Hujan menyisakan gerimis kecil ketika waktu mendekati pertengahan malam,
genangan air terlihat dibeberapa tempat tak jauh dari Munirman berteduh di
emperan mini market. Aroma bau busuk sampah dibawa angin berputar-putar. namun tak membuat orang-orang sedikit pun merasa
terganggu.
Setelah disenyapkan hujan yang menyisakan genangan di bagian jalan
yang berlubang. Perlahan kota
Rengasdengklok kembali berdenyut, para penjual sayuran kembali
menggelar dagangannya, baik yang di dalam pasar maupun yang menggelar jualannya
di trotoar dan bahu jalan, begitu juga dengan tukang ojek, termasuk Munirman, mereka
keluar dari tempatnya berteduh.
Sebuah angkot berhenti di depan mini market. Munirman bergegas
menghampiri dan langsung menawarkan jasanya sebagai tukang ojek. Namun para
penumpang angkot hanya
terdiam dan memalingkan muka, ada juga yang pura-pura tertidur. Di tempat itu
hanya ada seorang yang turun, itu pun langung bergegas menghindar. Lalu Munirman pun kembali duduk terdiam
sambil hatinya tak henti berdo’a, berharap malam ini mendapatkan penumpang.
****
Di langit awan kembali menghitam, mengisyaratkan hujan akan kembali mencurah. Munirman pun hanya bisa
berdoa agar hujan tak tumpah lagi sampai pagi tiba, sampai ia mendapatkan
penumpang dan pulang dengan membawa uang. Sedangkan waktu tetap merangkak
meski terasa
lambat, menunggu pun menjadi terasa berat dan Munirman masih setia pada do’anya.
Setelah lelah menunggu, angkot tak datang juga. Malahan gerimis seakan bersilaju.
Kepanikan pun semakin terlihat di wajah Munirman, beberapa kali ia menghela napas dan menggaruk-garuk kepalanya,
bahkan kadang ia melangkahkan kakinya ke tengah jalan, mencoba melihat apakah
ada angkot yang terlihat datang.
Akhirnya Munirman hanya bisa pasrah, dia hanya duduk membisu di
atas motornya. Tidak perduli gerimis yang tumpah membasahi tubuhnya, bahkan sesekali ia menegadah, sengaja wajahnya
dibasahi gerimis sekedar upaya mengusir kantuk yang terus bergelayut.
******
Gerimis seketika
reda, seiring laki-laki tua berjalan tertatih dengan tongkat datang menghampiri dan
Munirman pun langsung menyambutnya dengan girang.
“Ojeknya Mbah? Mau kemana?”
“Ke Desa Payungsari Nak,”
“Baik Mbah, buat penglaris dua puluh ribu saja.”
“Justru itu, Mbah nggak punya uang Nak!”
“Lah, terus saya dibayar pakai apa Mbah?”
“Mungkin bisa anterin Mbah dengan suka rela Nak.”
Munirman langsung terdiam,”Mbah, saya ini belum dapat uang sepeser
pun malam ini, Jadi maaf saya nggak bisa.”
“Ohhh, ya sudah!” ujar lelaki tua itu sambil melangkahkan kakinya
dan duduk di kursi depan warung
nasi yang masih tutup.
“Lah kok kenapa duduk disitu Mbah?” Tanya Munirman heran.
“Ya menunggu Gusti Allah kirim pertolongan, seperti kamu yang menunggu penumpang!”
“Jangan cuma
nunggu Mbah, sana cari tukang ojek lain, siapa tahu ada yang searah dengan Mbah
dan mau pulang, Mbah kan bisa sekalian membonceng!”
“Sudah, Mbah cari-cari dari tadi sebelum kesini, nggak ada yang
ketemu juga tuh!”
Munirman pun terdiam, laki-laki tua di hadapannya seolah sengaja
menunggunya berubah pikiran, seakan mengharap belas kasihannya. Tapi Munirman
tak bisa menuruti rasa kasihannya itu. Kekalutan karena belum dapat uang
membuatnya tega membiarkan laki-laki tua itu termangu menunggu pertolongan.
Tanpa disadari Munirman, sebuah angkot berhenti di hadapannya, ia
nampak tersentak dan langsung
bergegas menghampiri dan menawarkan jasanya pada penumpang. Namun lagi-lagi
usahanya gagal, dia pun kembali ke motornya dengan wajah muram.
“Sudahlah Nak, dari pada nggak dapat uang, dapat pahala juga sudah
beruntung!” ungkap lelaki tua itu.
“Maksud Mbah ini apa?”
“Kalau nganterin Mbah kan dapat pahala,” Lelaki tua itu tertawa
terkekeh-kekeh hingga batuk-batuk.
Munirman hanya terdiam sambil menghela napas dalam.
“Nak, sholat itu diakhiri dengan Assalamualikum, itu artinya kalau
pandai berAllahhu Akbar ya harus pandai juga berassalamualaikum, berketuhanan
harus dibarengi dengan kemanusiaan.”
Munirman kembali hanya membisu, dilihatnya lelaki tua itu yang
sedang memain-mainkan tongkatnya. Omongan lelaki tua itu membuatnya termenung,
ditatapnya langit yang masih mendung, lantas dihelanya napas, setelah itu dia nyalakan motornya,
“Mbah, ayo naik, saya antarkan!”
******
Disepanjang perjalanan laki-laki tua itu hanya melantunkan sholawat.
Angin yang kencang dan helm yang dikenakan Munirman membuat lantunan itu hanya
terdengar sayup-sayup dan kadang lenyap. Munirman pun tak begitu tertarik untuk
sekedar mengobrol dengan laki-laki tua itu. Pikiran yang kalut membuatnya tak
berselera untuk berbincang, yang biasa ia lakukan bila sedang narik penumpang.
Setelah tiga puluh menit diperjalanan, akhirnya sampai juga di
desa tujuan. Setelah melewati pertigaan, lelaki tua itu meminta berhenti di depan rumah yang masih
berdinding bilik, lampu bohlamnya pun terlihat redup. Lelaki itu turun dari
motor dengan pelan, setelah mengucapkan terima kasih berkali-kali, dia
melangkah tertatih dibantu tongkatnya. Kemudian tanpa pikir panjang Munirman langsung balik arah dan pulang.
*****
Seusai shalat subuh, Munirman dikejutkan teriakan istrinya yang
memanggilnya. Dia bergegas menghampiri. Lalu Munirman pun
dibuat terhenyak, melihat istrinya menunjukan beberapa lembar uang retusan ribu
yang diambil dari saku jaketnya
“Katanya nggak dapat penumpang, ini apa?”
”Orang tua itu, pasti itu uang dia, harus
kita kembalikan!”
“Lah ini rejeki nomplok pak, siapa tahu dia
ngasih!”
“Nggak, dia nggak ngasih malah minta gratis!”
Tanpa peduli ocehan istrinya, Munirman
kembali mengeluarkan motor, lalu melaju menuju desa Payungsari, tempat lelaki
tua itu dia antarkan. Tetapi setibanya di lokasi rumah lelaki tua itu, Munirman
hanya termangu dalam kebingungan. Karena rumah gubuk lelaki tua itu tidak ada dan yang nampak hanya
sebuah Surau. Lantas dalam kebingungannya
dia menghampiri warung kopi. Namun mendapat pertanyaan dari Munirman, pemilik
warung pun merasa heran, karena memang tidak ada laki-laki tua seperti yang digambarkan Munirman.
*Seorang guru di sekolah dasar. Cerpen-cerpennya tersiar di media cetak dan online. Lahir dan bermukim di Karawang.
Baca Juga: 5 Puisi Muhammad Asqalani eNeSTe