Cerpen Kak Ian | Asal Mula Lelaki Berotak Bulus - Suara Krajan

Menurut desas-desus yang ada, lelaki itu seperti musafir yang sedang berkelana.

Begitulah desas-desusnya yang sedang berkembang di kampung kami tentang pemberitaan kedatangan seorang lelaki asing. Namun yang namanya desas desus belum tentu kebenarannya, bukan! Belum bisa dipertanggungjawabkan bagi siapa pun yang menghembuskan berita itu.

Namun lain hal bagi yang melihat lelaki itu. Ia sedang berada di warung Mak Atik. Dengan memakai pakaian yang sangatlah tidak modis dan terlihat kuno sekali. Maka cukuplah untuk dijadikan alibi jika ia adalah lelaki asing dan bukanlah dari warga kampung kami. 

Tapi sejak salah satu warga kampung kami yang melihat dirinya berada di warung Mak Atik. Bedalah ceritanya!

Kini ketika lelaki dengan perawakan tinggi, gempal dan tampan itu berada  di warung milik janda tanpa anak yang masih terlihat cantik dan terawat itu. Langsung menjadi santapan buah bibir di kampung. 

Maklumlah Mak Atik janda dari seorang mendiang juragan tanah yang telah memperistrinya. Hidupnya sangat berkecukupan. 

Tapi jangan ditanya kenapa Mak Atik masih mau bersusah payah, masih saja  membuka warung? Padahal harta benda bisa mencukupi di hari tuanya.

 "Mak hanya ingin dapat kesibukan saja dan juga mengusir kesepian!"

Selalu begitu jawabannya yang Mak Atik lontarkan dari bibirnya yang berlapis gincu berwarna bata itu ketika ada salah satu pembeli yang sudah menjadi pelanggan di warungnya pada suatu hari ketika terik panas matahari. 

Jadi itulah alasan janda mendiang juragan tanah masih  membuka warung. Lagi-lagi untuk mencari kesibukan dan mengusir kesepiannya.  

Aku yang saat itu ada di sana, ketika ada salah satu pelanggan warung Mak Atik bertanya seperti itu aku dibuat takjub. Apalagi dengan apa yang diungkapkan pemilik warung itu.

Aku benar-benar dibuat tidak percaya jika pemikiran Mak Atik itu sangat langkah. Karena bisa saja dengan harta benda yang dimilikinya itu ia bisa menikahi lelaki kampung mana saja yang dikehendakinya. Tapi untuk dirinya tidak!

Namun ketika ada kabar kedatangan ‘tamu asing’ di kampung kami. Akhirnya aku pun ikut terusik. Karena tidak biasanya kampung kami didatangi orang asing. Hingga hal itu membuat siapa saja yang mengetahuinya menjadi penasaran bahkan terusik seperti apa yang aku alami.

***

Keesokkan harinya karena diliputi rasa penasaran yang tinggi dengan kedatangan tamu di kampung kami. Di pagi yang masih bau embun itu, aku pun langsung membelah  pagi.

Dengan berjalan kaki untuk menuju ke warung Mak Atik. Tidak lain ingin mengetahui desas-desus kebenaran itu. Benarkah kenyataan seperti itu; jika ada lelaki asing menetap di warung Mak Atik. Tapi saat aku ke sana...

Sial, sesampai di sana kulihat sudah banyak dipenuhi orang-orang. Aku sangat itu terkejut saat melihat keadaan warung Mak Atik sudah seramai itu. Tidak seperti biasaya.

Ya, siapa dinyana sejak kedatangan lelaki itu, warung Mak Atik makin tambah ramai saja. Mereka yang datang ke sana selain sekedar minum kopi, minum teh manis hangat, minum susu panas, juga ingin mencicipi goreng-gorengan sebagai peneman minuman itu—dan selebihnya tujuan utama mereka adalah ingin tahu desas-desus keberadaan lelaki yang menetap di warung Mak Atik.

Bukan itu saja ternyata semua yang menghampiri warung Mak Atik itu di dominasi kaum lelaki dan juga dari berbagai segala profesi pekerjaan. Ada dari tukang kredit keliling, ojek, penjual es cincau, penjual bubur kacang ijo dan kuli serabutan bahkan ada pula pengangguran macamku. Semua ada di sana dan masih banyak lagi.

Mak Atik sendiri pun heran kenapa warungnya bisa seramai itu. Apakah ini berkat dirinya menolong lelaki itu?

Lagi-lagi sejak kedatangannya di warung, Mak Atik juga tidak menanyakan dan tidak memedulikan dari mana asalnya dan siapa ia sesungguhnya. Terpenting baginya, ia itu baik-baik saja dan tidak berbuat jahat, itu pun lebih dari cukup bagi Mak Atik. 

Menurut Mak Atik hitung-hitung ada yang menemani menutup warung bila malam tiba. Atau, juga bisa jika ada yang berbuat tidak baik pada dirinya ada yang menolongnya.

Setiba di warung Mak Atik, aku pun langsung memesan kopi tanpa gula. Sambil menunggu kopiku diracik aku pun mendengarkan pembicaraan mereka yang saat itu sedang membicarakan 'tamu' Mak Atik itu. Kebetulan saat mereka sedang membicarakannya, lelaki itu belum pulang dari pasar. Karena Mak Atik menyuruhnya untuk pergi ke pasar untuk membeli pisang, ubi dan kacang tanah sebagai peneman kopi dan lainnya. Itu pun semua yang dipesan Mak Atik sudah habis di warung. begitu. Maka dari itulah Mak Atik menyuruhnya.

“Kalian tahu tidak lelaki itu datang dari mana?” tanya salah seorang dari mereka yang saat itu kulihat sedang menikmati kreteknya memulai membuka topik pembicaraan.

“Aku tidak tahu!” timpal yang lain menyahutinya.

“Bukannya ia seorang musafir saja yang hanya menumpang sementara di warung Mak Atik,” balas kembali salah seorang dari mereka lagi.

“Kira-kira di antara kalian ada yang tahu tidak ia datang dari mana?” lanjutnya.

Sesaat warung Mak Atik senyap. Hanya terdengar suara kecil sendok beradu gelas. Mungkin ada salah seorang dari mereka sedang mengaduk kopi atau teh hangat.

“Oya, aku pernah bicara dengannya pada suatu pagi. Aku terkejut karena seorang lelaki sedang membantu masak air di warung Mak Atik. Dari sanalah aku mengetahui identitasnya. Ia bilang berasal dari Kampung Lembah Bulus1.” Dari pembicaraan itu ada yang menyambutnya dan mengetahui asal muasalnya.

 “Tapi tunggu dulu ternyata ia sangat pandai bercakap apalagi jika sudah bicara menaklukan hati perempuan, dirinya paling jago. Aku saja usai ia berkata seperti itu langsung kubuktikan. Ternyata ampuh juga. Contohnya si Nur, anak gadis bekas mandor pabrik sirup itu bisa jatuh hati saat aku menyalin kata-kata yang diucapkan lelaki itu padaku. Tidak lain aku membuktikan sendiri apa yang ia katakan kepadaku,” lanjutnya.

Kali ini pembicaraan kami di warung Mak Atik makin seru. Apalagi jika bicara persoalan menaklukan perempuan. Maklumlah hal itu membuat kami semakin tertarik untuk mengikutinya. Apalagi yang kurasakan saat ini sejak menjalin kasih pada Badriah sama sekalipun dirinya tidak pernah merasakan kehadiranku. Atau, akunya saja yang terlalu kaku pada Badriah.

Aku pun hanya menyimak saja apa yang mereka bicarakan tentang keistimewaan lelaki itu—yang disampaikan oleh salah satu dari mereka. Aku hanya mengikutinya saja sampai tuntas.

Lama. Kami membicarakan semua tentangnya itu, akhirnya pun berakhir. Lagi pula orang yang kami bicarakan juga sudah tiba dari pasar. Tepat saat kami menyudahi pembicaraan itu. Apalagi dari masing-masing kami sudah ada yang meninggalkan warung seusai membayar apa yang sudah kami makan dan pesan pada Mak Atik. 

Sedangkan aku sendiri seusai mereka meninggalkan warung barulah aku mengekorinya. Itu pun setelah aku melihat secara utuh di depanku. Inikah lelaki yang dibicarakan oleh kami sejak tadi?

Usai itu aku pun langsung meninggalkan warung Mak Atik dengan berbagai seribu pertanyaan yang menggelayuti benakku tentang lagi-lagi siapa sesungguhnya lelaki itu?

***

“Mak juga tidak tahu entah kenapa Mak bisa menerima ia menetap di warung ini? Sebab, saat ia datang pada malam itu dalam keadaan warung sedang sepi. Ia mengaku dari tanah Jawa yang di mana dirinya tinggal, tanahnya sangat subur dan makmur,” ucap Mak Atik pagi itu saat aku menemuinya sambil minum kopi di warungnya. 

Aku saat itu bertanya tentang kronologis dari mana lelaki seperti musafir itu menemui Mak Atik.

“Oya, ia juga bilang Mak itu awet muda dan masih cantik serta menarik. Tentu masih banyak lelaki yang mau mempersuntung, Mak,” lanjut Mak Atik.

Kali ini Mak Atik berucap sambil tersenyum sendiri sambil memilin rambutnya dan bergoyang pinggul layaknya seperti anak gadis yang sedang jatuh cinta. “Nah, dari situlah Mak terpikat dengannya dan juga kasihan melihat dirinya di malam buta begitu harus mencari tempat untuk dirinya berlindung.”

Kuperhatikan Mak Atik saat itu merupa sebagai kembang desa yang sedang dimabuk asmara pada pujaannya—dan aku hanya tersenyum kecut.

“Memangnya Mak Atik tidak takut digerbek sama para peronda,” godaku.

“Tidak mengapa! Dikawinkan Mak Atik juga mau, kok! Apalagi ia rupawan,” Mak Atik ternyata menanggapiku begitu serius.

Aku yang mendengarkan ucapan Mak Atik seperti itu hanya bisa mengulum senyum. Dan lagi-lagi saat aku sedang bercakap-cakap membicarakan lelaki itu, dirinya tidak ada di warung. Mak Atik ternyata menyuruhnya lagi ke pasar untuk membeli bahan-bahan yang kurang untuk membuat goreng-gorengan. Akhirnya aku bisa leluasa membicarakan tentang dirinya dari Mak Atik. Siapa tahu dari mulutnya itu bisa membongkar siapa sesungguhnya lelaki itu.

“Terus apalagi yang Mak ketahui tentangnya? Kalau boleh tahu siapa namanya?” lanjutku.

“Katanya ia dari Kampung Lembah Bulus. Ia sudah lama berada di sana. Sejak kecil dan besar berada di sana. Terus karena di sana tempat tinggalnya sudah dijadikan gedung-gedung tinggi dan jembatan layang ia pun berkelana mencari tempat untuk ditinggali,” Mak Atik melanjuti pertanyaanku.

Akhirnya sampai di sini aku mulai curiga. Lelaki itu ternyata pembohong besar. Berakal bulus. Sudah memafaati kebaikkan Mak Atik.

Namun karena saat itu aku ada keperluan mendesak akhirnya kuakhiri pembicaraan pada Mak Atik. Dan juga kulihat Mak Atik tampak gelisah. Ia mondar-mandir seperti menunggu seseorang. Apakah Mak Atik menunggu lelaki itu?

Ah, entahlah. Aku tidak ingin menuduh tanpa bukti jika lelaki itu pembohong dan pembual besar. Lebih baik aku mengurusi diriku saja sendiri. Akhirnya kutinggalkan juga warung itu di saat Mak Ati sedang gelisah. Walaupun aku merasa kasihan pada janda tanpa anak itu bila terjadi sesuatu nantinya. Tapi kutepiskan rasa itu.

***

Esokkan paginya warung Mak Atik sudah ramai didatangi oleh orang-orang. Tapi bukan menikmati kopi atau teh apalagi susu dari racikan tangan Mak Atik melainkan mereka turut berduka atas kejadian yang melimpah Mak Atik. Ternyata Mak Atik ditipu oleh lelaki yang menetap di warungnya itu.

Lelaki yang seperti musafir itu telah membawa segala perhiasan dan simpanan Mak Atik.  Mak Atik baru mengetahuinya saat sejak pagi kemarin lalu lelaki itu tidak kembali. Dan saat itulah Mak Atik baru tersadar jika dirinya sudah ditipu. 

Ya, ternyata lelaki itu sudah melakukan tipu muslihat pada Mak Atik.` Aku yang melihat Mak Atik sudah seperti orang tidak berdaya hanya bisa menenangkan hatinya.

Akhirnya aku mendekati Mak Atik. Saat itulah Mak Atik membisikkan kepadaku hal yang tidak kuduga sebelumnya.

“Maafkan Mak ya, Sur! Jika Mak selama ini berbohong. Lelaki itu sebenarnya residivis kambuhan yang Mak lindungi. Dikira Mak bisa menjinakkan singa agar bisa seperti kucing rumah. Ternyata tetap saja menjadi singa yang jika lapar akan memangsa tuannya sendiri.”

Saat Mak Atik membisikkan hal itu datanglah pihak berwajib untuk meminta keterangan kejadian yang dialaminya. Usai itu aku meninggalkan Mak Atik yang sedang dimintai keterangan untuk barang bukti jika dirinya usai ditipu dan dicuri harta bendanya. Saat itu pula mendadak ponselku berbunyi.

“Bagaimana siasatku kerenkan? Janda genit itu akhirnya kena tipu juga oleh otak bulusku ini. Aku tunggu kau di tempat seperti biasanya. Kita langsung bagi dua hasilnya.”

“Siap! Terima kasih untuk kerjasamanya. Ternyata akting kau bagus juga, tidak buruk-buruk amat. Ha-ha,” kataku dari balik ponsel menjawab ucapan dari seberang jalan itu sambil tertawa lepas.

“Ah, kau berlebihan, Sur! Akting kau juga bagus pula kok, natural sekali! Mereka semua kau perdayai dengan keluguan kau itu. Baik aku tunggu ya di sini!”

“Siap. Aku akan ke sana! Kau tunggu saja!”

Klik. Sambungan pembicaraan kami pun berakhir. Setelah itu aku pun kembali tertawa terbahak-bahak tanpa lagi peduli pada janda pemilik warung itu.[]


Keterangan :

1. Kampung Lembah Bulus adalah nama kawasan yang diambil dari kontur tanah dan fauna. Lembah berarti lebak. Sedangkan bulus adalah kura-kura yang hidup di darat dan air tawar dengan nama latin Amydacartilaginea. Jadi dapat disamakan dengan lembah kura-kura. Kampung ini ada di tanah Jawa yang saat itu tanahnya masih subur dan makmur di tahun 1675 tepatnya berada di Batavia. Akhirnya kawasan itu sekarang diberi nama Lebak Bulus yang berada di selatan Jakarta.

Kak Ian, penulis, aktifis anak, dan penikmat sastra. Kini bergiat di Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Karya-karyanya sudah termaktub di berbagai media oniline dan media cetak. Karya terakhirnya buku solo, “Kumpulan Cerita Remaja: Malaikat yang Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama”, Penerbit Mecca, Desember 2019. “Kumpulan Cerpen: Hikayat Kota Lockdown”, Penerbit Sinar Pena Amala, Agustus 2020.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak