Cerpen Budi Wahyono | Jakiman Membunuh 15 Kucing - Suara Krajan

 
PUKUL lima pagi, selepas jalan kaki mengelilingi setengah kampung, Jakiman dikejutkan oleh suara “gedobrag!”. Dengan emosi yang mengeram di dada bidangnya buru-buru dia  memburu suara itu. Jakiman terbelalak. Di depan matanya dia lihat reruntuhan plafon yang jatuh berserakan menimpa segelas kopi hangatnya. Dia tidak hanya kecewa dengan tumpahnya kopi kesayangannya itu, tetapi lebih pada raungan anak-anak kucing lengkap dengan kegarangan induk kucing. Mata induk kucing blontang yang buas seolah-olah ingin menerkam Jakiman. Mempertaruhkan dendam. Hampir saja lelaki lima puluh lima tahun itu mengambil selonjor kayu  dan memukulnya kuat-kuat pada kepala kucing.
 
Kucing lagi Pak?” tanya istrinya mencoba menghibur.  “Jangan dipentung Pak,” istrinya menggibah. Muka Jakiman tetap buas. Bersaing dengan mata kucing.
 
“Wong kucing kayak begini kok disanak terus. Berapa kerugian kita gara-gara kucing Bu?” protes yang keluar dari mulutnya seperti akumulasi kejengkelan yang meledak. Tartinah, istrinya yang ketua Dasa Wisma itu sangat memaklumi kegarangan Jakiman. Oleh istrinya kucing-kucing itu diseretnya ke teras. Setelah bersusah payah meraihnya. Kotoran yang berhamburan dari plafon segera diselamatkan. Tentu sebelum bau apaknya menusuk-nusuk hidung.
 
“Nambahi pekerjaan terus. Kalau makan tikus, meninggalkan kepala. Membusuk. Lalat-lalat beterbangan. Menjijikkan. Aku yang repot-repot naik plafon. Belum kalau berak.. Dan berapa plafon yang runtuh gara-gara kucing?!”

Dada istrinya bergetar. Tidak berani menjawab. Dengan bahasa isyarat sekalipun. Tartinah menyadari penuh kemarahan sang suami.

“Belum kalau kita enak-enaknya ngorok, gludak-gluduk mengganggu orang tidur!” rasa jengkel itu seperti mau dimuntahkan semua.
 
“Pokoknya kucing itru harus kita bunuh. Kita beri racun apa apotas. Aku sudah tua, sudah tidak mau urusan dengan kucing. Kepengin tidur yang nyenyak demi kesehatan dan ketenteraman hari tua,” kalimatnya kali ini lumayan bijak. Tartinah sungguh terkejut dengan keputusan itu. Terbayang di kepalanya sejumlah peristiwa ngeri ketika seseorang sampai berani membunuh kucing.
 
“Jangan sampai membunuh Pak, termasuk membunuh kucing. Bapak ingat tidak? Kalau orang menabrak kucing kan harus menguburnya, supaya tidak tertimpa kesialan,”
 
“Tetapi itu kucing baik-baik. Lha yang ini kan kucing nakal. Kurang ajar. Banyak merugikan!” amarahnya mustahil dihentikan.
 
Jawaban yang bersikukuh itu memaksa Tartinah terbelalak. Dia sadar betul kalau suaminya punya prinsip seperti tidak bisa dilawan siapa pun. Termasuk atasannya di kantor. Tetapi, semua memang harus terserah kepada Jakiman.
 
“Kalau Bapak sampai membunuh kucing, kampung atau para tetangga bisa geger. Para tetangga kita rata-rata menyayangi kucing Pak… Bapak lihat sendiri to, bu Darman dan Bu Kiman bukankah setiap hari bercengkerama dengan kucing-kucing kesayangannya?! Kucing-kucing itu bahkan diberikan ikan asin setiap hari,” istrinya nyerocos. Jakiman tidak peduli.
 
“Ya itu urusan mereka. Kalau punya kucing jangan diumbar. Dikurung. Keputusanku sudah bulat. Bilang pada mereka kalau aku mau memasang apotas untuk para tikus. Yang punya kucing silakan menyelamatkan sendiri-sendiri. Kalau ada kucing-kucing yang masuk rumah kita, makan apotas, itu risiko mereka,”
 
“Tetapi kita bertetangga Pak, tidak bisa egosis begitu,” sergah Tartinah.
 
“Bu, kamu sudah kerasukan mereka. Suruh mereka untuk ngurung kucing-kucing itu. Aku harus segera kantoran,” Jakiman marah. Bergegas dia menyahut handuk merah yang disampirkan di kawat anti karat belakang rumah. Masuk kamar mandi. Jebur-jebur sesukanya. Sepuluh menit kemudian, tanpa sarapan, tanpa pamitan istri, Jakiman meninggalkan rumah. Tartinah melongo. Tidak ada yang diajak  mencurahkan hati karena tiga anaknya sudah sekolah semua.
 
PULANG dari kantor, pukul empat sore, Jakiman sudah kembali akur dengan istrinya. Tartinah tersenyum. Inilah suami yang sejak dulu diidamkan. Mampu meredam emosi saat terjadi pertengkaran. Tetapi soal kucing-kucing yang masih berkeliaran di rumahnya itu?! Istrinya tidak berkutik. Tidak juga mengusik.
 
“Aku sudah siap apotas Bu, silakan membujuk ibu-ibu yang punya kucing untuk segera menyelamatkan,” nadanya masih ketus.
 
“Tetapi tidak sopan to Pak, nanti pencitraan Bapak bagaimana. Nanti Bapak dituduh sadis lho,” irama istrinya membujuk. Jakiman tidak mau peduli. Hitungan jam merambat terus. Jakiman menduga, kelihatannya kok juga tidak mungkin kalau sampai istrinya harus memberi semacam pengumuman kepada para pemilik kucing.
 
Tetapi begitulah, langit makin memberi warna buram. Sore kian menjemput, malam terus menggelap. Jakiman melangkah, mengambil satu piring plastik yang sudah tidak terpakai. Dua centhong nasi pulen diambil dari ceting. Istrinya membuntuti.
 
“Ini apotas untuk tikus. Bukan untuk kucing. Gara-gara rumah kita banyak tikus, akibatnya banyak kucing berebut. Kalau sudah tidak ada tikus lagi, siapa tahu juga tidak ada kucing?!” bicaranya santai. Istrinya semakin takut. Sorot matanya sangat pasrah.
 
“Kamu tidur saja, kalau sampai menunggui nasi lauk apotas, bisa kurang tidur. Sakit nanti. Kalau malam ini tidak ada korban, besuk malam akan aku ulang, begitu seterusnya” sindiran itu kelewat tajam. Istrinya kembali menajamkan rasa pasrahnya. Keduanya tidur seranjang dan tidak mau berbicara dengan topik: kucing. Tidak mau.
 
PUKUL lima, begitu bangun tidur, rupanya semua anggota keluarga merasakan tidur sangat lelap. Nyaman juga kalau tidak diributi godaan kucing. Tidak terkecuali Tartinah. Dia bergegas menuju piring  plastik tempat nasi yang kemarin ditaruh suaminya. Astaga! Betapa terkejutnya, nasi itu semua ludes. Siapa yang memakan? Mudah-mudahan tikus. Bukan kucing! Tikus, jangan kucing! Tetapi mana ada dengus tikus dan kucing menjelang mati?! Pertanyaan itu menikam benak.
 
Tidak begitu lama ternyata terdengar para tetangga menangis. Jakiman terharu.
 
“Sudah Bu, bujuk para tetangga, mereka menangis gara-gara kucingnya mati,”
 
“Kok Bapak tahu?” terbelalak mata Tartinah.
 
Suara jeritan makin melolong. Memilukan. Tartinah bergegas menuju tetangga yang meraung-raung itu. Baru beberapa langkah, betapa terkejutnya Tartinah, dua tetangga yang saling bersebelahan ternyata pingsan, begitu mengetahui kucing kesayangannya mendusur-dusur ke tanah karena keracunan. Tidak hanya satu dua kucing, tetapi lima bela ekor kucing!
 
“Aduh Bu, Pak Jakiman kok sadisnya seperti itu. Kucing-kucing kami mati semua…” keluh wanita yang sudah siuman. Mulut Tartinah tersekat. Beberapa tetangga yang berkumpul sepakat menyebut Jakiman sebagai pribadi yang sadis. Anehnya para suami tidak ada yang marah. Mereka malah mengacungi jempol atas keberanian Jakiman.
 
“Tetapi kalau Pakde Jakiman nanti kualat bagaimana?” tanya seorang bapak. Tartinah tersenyum. Sehari dua hari sampai seminggu Tartinah khawatir kalau suaminya tertimpa sesuatu. Musibah barangkali. Tetapi pada hari ke-delapan, Jakiman benar-benar mengalami musibah. Beberapa ekor ayam aduan dan ayamnya yang bisa tertawa ludes semua. Dimaling orang? Di emper rumahnya Jakiman tersenyum: Tidak menyesal, baginya, hilangnya unggas kesayangan yang harganya belasan juta itu hilang karena serba kebetulan saja. Jakiman kembali tersenyum. Bisa tidur nyenyak setiap malam. Tanpa digangu kucing-kucing yang (baginya) keparat dan sering dimaki-maki itu.
 
Sebaliknya, kini pikiran istrinya yang mobat-mabit. Kemarin sore ana kabar bahwa seorang laki-laki masuk parit gegara melarikan diri sewaktu menabrak kucing. Pak Mugi, tetangga sebelah tangannya keseleo gegara menendang kucing. Istri Jakiman sangat khawatir kalau plafon di atas tempat tidurnya runtuh dan menimpa suaminya. Sebab, plafon kamar depan kemarin tanpa ada penyebab apa-apa juga jatuh dan me memperak-porandakan tumpukan gelas di meja. Kini istrinya tidak bisa tidur. Rencananya besuk malah akan berkunjung ke psikiater gegara tidak bisa tidur dengan penyebab amukan lima belas kucing yang telah dibunuh Jakiman.
 
                                                                                                Semarang, Juni  2022



---------------------
Budi Wahyono, penulis kelahiran Wonogiri, Sala. Ratusan cerita pendeknya tersebar di banyak media cetak maupun online. Kumpulan cerpen terbarunya “Tak Ada Sejengkal Tanah untuk Sajadah” (Triken Publisher, 2020). Kini menetap di pinggiran kota Semarang.
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak