Sudarta
memang masih ingat pesan kakeknya dulu bahwa orang Kampung Cidadar jangan
sekali-kali melintas hingga di ujung timur hutan Cimaweleng. Pesan itu tak
ubahnya menurut Sudarta seperti rantai yang mengikat dan mengarat. Mustahil
untuk dilepaskan kecuali keluar dari kebiasaan.
Itulah
yang membuat Sudarta semakin memuncakkan rasa penasarannya. Dia memang tidak
ingin mati berlarut-larut dalam rasa yang masih tabir-tabir rahasinya merapat
tanpa tersingkap.
Setiap
fajar mulai memancar, malam sudah terbiasa purna dan matahari sedikit mengintip
bagai mata jelita. Warga Kampung Cidadar biasa berbondong-bondong menuju tengah
hutan mencari ranting kering yang bisa mereka gunakan menyulut tungku dapur.
Mereka-mereka tiada satu pun yang pernah mencuri waktu untuk mengunjungi tanah
itu hanya sekedar menginjakkan kakinya lantas pulang tanpa sekecap kata dan
cerita.
Terkadang
pula, tatkala ranting-ranting sudah tiada lagi di sekitaran kampung sendiri,
mereka akan membawa kapak masing-masing dan menebang liar pohon-pohon besar
dekat Kampung Tanah Pelacur. Mereka sangat tidak hirau akan terjadi sesuatu
seperti apa jika hutan digunduli. Mungkin saja dalam pikiran dan hati mereka
sudah kehilangan seberkas rasa iba yang pernah mengisi seruang titik dalam
rongga hatinya.
Sudarta
meninggalkan serangkap ranting yang diikatnya kuat dan sebilah parang tajam
yang mengilat. Dia berlari menuju arah timur, tempat Kampung Tanah Pelacur
terhampar. Sudarta memang telah berjanji pada dirinya sendiri ia takkan pulang
jika masih belum tahu bagaimana Kampung Tanah Pelacur, siapa saja penghuninya,
dan bagaimana mereka saling menjalin hidup. Apakah memang benar di sana tempat hunian
pelacur-pelacur yang membuat dunia kian sarat bergelimangan dengan salah dan
dosa?
Sebelum
matahari terbenam, Kampung Tanah Pelacur itu sudah sangat tampak di pelupuk
mata Sudarta. Rumah-rumah yang terbuat dari anyaman bambu tersusun rapi
disertai satu hingga dua gardu di tiap-tiap rumah. Sudarta menghentikan larinya
dan berjalan memasuki gerbang seperti warga di sana pada lazimnya.
Pertama
ia masuk dan berkecimpung dalam suasana kampung itu, Sudarta langsung
menyaksikan becekan darah di sepanjang jalan. Darah-darah itu mengalir
membentuk sungai-sungai kecil bagai sisa air hujan yang jatuh setelah menghujam
bumi. Anehnya, Sudarta tak mengendus aroma busuk. Dia cuma merasakan semerbak
wewangian yang masih belum pernah ia cium dari segala parfum dunia.
Sudarta
semakin melangkah menyusuri jalan-jalan setapak hingga ia bertemu dengan
sekelompok orang yang menangis rintih. Suaranya melengking-lengking, membuat
degup jantung Sudarta terguncang laksana bahtera di tengah samudra yang diterpa
badai dan dihantam gelombang besar.
“Ada
apa gerangan sehingga tangismu sangat begitu sedih,” Sudarta bertanya kepada
salah seorang yang duduk terpekur sambil menundukkan kepala.
“Bagaimana
kami tidak sedih dan menangis merintih-rintih. Lihatlah, Tuan, darah-darah itu
mengalir dari tubuh orang-orang suci kami yang dibunuh dengan cara
dipotong-potong tubuhnya, lalu potongan itu dibawa pulang,” balasnya disertai
bibir gematar. Kaku.
Tanpa
membalas sepatah kata, Sudarta beranjak meninggalkan suasana tangis yang
membuat pertama hatinya meringis. Tak lama dari perjumpaan dengan sekelompok
orang yang menangis, dia tanpa sengaja bersua dengan kelompok orang yang
begamis serba putih. Mereka berbondong-bodong menuju suatu surau yang di
dalamnya terdapat satu orang yang berwajah bersih berseri. Lelaki itu mengenakan
gamis paling putih dan tubuhnya paling tinggi. Seperti seorang darwis yang
ingin memberikan pencerahan dalam setiap hati.
Sudarta
sangat sulit membedakan mana pria dan wanita. Semua tubuh mereka sama. Dalam
batin Sudarta bertanya, “Mungkinkah itu malaikat? Atau manusia suci telah
menjadi malaikat?” Sudarta sengaja menguntit dari belakang. Langkahnya
dipelankan dan tubuhnya diendap-endapkan.
Sesampainya
di surau mereka berbaris rapi dan gamis yang mereka kenakan itu semakin cerah
bagai cahaya yang pernah Adam bawa dari pojok surga. Lalu mereka bersedekap,
membungkuk, dan bersujud mengikuti seorang di depannya itu. Sudarta
memerhatikan jeli cahaya yang sinarnya semakin tinggi dan semakin mengaburkan
penglihatannya.
“Hei
orang asing, atas alasan apa kau mengunjungi desa ini yang kata mereka tempat
ini telah melebur bersama dosa-dosa.” Suara itu timbul sendirinya. Di telinga
Sudarta masih terngiang jelas suara aneh mengagetkan. Entah siapa yang berucap.
Seketika mata Sudarta sangat jernih memandang seorang yang perawakannya persis
sekali dengan Ki Hajar, imam masjid di Kampung Cidadar. Di wajahnya sangat
tampak garis keriput tua, namun pendaran cahaya dijidatnya tak kunjung juga sirna.
Dia
memandangi Sudarta lekat dan tajam. Kemudian disusul semua mata orang bergamis
putih juga menatapnya runcing. Sudarta tetap membalas tatap biasa. Tanpa disadari,
cahaya itu semakin mengilau, membuat mata Sudarta merasa ngilu, dan akhirnya
membuat Sudarta terlempar ke tempat di mana ia meninggalkan seikat kayu dan parang
tajam yang mengilat.
Sudarta
kembali lari sekencang mungkin ke arah barat. Dengan napasnya yang kian
tersengal-sengal seperti menjauh dari kemelut rasa takut.
Wajah
kusam dan mata bagai kekurangan cahaya, begitulah keadaan Sudarta ketika sampai
di rumah. Warga saling menatap sinis seolah sangat benci menyaksikan Sudarta
datang lagi dengan membawa najis diri. Mulut-mulut warga mulai mencerca.
Kata-kata keras terlontar, berhamburan.
“Dasar
lelaki tak diuntung. Berani-beraninya melanggar aturan untuk pergi ke Kampung
Tanah Pelacur!” tebakan mereka tepat sekali. Terlihat Sudarta berusaha mengunci
segala rahasia.
“Pasti
dia telah bercinta dengan sekian banyak wanita-wanita pendosa.”
“Aku
yakin Sudarta berkali-kali meniduri wanita penghuni tanah dosa.”
“Hus!
Cukup…!!!” teriak Sudarta untuk menghentikan hujaman kata pahit mereka. “Dari
mana kalian tahu bahwa aku telah mengunjungi tepat itu.” Sudarta membela untuk
menyamarkan kebohongannya.
“Halah,
sudah jangan bohong kepada kami. Kami telah mengenal sikap seseorang yang telah
melakukan pelangaran. Apalagi kamu telah melanggar untuk pergi ke kampung itu.
Kami juga bisa melihat isi otakmu yang berisi wanita bugil. Iyakan?”
“Kampung itu
bukan seperti yang kalian pikirkan. Kesedihan kampung ini tentu lebih kecil
daripada kesedihan yang datang bertandang ke Kampung Tanah Pelacur. Bagaimana
mereka menatapi kesedihan dengan mata sendiri yang menyakasikan
pembunuhan-pembunuhan sadis dengan cara memotong-motong tubuh.”
“Ah,
pantaslah jika tanah dosa memang selalu dihadiri segala macam-macam malapetaka.
Di sana sudah seharusnya mendapat musibah yang serasa rajaman para pezinah”
“Tapi
pernahkah kalian tahu,” Sudarta menatap langit, “Ki Hajar, imam kita di masjid
telah menjadi orang besar di sana. Perkataannya diikuti, dan segala
gerak-geriknya ditiru seperti sahabat mengikuti perilaku nabi.”
“Benarkah?”
tanya seorang dengan nada serius.
“Sungguhkah?”
sambut oleh orang di sebelahnya dengan nada tak kalah penasaran.
“Tidak!
Dia takkan pernah melakukan pekerjaan laknat. Jangan-jangan itu cuma alasanmu
saja,” ketusnya dengan nada tak percaya.
“Berarti
Ki Hajar sudah pernah juga mencicipi tubuh wanita pendosa. Dan pasti juga dia
telah menyirami paha mereka dengan air hina.”
“Sepertinya
sudah pasti.”
“Kalau
begitu Ki Hajar sudah pasti masuk neraka. Dan kelak dia juga akan ditusuki
lonjoran besi yang dibakar berabad-abad di bawah neraka.”
“Ah,
Ki Hajar sudah mulai gila. Mengajarkan kami untuk berjalan menuju surga namun
dia sendiri diam-diam menuju neraka. Apakah orang seperti dia yang sangat
dibenci Tuhan kita?”
“Mungkin
dia juga yang mengajari semua wanita di sana untuk menjadi pelacur.”
“Pastilah.
Mungkin juga dia berjalan selalu bersorbanan, memakai kopiah putih dan setiap
gerak-gerik jarinya dibarengi biji tasbih tetapi dalam otaknya berisikan wanita
telanjang bulat. Otak mesum. Otak cabul!”
“Hahahahahahahahahahahah…!”
mereka tertawa sepuas mungkin, seperti telah mampu meramal arah tujuan berakhir
setiap manusia.
Sudarta
bungkam kata mendengar itu semua. Tapi benarkah lelaki itu adalah Ki Hajar?
Annuqayah Latee,
21 Februari 2022
Ramli Q.Z. nama
pena dari Ramli Qamarus Zaman, lahir di Pulau Tonduk, 19 April 2002. Sekarang
sebagai santri PP. Annuqayah Latee, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Dia juga
masih menempuh pendidikan di Instika (Institut Ilmu Keislaman Annuqayah).
Bergiat di organisasi Forleste dan sebagai Pustakawan PPA Latee. Bisa dihubungi
melalui IG: ramli_qz
Bagus, cuma penasaran cerita selanjutnya
BalasHapus