PERAHU MIMPI
Debur ombak merayap
dari jauh menuju bibir pantai
Angin bersarang
menggoyangkan daun kelapa
Anak senja berdiri
tegak di antara ombak yang merayap
Burung-burung angkasa terbang
menuju rumahnya, kembali
memeluk anak-anaknya.
Anak senja pulang;
Ia menuju perahu impian
Ia belajar menulis puisi
Cita-citanya menjadi penyair.
Kala itu, hari semakin petang
Ia sembahyang
Doa panjang di panjatkan
Angin semakin dingin
Ia ketiduran memeluk puisi.
(2022)
SEGELAS KOPI
Di bawah gelapnya malam
bulan pelan-pelan
menggeser tubuhnya
Di bawah lampu perkotaan
Orang-orang memesan
kopi panas dan sibuk sendirian.
Tak ada hiruk pikuk
orang-orang yang berbincang
semuanya diam.
Diam termangu meratapi
isi whatsapp_nya
yang berisikan luka, duka
dan kecemburuan.
Sesekali aku membayangkan
“Jika Tuhan memiliki pesan whatsapp”
“Mungkin-mungkin, Ia selalu mengingatkan”
Serupa Ayah, Ibu & Anak.
(2022)
PEREMPATAN JALAN RAYA
Detak jam merayap
penuh kepastian
Mengalir desir hari yang getir
Malam melepaskan dingin.
Aku melangkah ke selatan
Mendengar jerit bayi
yang terbangun di tengah ilalang
Embun malam membasuh dedaunan
Menyerupai bekas
- bekas gerimis di tengah, di pinggir jalan
Aku melangkah ke barat
Menemui rumah-rumah kosong
tanpa kasih sayang.
Angin melintas pelan
di perempatan jalan
Di sebelah kanan ada bangunan tua
yang berisikan doa yang panjang.
Pintunya terbuat dari Dzikir
Lakunya terbuat dari Hati.
(2022)
PELAJARAN BAHASA INDONESIA
Dari sekolah dasar
hingga sekolah menengah akhir
Aku dipertemukan
pelajaran Bahasa Indonesia
yang dulu tidak kusukai,
yang kuanggap membosankan,
yang selalu berbicara S-P-O-K dan
kiat-kiat menulis cerita
Aku merasa bosan dengan semua itu.
Sesekali; aku sedikit mencintai
pelajaran Bahasa Indonesia, melalui puisi
dan cerita pendek.
Aku menemukan puisi yang lucu, gembira penuh dengan hura-hura,
dan cerita pendek yang seperti Ibu kala mendongeng sebelum tidur.
Dari pelajaran Bahasa Indonesia
Aku menekuni puisi. Walau
puisiku sungguh-sungguh tidak karuan.
Belajar menulis puisi.
Cita-citaku menjadi penyair
Bapakku tidak mengerti
“Apa itu penyair”
Dan aku tidak mampu menjelaskannya
Dan ibuku sedikit tahu
“Apa itu penyair”
Dan aku lega
tidak repot-repot
menjelaskan kepada Bapakku.
Sebab Ibu akan menjelaskannya dari hati ke hati.
(2022)
dari jauh menuju bibir pantai
Angin bersarang
menggoyangkan daun kelapa
Anak senja berdiri
tegak di antara ombak yang merayap
Burung-burung angkasa terbang
menuju rumahnya, kembali
memeluk anak-anaknya.
Ia menuju perahu impian
Ia belajar menulis puisi
Cita-citanya menjadi penyair.
Ia sembahyang
Doa panjang di panjatkan
Angin semakin dingin
Ia ketiduran memeluk puisi.
(2022)
bulan pelan-pelan
menggeser tubuhnya
Di bawah lampu perkotaan
Orang-orang memesan
kopi panas dan sibuk sendirian.
orang-orang yang berbincang
semuanya diam.
isi whatsapp_nya
yang berisikan luka, duka
dan kecemburuan.
“Jika Tuhan memiliki pesan whatsapp”
“Mungkin-mungkin, Ia selalu mengingatkan”
Serupa Ayah, Ibu & Anak.
(2022)
penuh kepastian
Mengalir desir hari yang getir
Malam melepaskan dingin.
Mendengar jerit bayi
yang terbangun di tengah ilalang
Embun malam membasuh dedaunan
Menyerupai bekas
- bekas gerimis di tengah, di pinggir jalan
Menemui rumah-rumah kosong
tanpa kasih sayang.
di perempatan jalan
Di sebelah kanan ada bangunan tua
yang berisikan doa yang panjang.
Pintunya terbuat dari Dzikir
Lakunya terbuat dari Hati.
hingga sekolah menengah akhir
Aku dipertemukan
pelajaran Bahasa Indonesia
yang dulu tidak kusukai,
yang kuanggap membosankan,
yang selalu berbicara S-P-O-K dan
kiat-kiat menulis cerita
Aku merasa bosan dengan semua itu.
pelajaran Bahasa Indonesia, melalui puisi
dan cerita pendek.
Aku menemukan puisi yang lucu, gembira penuh dengan hura-hura,
dan cerita pendek yang seperti Ibu kala mendongeng sebelum tidur.
Aku menekuni puisi. Walau
puisiku sungguh-sungguh tidak karuan.
Cita-citaku menjadi penyair
Bapakku tidak mengerti
“Apa itu penyair”
Dan aku tidak mampu menjelaskannya
Dan ibuku sedikit tahu
“Apa itu penyair”
tidak repot-repot
menjelaskan kepada Bapakku.
Sebab Ibu akan menjelaskannya dari hati ke hati.
Keterangan: sebenarnya puisi ini dibuat beberapa tahun yang lalu saat betul-betul mencintai dan belajar menulis puisi. Dulu waktu SMP sering menulis puisi untuk Majalah Dinding Sekolah. Semasa SMA proses kreatif tersebut meredup dan kini mulai mencintai lagi.
Baca Juga: Geguritan-Geguritan Anggitane Kang Admono
PAK TUA
Ia berangkat pagi
- pagi buta
dari mulai kicauan
burung kutilang menyanyi.
Ia senantiasa berjalan
tanpa alas kaki
menyisiri jalanan kecil.
Langkahnya yang pelan
Di iringi desir angin dingin
yang meraba-raba tubuhnya.
Tanpa rasa ragu
Ia tetap melangkah
Demi sesuap nasi anak, istri
(2022)
PINTU RUMAH
Telah kuketuk pintu itu;
tiga kali tanpa ada sahutan
Aku berdiam-diam diri
di antara malam yang sepi
dan bayang-bayang pohon beringin
yang rindang terkena
sorot lampu merkuri
yang terpasang di depan rumah.
Selang beberapa menit;
Kuketuk lagi pintu itu,
Ia menyahut;
“Kau kah itu tuan”
“Silahkan masuk”
Aku berdiam-diam masuk
Dan duduk di kursi kecil
sambil menyeduh teh.
Lalu, aku mengambil air
untuk membasuh serta niat untuk berwudu
“Aku ingin berdoa di pintu rumahmu, Tuhan”
(2022)
- pagi buta
burung kutilang menyanyi.
Ia senantiasa berjalan
tanpa alas kaki
menyisiri jalanan kecil.
Di iringi desir angin dingin
yang meraba-raba tubuhnya.
Tanpa rasa ragu
Ia tetap melangkah
Demi sesuap nasi anak, istri
Telah kuketuk pintu itu;
tiga kali tanpa ada sahutan
Aku berdiam-diam diri
di antara malam yang sepi
dan bayang-bayang pohon beringin
yang rindang terkena
sorot lampu merkuri
yang terpasang di depan rumah.
Kuketuk lagi pintu itu,
Ia menyahut;
“Kau kah itu tuan”
“Silahkan masuk”
Dan duduk di kursi kecil
sambil menyeduh teh.
Lalu, aku mengambil air
untuk membasuh serta niat untuk berwudu
