Indonesia masuk tiga besar sebagai negara terkorup di Asia menurut
laporan lembaga Transparency International bertajuk ‘Global Corruption
Barometer-Asia’. Survei ini digelar sejak Juni hingga September 2020 terhadap
20 ribu responden di 17 negara Asia. Ini menjadi indikator bahwa pemerintah
telah gagal menjalankan kerja reformasi birokrasi dan upaya pencegahan yang
selama ini menjadi jualan utama pemerintah selama 6 tahun terakhir
(BeritaBaru.Co, 01/12/2020).
Korupsi di negeri ini terus melenggang dan melaju ke titik nadir, seolah
tak dapat dihentikan. Kejahatan kerah putih ini sangat luar biasa
popularitasnya. Dari kelas teri hingga kelas kakap, bahkan mungkin kelas paus
mewarnai pernak-pernik dunia ngeri-ngeri sedap – meminjam istilah Sutan
Batugena almarhum, mantan politisi Partai Demokrat. Para pejabat di lingkungan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara masif, sistematis, dan rapi layaknya
jaringan mafia melakukan kejahatan yang sangat luar biasa dampaknya ini.
Menteri, gubernur, bupati, wali kota, politisi DPR, jaksa, hakim, dan polisi tak
bisa mengelak dari belitan tindak pidana korupsi. Para pejabat di level kepala
dinas ikut pula meramaikan berita mengenai korupsi.
Pada era Orde Baru (Orba) perilaku korupsi masih terbatas kuantitas dan
kualitasnya. Tidak separah seperti saat ini. Ketika itu kita tidak mendengar
istilah dan ungkapan korupsi berjamaah, operasi tangkap tangan (OTT), dan Jumat
Keramat. Namun, di zaman reformasi korupsi semakin mewabah. Gus Dur (Abdurahman
Wahid, mantan presiden Republik ini) dengan nada humor mengingatkan bahwa
korupsi pada masa Orde Lama dilakukan di bawah meja dengan malu-malu kucing,
sedangkan korupsi pada masa Orde Baru dilakukan di atas meja secara
terang-terangan tanpa rasa sungkan atau malu sedikit pun. Yang lebih
mengenaskan dan menggemaskan adalah korupsi di masa Orde Reformasi karena meja
yang biasanya digunakan untuk bertransaksi melakukan korupsi lenyap atau
hilang pula dikorupsi.
Sebab-sebab Korupsi
Korupsi merupakan kejahatan yang sangat luar biasa proses dan akibatnya.
Itu sebabnya, cara-cara penanganan untuk mengatasinya juga memerlukan tindakan
pencegahan dan penanggulangan yang juga sangat luar biasa. Untuk itu, pemerintah pun membentuk lembaga yang super body yang pada dekade
sekarang ini dikenal sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini
diharapkan sebagai satu-satunya lembaga anti-rasuah yang mampu mencegah dan
membabat korupsi yang merongrong Republik ini.
Dengan teknologi sadap para koruptor akhirnya tertangkap tangan dalam
sebuah operasi yang digelar oleh KPK. Operasi ini dikenal dengan istilah
Operasi Tangkap Tangan (OTT). Seorang pejabat sekelas menteri tertangkap dan
kemudian harus mengenakan seragam oranye. Pejabat sekelas menteri lainnya pun
menyusulnya pula. Benar-benar keterlaluan. Sangat berani, nekat, dan tidak
punya malu.
Kasus terbaru yang hingga saat ini masih menjadi bahan perbincangan
masyarakat adalah tertangkapnya Menteri Perikanan dan Kelautan, Edhy Prabowo,
oleh KPK, dengan nilai korupsi miliaran rupiah yang bagi rakyat kecil perbuatan
demikian dianggap di luar jangkauan nalar. Tidak lama setelah itu, tertangkap
pula Menteri Sosial, Yuliari Batubara, dengan nilai korupsi yang juga tidak
main-main, miliaran rupiah pula.
Sepanjang tahun 2020 saja, KPK telah menetapkan 109 tersangka tindak
pidana korupsi. Mereka ini adalah penyelenggara negara dan pihak swasta
(LensaRakyat.Id, 31/12/2020). Para penyelenggara negara tersebut adalah
menteri, gubernur, walikota, dan bupati. Para pejabat ini tidak pernah mau
belajar dari peristiwa penangkapan dan pemenjaraan para tersangka kasus
korupsi.
Betapa sangat rapuhnya mental para koruptor sehingga korupsi seolah
tidak dapat distop. Ungkapan “Jumat Keramat” hingga saat ini belum juga
terhapus dari memori kita. Penjara Nusakambangan, Guntur, Sukamistin, Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang,
dan Rumah Tahanan (Rutan) Salemba selalu
kedatangan penghuni baru, para penjahat kerah putih koruptor kelas kakap. Wow!
Menurut Wang An Shih dalam Sosiologi Korupsi (1982) korupsi berkembang
biak karena buruknya hukum (hukum
yang tidak efisien dan tidak rasional). Selain itu, juga karena buruknya manusia (para pemegang kekuasaan yang tidak bermoral tinggi).
Para koruptor memiliki nafsu untuk hidup
mewah.
Sementara itu, menurut Prof. Dr. Baharuddin Lopa, S.H., matan jaksa
agung, ada tiga faktor dominan yang menyebabkan
terjadinya korupsi, yaitu lemahnya iman, lemahnya sistem, dan faktor kerawanan kondisi sosial yang timbul akibat keserakahan segelintir
orang. Secara historis, sejarawan
Sartono Kartodirdjo mengatakan bahwa korupsi bersumber dari birokrasi kolonial yang mewarisi karakteristik dualistik. Artinya ini merupakan
struktur semi-feodal dan legal rasional.
Serakah, nafsu untuk hidup mewah, dan hukuman yang ringan menyebabkan korupsi bertunas di berbagai
sektor. Seolah-olah korupsi itu menjadi tujuan dan gaya hidup para koruptor. Tentu saja ini tidak boleh dibiarkan. Layaknya perlu hukuman
berat bagi para koruptor.
Apakah Layak Didor?
Dampak korupsi sangat merugikan negara. Negara bisa runtuh karena
digerogoti para koruptor yang mencuri
uang negara. Cepat atau lambat jika perilaku korupsi berkembang di mana-mana, negeri ini akan binasa. Rakyat hidup menderita. Jika seorang
pejabat ketahuan korupsi dan kemudian
ditangkap oleh KPK, tidak sedikit pun memiliki rasa takut dan malu. Mereka malah tersenyum dan melambaikan tangan kepada para awak juru
warta. Seolah-olah korupsi dianggap sebagai
prestasi dan prestise.
Tidak seperti di negeri matahari terbit yang masyarakatnya tertib dan
memiliki budaya malu yang tinggi. Para pejabat
Jepang yang ketahuan korupsi dengan gagah berani melakukan harakiri dengan samurai. Aksi bunuh diri ini dilakukan sebagai
perwujudan rasa nalu yang menggumpal di dalam hatinya.
Mantan Jaksa Agung, Sukarton Marmosudjono, pernah mengingatkan agar
pelaku tindak pidana korupsi ditindak
dengan tuntutan yang berat. Ia mengatakan bahwa tidak adil apabila manipulator hukumannya ringan, sedangkan pencuri hukumannya berat. Padahal, manipulator melakukan tindakan yang mengganggu jalannya pembangunan.
Manipulator adalah koruptor yang tidak memiliki hati nurani. Mereka
berkhianat dan tidak memegang teguh amanat
yang diberikan oleh rakyat. Mereka lamis, cuma manis di bibir karena lain di hati lain di mulut. Apa yang diniatkan tidak selaras
dengan apa yang diucapkan dan dilakukan. Mereka mengamalkan hipokrisi secara sempurna.
Selama ini hukuman mati diberlakukan bagi para pelaku tindak pidana
terorisme, para gembong dan bandar narkoba,
dan para pembunuh yang mengakibatkan nyawa banyak orang melayang. Di negeri ini hukuman mati diberlakukan dengan cara menembak
terpidana dengan peluru tajam
hingga terpidana dinyatakan sudah meninggal dunia oleh dokter. Bukan dipancung, digantung, disetrum dengan listrik atau disuntik, seperti
yang berlaku di Arab Saudi, Malaysia, atau
Amerika Serikat. Cuma di China pelaku korupsi miliaran rupiah dihukum mati dengan cara ditembak.
Koruptor membunuh secara tidak langsung banyak orang. Harkat, derajat,
dan martabat manusia dan kemanusiaan
dihancurkan oleh koruptor secara sistematis. Itu sebabnya, koruptor layak dihukum berat. Hukuman ringan bagi para koruptor tidak
membuat jera dan tidak memberikan pesan
yang kuat bagi orang lain agar tidak melakukan korupsi.
Korupsi yang dilakukan oleh Yuliari Batubara dengan mengentit bantuan
sosial (bansos) ketika masyarakat di
negeri ini sedang diterpa pandemi Covid-19 atau wabah Corona, harus diberi sanksi berat hukuman mati. Bayangkan, berapa banyak manusia di
Republik ini yang telah dihancurkan rasa
manusia dan kemanusiaannya.
Kita layak meniru kebijakan dan strategi yang ditempuh oleh negeri tirai
bambu. Hukuman mati bagi para koruptor
miliaran hingga triliunan rupiah sudah sering kita dengar. Para pejabat sekelas menteri dan walikota banyak yang dihukum mati karena
terbukti berbuat korupsi. Ketegasan
Pemerintah China terhadap koruptor yang telah dipelopori oleh Zu Rongji,
Perdana Menteri China, layak diikuti. Tegas, berat, dan tidak pandang bulu.
Bahkan, Zu Rongji sendiri telah memesan peti mati jika ia juga telah melakukan
korupsi. Apakah koruptor layak didor? Saya pikir dan saya rasa mereka memang
layak didor. Sebab, mereka sekelas dengan
pembunuh sadis yang telah menewaskan banyak orang. Mereka juga sekelas dengan teroris dan bandar narkoba yang telah menghinakan dan
meniadakan harkat, derajat, dan martabat
manusia dan kemanusiaan kita.
Tuntutan hukuman mati bagi Heru Hidayat yang telah melakukan mega
korupsi di ASABRI diajukan karena jaksa
menilai perbuatan Heru Hidayat termasuk kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Artinya, perilaku korupsi Heru Hidayat berbahaya bagi bangsa dan martabat bangsa. Ia diyakini jaksa telah melakukan tindak pidana korupsi
(tipikor) yang merugikan negara sebesar 22,7 triliun rupiah. (DetikCom, 7
Desember 2021). Perilaku terdakwa juga dinilai jaksa tidak mendukung program
pemerintah memberantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Koruptor miliaran hingga triliunan rupiah pantas dihukum mati. Apalagi
perbuatan keji ini dilakukan oleh koruptor
dengan mencuri bansos ketika negeri ini tengah dilanda wabah Corona. Korupsi triliunan rupiah
layak dihukum mati ketika negeri ini sedang dilanda krisis karena pandemi
Covid-19. Ini sebagai hukuman yang akan memberikan efek jera bagi siapa saja.
Sudah selayaknya kita semua mendukung upaya pencegahan dan penindakan
perbuatan korupsi. Katakan tidak
pada korupsi. Katakan emoh korupsi demi tetap tegaknya Republik ini. Demi anak dan cucu kita pada kemudian hari nanti. Demikianlah.
Cibinong, Juli 2022
====================
Syukur Budiardjo, Penulis dan Pensiunan
Guru ASN di DKI Jakarta. Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Jakarta. Menulis
artikel, cerpen, dan puisi di
media cetak, media daring, dan media sosial. Kontributor sejumlah antologi puisi. Menulis buku kumpulan puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa
yang Menunggu Lelaki Datang (2018),
Demi Waktu (2019), Beda Pahlawan dan Koruptor (2019), buku kumpulan esai Enak Zamanku, To! (2019), dan buku non fiksi Strategi
Menulis Artikel Ilmiah Populer di Bidang
Pendidikan Sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018). Akun Facebook, Instagram, dan YouTube menggunakan nama Sukur Budiharjo. Email budiharjosukur@gmail.com. Tinggal di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16913.