Sepertinya
wajar dan lazim. Kupikir juga tidak mengapa kritik diekspresikan ‘apapun’.
Bagiku boleh. Ekspresi itu merdeka. Jika dilihat sebagai ancaman, maka memang
benar, ada ketidak percayaan diri penguasa dengan kuasaannya.
“Teman-teman
kekuasaan melenceng dari reformasi. Anti kritik!” Kata faizin.
“Kamu yakin sekali, Zin?” Tanya Yuli di kursi
panjang depan sekretariat.
“Isu-isu
ekonomi: Tambang cadas salah satunya?” Faizin memulai diskusi.
“Iya.
Akan baik jika dikaji dulu. Kamu ketua BEM, diinstruksi, litbang segera
agendakan diskusi!” Kata Yuli sebagai sekjen. Lanjutnya, “namun ada yang lebih
perlu dilihat, Zin. Isu kamu populis. Ada yang harus dikawal sampai akhir
hayat.”
“Apa
itu, Yul..?” Tanya faizin.
“HAM
dan korupsi.” Yuli membuka koran harian nasional. Ditunjukan ke faizin “Lihat
ini. Kasus-kasus korupsi dan ini,” koran satunya– cetakan lama. “Jepang minta maaf namanya Jugun ianfu. Terbaru Belanda pun sama meminta maaf atas jajahan di Hindia?” Yuli letakan.
“Baik,
Yul. Pekan depan kita undang elemen-elemen mahasiswa. Biar menarik, organ ekstra
kampus juga dilibatkan.” Kata Faizin bersemangat.
Aku
mengiyakan. Berfikir sama. Di devisi pengorganisiran butuh tema strategis. Salah
satunya budaya kritik. Kritik kadang dianggap kebablasan. Menerabas etika norma.
Bentuk sartir tidak elegan. Iya. Orang bebas menilai berkualitas atau lainya.
Gus Dur, di era-nya, kritik, model guyonan. Situasinya berbeda. Berbahaya jika
seenak udel-nya ... Hilang!
“Bhre! koordinasi lintas elemen mahasiswa! Coba informal dulu. Wacanakan
isu itu!” Intruksi Faizin, ketua BEM, padaku.
“Siap!
Laksanakan!” Jawabku singkat.
Segera
aku konsulidasi internal. Kita membagi tugas silatuhrohmi ke elemen mahasiswa. Tentukan
siapa ke ekstra kampus. Organisasi-organisasi pemuda kami yakini memiliki
keresahan sama. Di alam reformasi, UU dan anak turunya, produk, ancaman kemerdekaan
berpendapat dijerat. Sekalipun mereka dahulu teriak
sama demokrasi dan kebebasan seluas-luasnya.
“Teman-teman,”
diskusi devisiku. “Memaknai reformasi dalam ekspresi kritik, siapapun hal wajar,
jika sepakat asas ‘demokrasi’. Relasi penguasa-rakyat memiliki domin masing-masing.
Rakyat mengkritik, taruhlah ‘sadis’, itu adalah buah dari reformasi. Yang salah
adalah tanpa landasan obyektif. Fitnah! Penguasa sekarang terlihat
alergi? Maka hadir UU untuk itu. Konsisten memerdekakan kritik dengan segala
konsekuensinya, terasa jauh.” Aku lanjutkan, “Tugas penguasa membuktian. Menjawab
ekspresi kritik bukan dengan represif hukum atau pun lainnya. Komitmen pada amanat
reformasi. Bahwa demokrasi itu pembuktian dan kerja, bukan retorika apalagi represif
terhadap kritik.”
“Bhre
...!” Zainal angkat tangan meminta Forum untuk bicara.
“Silahkan,
Nal!” Jawabku.
“Iya,
prinsipnya sepakat bahwa demokrasi memiliki syarat mutlak. Yaitu kebebasan berpendapat.
Ketika kebebasan–dijerat UU, maka saat itu penghianatan demokrasi. Feodalisme itu
teori klasik penguasa. Alam bawah sadar, tepatnya. Mereka risih, kritik, tertuju
padanya. Baik cara langsung atau negasi. Kerahkan buzer atau ‘oligarkis’.” Zaenal berjeda, “harus paham bahwa
demokrasi dan kritik tetap memiliki lajur obyektif. Tidak fitnah, lecehkan,
hinaan, menjurus hominem–terabas HAK privasi. Tidak bisa berkaca pada demokrasi
ala Amerika!”
“Iya
…!” Kataku serius mendengar.
“Mereka liberal. Bahkan tidak
etis. Contoh: gambar Trump: mulutnya diiustrasikan toilet. Aksi teatrikal bertopeng
presiden, lakukan porno aksi, di publik. Demokrasi kita melandaskan moralitas
bangsa. Bersumber dari adab timur.” Lanjut zaenal, “maka perlu mengkontruksi kritik
dengan kaidah ilmiah juga budaya ketimuran. Jangan terhenti pada satu titik
demokrasi. Kritik harus! Namun tidak kemudian sifat-sifat manusia dan naluri
ilmiahnya, terdesak oleh pragmatisme sempit. Apalagi politik dagang kain. Kita
independent! Tetap pada khitoh
gerakan moral dan keperpihakan pada rakyat ‘lapar’! Itulah mahasiswa!” Zaenal mengakhiri.
“Sepakat!”
Timpal Yuli. Sekjen terajin mendokumentasi. Ikut kegiatan
devisi apapun. “Kalo berpolitik praktis atau under bow srigala-srigala politik, saya ber-usul tambah devisi...”
“…apa,
itu...?” Aku potong. Lanjutku menebak, “devisi Broker, ya?”
“Bukan...!”
kata Yuli, “Devisi Perang!!” Yuli pun tertawa.
“Waa
... Makin kacau, elu, Yul!”
Semua
tertawa. Pengoganisiran itu berat. Kerja lapangan dan agitasi.
“Nih
gimana litbang tidak produktif? Buat jurnal isu actual belum gerak.” Kataku.
“Nanti
saya evaluasi, Joko Pe.” Potong Yuli. “Sekarang sibuk Fotografi. Keenakan, Pe.”
Yuli buka minuman. Meneguk santai sekali pun tumpah sedikit dijilbab hitamnya.
“Ah
bukan itu. Ketua litbang, tuh–fotografinya penyamaran. Dia sedang konsentrasi
biologis dengan anak sastra.” Kata Arno. “Sumber valid.” Tambahnya.
“Ayo ... cukup dong ... gurauannya! Kita sedang beranjak
serius. Jangan ber gossip gini! Kaya emak ngumpul, ntar
…!” Kataku.
“Wah
jangan sexis gitu dong, Bhre!” Protes
Yuli, “memangnya yang suka gossip perempuan aja? Klo cowok ngumpul emang
ngomongin apa?”
“Iya
tuh! stereotib kejam bin payah!”
Timpal Harin.
“Iya
… iya, maaf. Kita laki melek gender.”
Aku angkat dua jari- tanda damai. Peace!
Kembali
pada agenda. Kita bagi dua unite kerja. Elemen mahasiswa internal dan eksternal.
Rekomendasi lintas devisi– litbang, membuat materi situasi nasional. Diskusi selesai.
Semua menunggu materi litbang, dikomando, Pe. Alias Joko Pe.
Litbang
berjalan lambat. Kepemimpinan Pe, sedikit mengalami stagnasi. Beberapa rapat konsulidasi, semua devisi BEM – Pe, sering tidak datang.
Sampai akan dibuat forum khusus untuknya. Dicegah Yuli. Kerja harian bisa
lainya. Yang terpenting roda organisasi jalan. Demoralisasi, Pe, banyak yang
menduga kedekatanya dengan Bekta.
“Begitulah
cinta deritanya tiada tara.” Kata Arno di kantin, “kekuatanya memang
mampu lumerkan diding baja sekalipun.” Sambil makan mie rebus.
“Apa
tuh, Nok?!” Tanyaku mengorek.
“Pe
…! siapa lagi?”
“Emang... kenapa?”
“Belum
tahu ya? Pe, dekat sama anak sastra. Tu! si Bekta! Bidadarinya meminta–Pe, milih
BEM apa dirinya.” Kata Arno anak sebrang – NTB.
“Ooo
gitu masalahnya. Termoderasi cinta.” Aku terdiam bentar. “Nok. Aku tugaskan! Kembalikan,
Pe! Kamu kan tim kobra. Gerombolan pengacau fikiran orang.” Aku sembunyikan
senyumku. “Siapa yang tidak diam kalau kamu membual pada mangsa? Dan akhirnya
mampu kamu jerumuskan ke jalan yang benar. Lalu bergabung.”
“Hadeeh
...! Tidak bisa gitu. Aku tidak enak sama Pe. Dia satu kos sama saya.”
“Maka
dari itu,” ku potong. “Kan bisa intensif. Kembalikan pada panggilan moral lebih besar dari
panggilan biologisnya. Bekta, biar tim mawar: Yuli! Butuh berapa hari tugas
ini?!”
“hemnn
...Baik,” Arno menimbang “Cukup… satu pekan, Bhre.”
“Baik…
do it!”
Arno
dan Yuli gerilya. Dari mengajak, Pe, makan di kantin juga ikutan praktik fotografi. Totalitas. Tersiksa
betul kalau ikut hunting obyek. Bagi
Arno, foto, tidak mengasikan sama sekali. Mencari belalang di hutan, harus prosotan di tanah, kena tletong- kotoran kerbau atau srintil – kambing. Sial! Tugas payah! Gerutu arno di
lain waktu.
Lain
dengan Yuli. Harus belajar berdandan, make up wajah dan nemenin ke salon. Bagi
Yuli yang tomboy–energik, lebih tersiksa lagi. Namun ini iktiar untuk organisasi.
Di organisasi bisa tahu karakteristik seseorang. Kadar tanggung jawab maupun
solidaritasnya. Iktiar Arno maupun Yuli berbuah manis. Terutama Joko Pe. Dalam
darahnya memang memiliki jiwa perubahan. Pe, anak fakutas sejarah. Gejolak agen perubah ada di nadinya.
Berbeda
dengan Yuli. Sempat beberapa kali curhat, gemas bin sebal. Akan menyerah dengan
tugas barunya, mengorganiser, Bekta. Pilih menjadi Bapor aksi. Urusan hati itu berat. Benar. Sampai akan berbalik, jika
kelamaan. Justru jadi terpengaruh subyek
gerilyanya. Paling kentara, sekarang, ikut-ikutan bersolek. Sempat
berputus asa, akhirnya mampu juga membuka cakrawala mahasiswi sastra itu. Bekta
mulai membaca buku-buku gerakan. Jaman bergerak ia selesaikan, sudah minta
bacaan madilog – Tan Malaka.
“Maaf
teman-teman, litbang tidak produktif.” Kata Pe, hadir, diskusi bulanan.
“Oke
bro…aku dengar jepretan foto kamu di ladang jagung,
menang ajang kompetisi nasional, Pe?” Tanyaku apresiasi kegiatan,
dia, akhir- akhir ini.
“…
trimakasih.” Jawabnya tidak bersemangat.
“Ikut
senang, Pe …” Aku masih mencoba membangkitkan semangat barunya.
“Iya
…” Jawabnya datar.
Diskusi
bulanan dihadiri seluruh devisi. Semua bersemangat dengan ruh-ruh perubahan. Pe
telah kembali. Pe itu genius. Tajam analisis nasional dan pembahasan isu
strategis. Kembalinya Pe, energy berlipat. Menghasilkan
rekomendasi perlu seminar nasional. Perlu pembicara nasional atau LIPI guna membedah
situasi nasional dan arah gerakan mahasiswa.
***
“Mas...! Aku minta ketegasan, kamu!” Desak Bekta.
“Apa
yang musti aku tegaskan!” Jawab Pe, tenang.
“Kamu
memilih BEM, apa saya!?” Bekta, to the
point.
“Apa
ada opsi lain, Ta? Setidaknya memberi waktu berfikir selain hari ini!?”
“Tidak!”
Tegas Bekta.
“Baik…
Maaf, Ta. Saya menghargai cinta. Bukan hanya memenangkan ego,
masing-masing. Cinta tumbuh dari perasaan sama. Dibangun untuk mencintai segala
persoalan bersama. Jika tidak sediakan waktu pada satu persoalan, itu artinya, kita
berbeda dalam satu hal. Cinta adalah ruh bahagia sekalipun disayapnya ada luka.
Jika satu sama lain tidak mampu menerima, maka sudah tahu jawabanya.” Pe,
tertunduk. Kemudian membuang muka di lantai tiga fakutas sastra.
“Jadi, kamu memilih organisasi, mas…?!” Kata Bekta sembari
sesenggukan menangis.
“Ta,
saya perlu membatasi harapan tertinggi. Kuyakin hidup bagai
sisi mata uang, koin. Cinta bersanding duka luka.” Pe lihat dengan
mata nanar. “Aku mencintai kesempurnaan. Bukan satu. Cintaku bervisi, bahagia,
membahagiakan dan dibahagiakan. Saya cinta organisasi. Jika cemburumu tertuju
pada organisasi, berarti memang kita beda perspektif hidup. Motto hidup saya merubah
sejarah atau minimal menjadi bagian dari sejarah. Jika tidak bisa menerima, maka
tidak bisa tercapai tiga unsur cinta. Baik, tidak panjang lebar. Saya jawab–Ta.
Saya pilih … organisasi!” Jawab Pe, mantap.
Sejak
itulah Bekta berubah, rajin meminjam buku-buku pergerakan. Yuli rela pinjam sana sini, itu sungguh
berarti. Selebihnya bersabar jadi teman diskusi, sesekali bincang hati ke hati. Pe maupun Bekta, cukup lama tidak komunikasi. Tapi setidaknya ada harapan
kembali. Suatu ketika Yuli pinjamkan buku- milik Joko Pe. Tanpa ijin, ia
beranikan. Percaya. Buku salah satu alat normalisasi mereka. Kapal retak butuh, alat dan waktu
di
perbaiki.
“Ini
buku Joko Pe, Ta! Kalau tertolak menjadi manusia pertama, biarlah. Bersabar
untuk mendapatkan manusia yang sama. Berbagi kebahagiaan dengan memerdekakan
perbedaan.” Kata Yuli kepada Bekta.
Selesai
Penulis
: Ken nJawi Dwipa (nama Pena Didik Haryanto, S.S)
Guru
Seni Budaya SMP Negeri 9 Surakarta.
Jl.
Dr Rajiman 521, Surakarta Pos 57148 Kampung Batik Laweyan Surakarta.
WA.
089523044904