakni mengacu pada konsep Tri Hita Karana, yakni suatu filosofi masyarakat
tentang keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia, dan lingkungannya. Dengan
mengangkat tradisi dan budaya lokal, pada 1995, desa Penglipuran mendapatkan
penghargaan Kalpataru dari Pemerintah Indonesia atas upayanya melindungi hutan
bambu di ekosistem lokal mereka.

Wilayah desa ini dibagi
menjadi tiga tempat yang diberlakukan konsep Tri Mandala. Diurutkan dari
wilayah paling utara hingga paling selatan.
Wilayah paling utara disebut dengan Utama Mandala, sebuah tempat khusus
untuk tempat pemujaan yang suci, kemudian bagian tengah disebut dengan Madya
Mandala, yaitu tempat pemukiman penduduk yang dibangun berbanjar sepanjang jalan
utama desa. Dan yang paling selatan disebut dengan Nista Mandala, merupakan
tempat pemakaman.
Selain keunikannya dalam
menyuguhkan keotentikan budaya dan tradisi, serta suasana religius yang sangat
kental, desa Penglipuran telah menorehkan prestasinya sebagai Desa Terbersih di
dunia dari ISTA (Indonesia Sustainable Tourism Award) pada 2017. Desa
Penglipuran juga masuk dalam Top 100 Sustainable Destination versi Green
Destinations Foundation.
Pesona dan keunikan desa
Panglipuran tak berhenti pada keteguhannya menjaga tradisi dan budaya, meraih
berbagai penghargaan di tingkat nasional dan dunia, saya juga tersentuh dengan
keramahan gadis kecil berambut panjang yang ramah dan percaya diri menawarkan
minuman khas buatan warga Penglipuran.
Sebuah minuman dari sari daun
Loloh yang sangat segar dan sedikit asam, dia membimbing saya dengan beberapa
rekan menuju rumahnya. Di sana dia dengan riangnya menceritakan aktivitas
ibunya menyiapkan dagangan, menata ruang persewaan baju adat bagi pengunjung, juga mengantar pengunjung yang
ingin ke toilet. Dan dengan ramahnya dia
menyebutkan namanya, Ni Komang Yosi Septiani.
Baca Juga: Berwisata Sejarah di Petirtaan Jolotundo
***

Sinar mentari naik
sepenggalah, hangatnya menusuk pucuk-pucuk daun kamboja. Suasana desa yang
sejuk namun menghangatkan hati ini telah
menorehkan kesannya yang mendalam saat saya berjalan pelan meninggalkan desa
penuh pesona ini. Seakan membisikkan kata, bahwa saya harus berkunjung kembali.
*(Penulis merupakan guru di MAN 2
Mojokerto,, Tim kreatif dan redaktur Majalah Elipsis, tinggal di Mojokerto.
Keren,.Kak. Sebuah laporan perjalanan yang apik.
BalasHapus