"Kak, aku boleh berteduh di sini?"
"Boleh, silakan duduk!"
"Terima kasih, Kak."
"Iya, sama-sama."
Ia pun duduk di kursi sebelahku dengan memangku kedua tangannya yang tengah bergenggaman. Mungkin, ia tengah menahan dingin. Lantas aku berinisiatif membuatkan ia teh manis hangat.
"Aku tinggal masuk sebentar, ya?" ucapku sambil berdiri dari kursi.
"Iya, Kak."
Aku pun berjalan menuju dapur untuk membuat teh manis hangat.
"Iya, Kak. Terima kasih banyak, Kak."
Ia pun meminumnya perlahan.
"Oh, iya. Nama kamu siapa?" tanyaku dengan memandangi ia tengah minum.
[Duh, hasrat buayaku meronta-ronta saat melihat bibirnya yang kian menggiurkan usai terbasuh teh hangat yang kusuguhkan.]
"Ifah, Kak. Kalau nama Kakak?"
"Namaku Fata."
"Oh, Fata. Kalau nama panjangnya, Kak?"
"Fatahillah. Kalau nama panjangmu?"
"Latifah, Kak."
"Oh, Latifah. Nama yang cantik, secantik orangnya," ucapku seraya merayunya, tetapi ia hanya tersenyum manja.
"Oh, iya. Kamu dari mana dan mau ke mana?" tanyaku dengan rasa penasaran.
Namun, ia tak langsung menjawabnya. Buliran bening lebih dulu meluruh dari sudut netra, membasuh pipinya yang merona sayu.
"Loh, kok kamu nangis? Aku salah dalam hal bertanya, ya? Maaf, ya," ucapku yang tak tega melihat ia menangis.
[Ingin rasanya kusapu kesedihan dan air matanya. Ah, hasrat buayaku meronta.]
"Ngak, kok, Kak. Kakak ngak salah, kok," jawabnya seiring mengusap perlahan air matanya.
"Pertanyaanku tadi ngak usah dijawab ngak apa, kok," ucapku sembari masih taat memandangi wajah sayunya.
[Duh, tengah bersedih aja wajahnya masih terlihat amat memesona.]
"Gini, Kak. Aku tinggal di kampung sebelah, aku ke kampung ini untuk menghadiri pernikahan Reno. Dia mantan aku, Kak."
"Oh, Reno anaknya Pak Tarno?"
"Iya, Kak."
"Terus, terus?" tanyaku penasaran.
"Lalu aku keluar dari acara itu, Kak. Aku ngak kuat lihat dia tengah bersanding dengan orang lain. Aku jalan aja mengikuti langkah kaki, akhirnya sampai di sini." jelas Ifah yang masih meneteskan air mata.
"Kamu tadi ke acara itu sendiri?" tanyaku yang masih penasaran.
"Enggak, Kak. Tadi aku sama temen, namanya Sita, tapi aku pergi tanpa sepengetahuannya."
"Oh, gitu."
Aku pun menggeser kursiku untuk lebih dekat dengannya. Lantas kusapu air mata di pipinya dengan tanganku, karena aku sudah tak kuat lagi melihatnya bersedih. Ia pun hanya terdiam pasrah. Mungkin, ia memang butuh seseorang untuk menghapus kesedihannya.
"Yuk, masuk ke dalam! Ngak enak kalau dilihat orang. Kebetulan bapak aku juga menghadiri acara pernikahannya Reno, karena bapakku dan ayahnya Reno temenan. Jadi rumah sepi, ngak ada orang," ajakku dengan nada merayu dan menggenggam mesra tangannya.
"Baik, Kak," jawabnya, dengan nada pasrah.
Aku pun membantunya berdiri, lalu kami masuk seiring kupeluk pinggangnya.
"Cepat bangun! Mau aku siram lagi? Sudah siang ini, kamu ngak kerja apa?" teriak bapakku sambil membawa gayung.
Aku pun beranjak pergi dari kamarku, meninggalkan mimpi semalam yang tergeletak begitu saja di angan, dan bergegas ke kamar mandi sebelum berangkat menjemput mimpi-mimpi lain yang masih berantakan.