Menurut desas-desus yang ada, lelaki itu seperti musafir yang sedang
berkelana.
Begitulah desas-desusnya yang sedang
berkembang di kampung kami tentang pemberitaan kedatangan seorang lelaki asing.
Namun yang namanya desas desus belum tentu kebenarannya, bukan! Belum bisa
dipertanggungjawabkan bagi siapa pun yang menghembuskan berita itu.
Namun lain hal bagi yang melihat lelaki
itu. Ia sedang berada di warung Mak Atik. Dengan memakai pakaian yang sangatlah
tidak modis dan terlihat kuno sekali. Maka cukuplah untuk dijadikan alibi jika
ia adalah lelaki asing dan bukanlah dari warga kampung kami.
Tapi sejak salah satu warga kampung kami
yang melihat dirinya berada di warung Mak Atik. Bedalah ceritanya!
Kini ketika lelaki dengan perawakan
tinggi, gempal dan tampan itu berada di warung milik janda tanpa anak
yang masih terlihat cantik dan terawat itu. Langsung menjadi santapan buah
bibir di kampung.
Maklumlah Mak Atik janda dari seorang
mendiang juragan tanah yang telah memperistrinya. Hidupnya sangat
berkecukupan.
Tapi jangan ditanya kenapa Mak Atik
masih mau bersusah payah, masih saja membuka warung? Padahal harta benda
bisa mencukupi di hari tuanya.
"Mak hanya ingin dapat
kesibukan saja dan juga mengusir kesepian!"
Selalu begitu jawabannya yang Mak Atik
lontarkan dari bibirnya yang berlapis gincu berwarna bata itu ketika ada salah
satu pembeli yang sudah menjadi pelanggan di warungnya pada suatu hari ketika
terik panas matahari.
Jadi itulah alasan janda mendiang
juragan tanah masih membuka warung. Lagi-lagi untuk mencari kesibukan dan
mengusir kesepiannya.
Aku yang saat itu ada di sana, ketika
ada salah satu pelanggan warung Mak Atik bertanya seperti itu aku dibuat
takjub. Apalagi dengan apa yang diungkapkan pemilik warung itu.
Aku benar-benar dibuat tidak percaya
jika pemikiran Mak Atik itu sangat langkah. Karena bisa saja dengan harta benda
yang dimilikinya itu ia bisa menikahi lelaki kampung mana saja yang
dikehendakinya. Tapi untuk dirinya tidak!
Namun ketika ada kabar kedatangan ‘tamu
asing’ di kampung kami. Akhirnya aku pun ikut terusik. Karena tidak biasanya
kampung kami didatangi orang asing. Hingga hal itu membuat siapa saja yang
mengetahuinya menjadi penasaran bahkan terusik seperti apa yang aku alami.
***
Keesokkan harinya karena diliputi
rasa penasaran yang tinggi dengan kedatangan tamu di kampung kami. Di pagi yang
masih bau embun itu, aku pun langsung membelah pagi.
Dengan berjalan kaki untuk menuju ke
warung Mak Atik. Tidak lain ingin mengetahui desas-desus kebenaran itu.
Benarkah kenyataan seperti itu; jika ada lelaki asing menetap di warung Mak
Atik. Tapi saat aku ke sana...
Sial, sesampai di sana kulihat sudah
banyak dipenuhi orang-orang. Aku sangat itu terkejut saat melihat keadaan
warung Mak Atik sudah seramai itu. Tidak seperti biasaya.
Ya, siapa dinyana sejak kedatangan
lelaki itu, warung Mak Atik makin tambah ramai saja. Mereka yang datang ke sana
selain sekedar minum kopi, minum teh manis hangat, minum susu panas, juga ingin
mencicipi goreng-gorengan sebagai peneman minuman itu—dan selebihnya tujuan
utama mereka adalah ingin tahu desas-desus keberadaan lelaki yang menetap di
warung Mak Atik.
Bukan itu saja ternyata semua yang
menghampiri warung Mak Atik itu di dominasi kaum lelaki dan juga dari berbagai
segala profesi pekerjaan. Ada dari tukang kredit keliling, ojek, penjual es
cincau, penjual bubur kacang ijo dan kuli serabutan bahkan ada pula
pengangguran macamku. Semua ada di sana dan masih banyak lagi.
Mak Atik sendiri pun heran kenapa
warungnya bisa seramai itu. Apakah ini berkat dirinya menolong lelaki itu?
Lagi-lagi sejak kedatangannya di warung,
Mak Atik juga tidak menanyakan dan tidak memedulikan dari mana asalnya dan
siapa ia sesungguhnya. Terpenting baginya, ia itu baik-baik saja dan tidak
berbuat jahat, itu pun lebih dari cukup bagi Mak Atik.
Menurut Mak Atik hitung-hitung ada yang
menemani menutup warung bila malam tiba. Atau, juga bisa jika ada yang berbuat
tidak baik pada dirinya ada yang menolongnya.
Setiba di warung Mak Atik, aku pun
langsung memesan kopi tanpa gula. Sambil menunggu kopiku diracik aku pun
mendengarkan pembicaraan mereka yang saat itu sedang membicarakan 'tamu' Mak
Atik itu. Kebetulan saat mereka sedang membicarakannya, lelaki itu belum pulang
dari pasar. Karena Mak Atik menyuruhnya untuk pergi ke pasar untuk membeli
pisang, ubi dan kacang tanah sebagai peneman kopi dan lainnya. Itu pun semua
yang dipesan Mak Atik sudah habis di warung. begitu. Maka dari itulah Mak Atik
menyuruhnya.
“Kalian tahu tidak lelaki itu datang
dari mana?” tanya salah seorang dari mereka yang saat itu kulihat sedang
menikmati kreteknya memulai membuka topik pembicaraan.
“Aku tidak tahu!” timpal yang lain
menyahutinya.
“Bukannya ia seorang musafir saja yang
hanya menumpang sementara di warung Mak Atik,” balas kembali salah seorang dari
mereka lagi.
“Kira-kira di antara kalian ada yang
tahu tidak ia datang dari mana?” lanjutnya.
Sesaat warung Mak Atik senyap. Hanya
terdengar suara kecil sendok beradu gelas. Mungkin ada salah seorang dari
mereka sedang mengaduk kopi atau teh hangat.
“Oya, aku pernah bicara dengannya pada
suatu pagi. Aku terkejut karena seorang lelaki sedang membantu masak air di
warung Mak Atik. Dari sanalah aku mengetahui identitasnya. Ia bilang berasal
dari Kampung Lembah Bulus1.” Dari pembicaraan itu ada yang
menyambutnya dan mengetahui asal muasalnya.
“Tapi tunggu dulu ternyata ia
sangat pandai bercakap apalagi jika sudah bicara menaklukan hati perempuan,
dirinya paling jago. Aku saja usai ia berkata seperti itu langsung kubuktikan.
Ternyata ampuh juga. Contohnya si Nur, anak gadis bekas mandor pabrik sirup itu
bisa jatuh hati saat aku menyalin kata-kata yang diucapkan lelaki itu padaku.
Tidak lain aku membuktikan sendiri apa yang ia katakan kepadaku,” lanjutnya.
Kali ini pembicaraan kami di warung Mak
Atik makin seru. Apalagi jika bicara persoalan menaklukan perempuan. Maklumlah
hal itu membuat kami semakin tertarik untuk mengikutinya. Apalagi yang
kurasakan saat ini sejak menjalin kasih pada Badriah sama sekalipun dirinya
tidak pernah merasakan kehadiranku. Atau, akunya saja yang terlalu kaku pada
Badriah.
Aku pun hanya menyimak saja apa yang
mereka bicarakan tentang keistimewaan lelaki itu—yang disampaikan oleh salah
satu dari mereka. Aku hanya mengikutinya saja sampai tuntas.
Lama. Kami membicarakan semua tentangnya
itu, akhirnya pun berakhir. Lagi pula orang yang kami bicarakan juga sudah tiba
dari pasar. Tepat saat kami menyudahi pembicaraan itu. Apalagi dari
masing-masing kami sudah ada yang meninggalkan warung seusai membayar apa yang
sudah kami makan dan pesan pada Mak Atik.
Sedangkan aku sendiri seusai mereka
meninggalkan warung barulah aku mengekorinya. Itu pun setelah aku melihat
secara utuh di depanku. Inikah lelaki yang dibicarakan oleh kami sejak tadi?
Usai itu aku pun langsung meninggalkan
warung Mak Atik dengan berbagai seribu pertanyaan yang menggelayuti benakku
tentang lagi-lagi siapa sesungguhnya lelaki itu?
***
“Mak juga tidak tahu entah kenapa Mak
bisa menerima ia menetap di warung ini? Sebab, saat ia datang pada malam itu
dalam keadaan warung sedang sepi. Ia mengaku dari tanah Jawa yang di mana
dirinya tinggal, tanahnya sangat subur dan makmur,” ucap Mak Atik pagi itu saat
aku menemuinya sambil minum kopi di warungnya.
Aku saat itu bertanya tentang kronologis
dari mana lelaki seperti musafir itu menemui Mak Atik.
“Oya, ia juga bilang Mak itu awet muda
dan masih cantik serta menarik. Tentu masih banyak lelaki yang mau
mempersuntung, Mak,” lanjut Mak Atik.
Kali ini Mak Atik berucap sambil
tersenyum sendiri sambil memilin rambutnya dan bergoyang pinggul layaknya
seperti anak gadis yang sedang jatuh cinta. “Nah, dari situlah Mak terpikat
dengannya dan juga kasihan melihat dirinya di malam buta begitu harus mencari
tempat untuk dirinya berlindung.”
Kuperhatikan Mak Atik saat itu merupa
sebagai kembang desa yang sedang dimabuk asmara pada pujaannya—dan aku hanya
tersenyum kecut.
“Memangnya Mak Atik tidak takut digerbek
sama para peronda,” godaku.
“Tidak mengapa! Dikawinkan Mak Atik juga
mau, kok! Apalagi ia rupawan,” Mak Atik ternyata menanggapiku begitu serius.
Aku yang mendengarkan ucapan Mak Atik
seperti itu hanya bisa mengulum senyum. Dan lagi-lagi saat aku sedang
bercakap-cakap membicarakan lelaki itu, dirinya tidak ada di warung. Mak Atik
ternyata menyuruhnya lagi ke pasar untuk membeli bahan-bahan yang kurang untuk
membuat goreng-gorengan. Akhirnya aku bisa leluasa membicarakan tentang dirinya
dari Mak Atik. Siapa tahu dari mulutnya itu bisa membongkar siapa sesungguhnya
lelaki itu.
“Terus apalagi yang Mak ketahui
tentangnya? Kalau boleh tahu siapa namanya?” lanjutku.
“Katanya ia dari Kampung Lembah Bulus.
Ia sudah lama berada di sana. Sejak kecil dan besar berada di sana. Terus
karena di sana tempat tinggalnya sudah dijadikan gedung-gedung tinggi dan
jembatan layang ia pun berkelana mencari tempat untuk ditinggali,” Mak Atik
melanjuti pertanyaanku.
Akhirnya sampai di sini aku mulai
curiga. Lelaki itu ternyata pembohong besar. Berakal bulus. Sudah memafaati
kebaikkan Mak Atik.
Namun karena saat itu aku ada keperluan
mendesak akhirnya kuakhiri pembicaraan pada Mak Atik. Dan juga kulihat Mak Atik
tampak gelisah. Ia mondar-mandir seperti menunggu seseorang. Apakah Mak Atik
menunggu lelaki itu?
Ah, entahlah. Aku tidak ingin menuduh
tanpa bukti jika lelaki itu pembohong dan pembual besar. Lebih baik aku
mengurusi diriku saja sendiri. Akhirnya kutinggalkan juga warung itu di saat
Mak Ati sedang gelisah. Walaupun aku merasa kasihan pada janda tanpa anak itu
bila terjadi sesuatu nantinya. Tapi kutepiskan rasa itu.
***
Esokkan paginya warung Mak Atik sudah
ramai didatangi oleh orang-orang. Tapi bukan menikmati kopi atau teh apalagi
susu dari racikan tangan Mak Atik melainkan mereka turut berduka atas kejadian
yang melimpah Mak Atik. Ternyata Mak Atik ditipu oleh lelaki yang menetap di
warungnya itu.
Lelaki yang seperti musafir itu telah
membawa segala perhiasan dan simpanan Mak Atik. Mak Atik baru
mengetahuinya saat sejak pagi kemarin lalu lelaki itu tidak kembali. Dan saat
itulah Mak Atik baru tersadar jika dirinya sudah ditipu.
Ya, ternyata lelaki itu sudah melakukan
tipu muslihat pada Mak Atik.` Aku yang melihat Mak Atik sudah seperti orang
tidak berdaya hanya bisa menenangkan hatinya.
Akhirnya aku mendekati Mak Atik. Saat
itulah Mak Atik membisikkan kepadaku hal yang tidak kuduga sebelumnya.
“Maafkan Mak ya, Sur! Jika Mak selama ini
berbohong. Lelaki itu sebenarnya residivis kambuhan yang Mak lindungi. Dikira
Mak bisa menjinakkan singa agar bisa seperti kucing rumah. Ternyata tetap saja
menjadi singa yang jika lapar akan memangsa tuannya sendiri.”
Saat Mak Atik membisikkan hal itu
datanglah pihak berwajib untuk meminta keterangan kejadian yang dialaminya.
Usai itu aku meninggalkan Mak Atik yang sedang dimintai keterangan untuk barang
bukti jika dirinya usai ditipu dan dicuri harta bendanya. Saat itu pula
mendadak ponselku berbunyi.
“Bagaimana siasatku kerenkan? Janda
genit itu akhirnya kena tipu juga oleh otak bulusku ini. Aku tunggu kau di
tempat seperti biasanya. Kita langsung bagi dua hasilnya.”
“Siap! Terima kasih untuk kerjasamanya.
Ternyata akting kau bagus juga, tidak buruk-buruk amat. Ha-ha,” kataku dari
balik ponsel menjawab ucapan dari seberang jalan itu sambil tertawa lepas.
“Ah, kau berlebihan, Sur! Akting kau
juga bagus pula kok, natural sekali! Mereka semua kau perdayai dengan keluguan
kau itu. Baik aku tunggu ya di sini!”
“Siap. Aku akan ke sana! Kau tunggu
saja!”
Klik. Sambungan pembicaraan kami pun
berakhir. Setelah itu aku pun kembali tertawa terbahak-bahak tanpa lagi peduli
pada janda pemilik warung itu.[]
1. Kampung Lembah Bulus adalah nama kawasan yang diambil dari kontur tanah dan fauna. Lembah berarti lebak. Sedangkan bulus adalah kura-kura yang hidup di darat dan air tawar dengan nama latin Amydacartilaginea. Jadi dapat disamakan dengan lembah kura-kura. Kampung ini ada di tanah Jawa yang saat itu tanahnya masih subur dan makmur di tahun 1675 tepatnya berada di Batavia. Akhirnya kawasan itu sekarang diberi nama Lebak Bulus yang berada di selatan Jakarta.
Kak Ian, penulis, aktifis anak, dan penikmat sastra. Kini bergiat di Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Karya-karyanya sudah termaktub di berbagai media oniline dan media cetak. Karya terakhirnya buku solo, “Kumpulan Cerita Remaja: Malaikat yang Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama”, Penerbit Mecca, Desember 2019. “Kumpulan Cerpen: Hikayat Kota Lockdown”, Penerbit Sinar Pena Amala, Agustus 2020.