PUKUL
lima pagi, selepas jalan kaki mengelilingi setengah
kampung, Jakiman dikejutkan oleh suara “gedobrag!”. Dengan emosi yang mengeram
di dada bidangnya buru-buru dia memburu
suara itu. Jakiman terbelalak. Di depan matanya dia lihat reruntuhan plafon
yang jatuh berserakan menimpa segelas kopi hangatnya. Dia tidak hanya kecewa
dengan tumpahnya kopi kesayangannya itu, tetapi lebih pada raungan anak-anak
kucing lengkap dengan kegarangan induk kucing. Mata induk kucing blontang yang
buas seolah-olah ingin menerkam Jakiman. Mempertaruhkan dendam. Hampir saja
lelaki lima puluh lima tahun itu mengambil selonjor kayu dan memukulnya kuat-kuat pada kepala kucing.
“Kucing
lagi Pak?” tanya istrinya mencoba menghibur.
“Jangan dipentung Pak,” istrinya menggibah. Muka Jakiman tetap buas.
Bersaing dengan mata kucing.
“Wong kucing kayak begini kok disanak terus. Berapa kerugian kita
gara-gara kucing Bu?” protes yang keluar dari mulutnya seperti akumulasi
kejengkelan yang meledak. Tartinah, istrinya yang ketua Dasa Wisma itu sangat
memaklumi kegarangan Jakiman. Oleh istrinya kucing-kucing itu diseretnya ke
teras. Setelah bersusah payah meraihnya. Kotoran yang berhamburan dari plafon
segera diselamatkan. Tentu sebelum bau apaknya menusuk-nusuk hidung.
“Nambahi pekerjaan terus. Kalau makan
tikus, meninggalkan kepala. Membusuk. Lalat-lalat beterbangan. Menjijikkan. Aku
yang repot-repot naik plafon. Belum kalau berak.. Dan berapa plafon yang runtuh
gara-gara kucing?!”
Dada istrinya bergetar. Tidak berani
menjawab. Dengan bahasa isyarat sekalipun. Tartinah menyadari penuh kemarahan
sang suami.
“Belum kalau kita enak-enaknya ngorok,
gludak-gluduk mengganggu orang tidur!” rasa jengkel itu seperti mau dimuntahkan
semua.
“Pokoknya kucing itru harus kita
bunuh. Kita beri racun apa apotas. Aku sudah tua, sudah tidak mau urusan dengan
kucing. Kepengin tidur yang nyenyak demi kesehatan dan ketenteraman hari tua,”
kalimatnya kali ini lumayan bijak. Tartinah sungguh terkejut dengan keputusan
itu. Terbayang di kepalanya sejumlah peristiwa ngeri ketika seseorang sampai berani
membunuh kucing.
“Jangan sampai membunuh Pak, termasuk
membunuh kucing. Bapak ingat tidak? Kalau orang menabrak kucing kan harus
menguburnya, supaya tidak tertimpa kesialan,”
“Tetapi itu kucing baik-baik. Lha yang
ini kan kucing nakal. Kurang ajar. Banyak merugikan!” amarahnya mustahil
dihentikan.
Jawaban yang bersikukuh itu memaksa
Tartinah terbelalak. Dia sadar betul kalau suaminya punya prinsip seperti tidak
bisa dilawan siapa pun. Termasuk atasannya di kantor. Tetapi, semua memang
harus terserah kepada Jakiman.
“Kalau Bapak sampai membunuh kucing,
kampung atau para tetangga bisa geger. Para tetangga kita rata-rata menyayangi
kucing Pak… Bapak lihat sendiri to, bu Darman dan Bu Kiman bukankah setiap hari
bercengkerama dengan kucing-kucing kesayangannya?! Kucing-kucing itu bahkan
diberikan ikan asin setiap hari,” istrinya nyerocos. Jakiman tidak peduli.
“Ya itu urusan mereka. Kalau punya kucing
jangan diumbar. Dikurung. Keputusanku sudah bulat. Bilang pada mereka kalau aku
mau memasang apotas untuk para tikus. Yang punya kucing silakan menyelamatkan
sendiri-sendiri. Kalau ada kucing-kucing yang masuk rumah kita, makan apotas,
itu risiko mereka,”
“Tetapi kita bertetangga Pak, tidak
bisa egosis begitu,” sergah Tartinah.
“Bu, kamu sudah kerasukan mereka.
Suruh mereka untuk ngurung kucing-kucing itu. Aku harus segera kantoran,”
Jakiman marah. Bergegas dia menyahut handuk merah yang disampirkan di kawat
anti karat belakang rumah. Masuk kamar mandi. Jebur-jebur sesukanya. Sepuluh
menit kemudian, tanpa sarapan, tanpa pamitan istri, Jakiman meninggalkan rumah.
Tartinah melongo. Tidak ada yang diajak
mencurahkan hati karena tiga anaknya sudah sekolah semua.
PULANG dari kantor, pukul empat sore,
Jakiman sudah kembali akur dengan istrinya. Tartinah tersenyum. Inilah suami
yang sejak dulu diidamkan. Mampu meredam emosi saat terjadi pertengkaran.
Tetapi soal kucing-kucing yang masih berkeliaran di rumahnya itu?! Istrinya
tidak berkutik. Tidak juga mengusik.
“Aku sudah siap apotas Bu, silakan
membujuk ibu-ibu yang punya kucing untuk segera menyelamatkan,” nadanya masih
ketus.
“Tetapi tidak sopan to Pak, nanti
pencitraan Bapak bagaimana. Nanti Bapak dituduh sadis lho,” irama istrinya
membujuk. Jakiman tidak mau peduli. Hitungan jam merambat terus. Jakiman
menduga, kelihatannya kok juga tidak mungkin kalau sampai istrinya harus memberi
semacam pengumuman kepada para pemilik kucing.
Tetapi begitulah, langit makin memberi
warna buram. Sore kian menjemput, malam terus menggelap. Jakiman melangkah,
mengambil satu piring plastik yang sudah tidak terpakai. Dua centhong nasi
pulen diambil dari ceting. Istrinya membuntuti.
“Ini apotas untuk tikus. Bukan untuk
kucing. Gara-gara rumah kita banyak tikus, akibatnya banyak kucing berebut.
Kalau sudah tidak ada tikus lagi, siapa tahu juga tidak ada kucing?!” bicaranya
santai. Istrinya semakin takut. Sorot matanya sangat pasrah.
“Kamu tidur saja, kalau sampai
menunggui nasi lauk apotas, bisa kurang tidur. Sakit nanti. Kalau malam ini
tidak ada korban, besuk malam akan aku ulang, begitu seterusnya” sindiran itu
kelewat tajam. Istrinya kembali menajamkan rasa pasrahnya. Keduanya tidur
seranjang dan tidak mau berbicara dengan topik: kucing. Tidak mau.
PUKUL lima, begitu bangun tidur,
rupanya semua anggota keluarga merasakan tidur sangat lelap. Nyaman juga kalau
tidak diributi godaan kucing. Tidak terkecuali Tartinah. Dia bergegas menuju piring
plastik tempat nasi yang kemarin ditaruh
suaminya. Astaga! Betapa terkejutnya, nasi itu semua ludes. Siapa yang memakan?
Mudah-mudahan tikus. Bukan kucing! Tikus, jangan kucing! Tetapi mana ada dengus
tikus dan kucing menjelang mati?! Pertanyaan itu menikam benak.
Tidak begitu lama ternyata terdengar
para tetangga menangis. Jakiman terharu.
“Sudah Bu, bujuk para tetangga, mereka
menangis gara-gara kucingnya mati,”
“Kok Bapak tahu?” terbelalak mata
Tartinah.
Suara jeritan makin melolong.
Memilukan. Tartinah bergegas menuju tetangga yang meraung-raung itu. Baru
beberapa langkah, betapa terkejutnya Tartinah, dua tetangga yang saling
bersebelahan ternyata pingsan, begitu mengetahui kucing kesayangannya
mendusur-dusur ke tanah karena keracunan. Tidak hanya satu dua kucing, tetapi
lima bela ekor kucing!
“Aduh Bu, Pak Jakiman kok sadisnya
seperti itu. Kucing-kucing kami mati semua…” keluh wanita yang sudah siuman. Mulut
Tartinah tersekat. Beberapa tetangga yang berkumpul sepakat menyebut Jakiman
sebagai pribadi yang sadis. Anehnya para suami tidak ada yang marah. Mereka
malah mengacungi jempol atas keberanian Jakiman.
“Tetapi kalau Pakde Jakiman nanti kualat bagaimana?” tanya seorang bapak.
Tartinah tersenyum. Sehari dua hari sampai seminggu Tartinah khawatir kalau
suaminya tertimpa sesuatu. Musibah barangkali. Tetapi pada hari ke-delapan,
Jakiman benar-benar mengalami musibah. Beberapa ekor ayam aduan dan ayamnya
yang bisa tertawa ludes semua. Dimaling orang? Di emper rumahnya Jakiman
tersenyum: Tidak menyesal, baginya, hilangnya unggas kesayangan yang harganya
belasan juta itu hilang karena serba kebetulan saja. Jakiman kembali tersenyum.
Bisa tidur nyenyak setiap malam. Tanpa digangu kucing-kucing yang (baginya)
keparat dan sering dimaki-maki itu.
Sebaliknya, kini pikiran istrinya yang
mobat-mabit. Kemarin sore ana kabar bahwa seorang laki-laki masuk parit gegara
melarikan diri sewaktu menabrak kucing. Pak Mugi, tetangga sebelah tangannya
keseleo gegara menendang kucing. Istri Jakiman sangat khawatir kalau plafon di
atas tempat tidurnya runtuh dan menimpa suaminya. Sebab, plafon kamar depan
kemarin tanpa ada penyebab apa-apa juga jatuh dan me memperak-porandakan
tumpukan gelas di meja. Kini istrinya tidak bisa tidur. Rencananya besuk malah akan
berkunjung ke psikiater gegara tidak bisa tidur dengan penyebab amukan lima
belas kucing yang telah dibunuh Jakiman.
Semarang, Juni 2022
---------------------
Budi
Wahyono, penulis kelahiran Wonogiri, Sala. Ratusan
cerita pendeknya tersebar di banyak media cetak maupun online. Kumpulan cerpen
terbarunya “Tak Ada Sejengkal Tanah untuk Sajadah” (Triken Publisher, 2020).
Kini menetap di pinggiran kota Semarang.