Cerpen Amini | Hati yang Terkoyak - Suara Krajan

Kembali Nawang harus melipat seluruh hasratnya untuk bersama Abdi malam ini. Rumah tangga yang telah dibangun sejak dua puluh lima tahun ini sedikit banyak telah mengajarkan Nawang untuk mengerti dan mengerti lagi. Bukan waktu yang sebentar tentunya. Abdi dengan segala kegiatan dan kesibukannya lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Entah untuk bertemu warga atau hanya sekadar ngobrol di angkringan bersama teman-teman kerjanya. Sementara Nawang hanya bisa menunggu kepulangan Abdi tak jarang sampai tertidur di sofa. Hal ini terjadi tidak hanya semalam dua malam, sejak anak-anak mereka masih sekolah pun perilaku Abdi sudah demikian.
 
Begitulah kehidupan rumah tangga mereka sering diwarnai keributan kecil. Tak banyak yang diminta Nawang. Dia ingin suaminya itu memiliki waktu untuk sekadar duduk berdua, membicarakan banyak hal. Rupanya Abdi tidak melihat itu sebagai sebuah kebutuhan. Sangat sulit baginya untuk meluangkan waktu barang sebentar bersama istri yang dulu sangat dia cintai itu. Setelah anak-anak mereka berumah tangga kelakuan Abdi tak berkurang, malah semakin menjadi. Apalagi Abdi sekarang menjadi salah satu tokoh masyarakat yang disegani. Sejak direkrut sebagai anggota dari salah satu partai ternama, praktis waktu Abdi lebih banyak dihabiskan untuk warga. Sepak terjangnya di luar rumah sungguh di luar ekspektasi Nawang. Lagi-lagi perempuan semampai itu harus menelan ludah pahitnya sendiri. Seolah waktu kebersamaan mereka telah tergadaikan oleh banyak kepentingan yang mengatasnamakan warga. Nawang tidak berdaya. Sepi dan sendiri adalah teman karib melewati hari-harinya.
 
Sebagaimana perempuan pada umumnya Nawang juga ingin merasakan seperti teman-temannya di kantor. Ranti bercerita kalau seminggu lalu dia bersama dengan suami dan anak-anaknya menghabiskan waktu berlibur ke Bali. Begitu juga Eva, dua hari lalu dia baru saja pulang dari Aceh ke tempat mertuanya. Dengan berbinar Ranti dan Eva bergantian mengisahkan kebahagiaan mereka. Bercengkerama bersama keluarga, melupakan sejenak urusan kantor dengan segala kerepotannya, cukup membuat mereka fresh. Semangat kembali menyala. Full dan enjoy.
 
Nawang hanya bisa tersenyum pasrah saat teman-temannya menanyakan hari-hari liburannya. Dia selalu berkelit dari sahabat-sahabatnya itu dengan mengatakan kalau anak-anaklah yang datang berkunjung. Nawang cukup menunggu di rumah dengan kesibukan yang tak kalah hebohnya. Perempuan paruh baya itu sangat pintar menyembunyikan keinginannya. Dia sangat terlatih mengemas semuanya dengan baik agar terlihat memang baik. Palung hatinya masih sanggup mengendapkan hasrat dan keinginannya untuk bisa seperti kebanyakan teman-teman pada umumnya.
 
Sebenarnya bisa saja Nawang meluangkan waktunya barang sebentar untuk sekadar menurutkan keinginan hati. Sebagai perempuan mandiri yang bekerja dengan gaji yang lumayan besar, bisa saja dia menikmati kualitas waktunya dengan memanjakan jiwa dan raganya. Sendiri atau bersama suami baginya bukan lagi sesuatu yang bisa dituntut. Toh selama ini dia selalu sendiri. Anak-anaknya pun sudah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Jadi praktis Nawang setiap hari sangat akrab dengan sepi dan sendiri. Tetapi ada banyak hal yang menjadi pertimbangan Nawang untuk tidak melakukan hal itu. Dia selalu mengedepankan respon para tetangga, apa kata mereka jika tahu kalau dia, seorang perempuan bersuami, pergi sendirian tanpa didampingi suami atau anak. Ya, Nawang tidak siap mendengar atau menanggapi cibiran banyak orang. Segala omongan orang selalu dipikirkan. Karena itu tak heran jika hatinya terlalu perasa.
 
Keadaan yang demikian bertolak belakang dengan keinginan hatinya. Kadang-kadang akal sehatnya bicara. Itu tidak mungkin dia pelihara. Dia tidak mau sakit hanya karena tidak kesampaian maksud dan keinginannya. Melebur dan menyibukkan diri dengan pekerjaan bisa menjadi satu alternatif yang dia pilih. Nawang bisa leluasa bekerja sesuai kehendak hatinya. Perempuan yang masih terlihat cantik di usianya menjelang kepala lima itu tidak akan terganggu oleh chat dari suaminya. Seolah-olah terbiarkan begitu saja keberadaannya di mata suaminya. Nawang tidak pernah mengeluh baik di hadapan teman-temannya terlebih ibunya. Dia harus bisa bersikap baik agar orang-orang yang ada di sekitarnya menganggap dia memang sedang baik-baik saja.
 
Sore itu terlihat Nawang baru saja memasuki mobilnya hendak pulang. Jam kantor sudah habis. Ingin segera dia melajukan mobilnya menembus keramaian sore menuju tempat spa langganannya. Dia ingin mencoba spa sebagaimana yang disarankan beberapa temannya. Kegiatan yang menurutnya sangat membuang waktu percuma ini sekarang hendak dibuktikannya. Kata Eva layanannya cekatan dan professional, sungguh memanjakannya. Marina Beauty sebuah tempat spa yang telah direkomendasikan Eva adalah tujuannya. Dia ingin melepas sejenak beban hati dan pikirannya. Obrolan manis bersama perempuan-perempuan cantik di tempat spa yang sebaya dengan bungsunya itu bisa menjadi suntikan semangat baginya. Nawang sangat menikmati sore itu hingga menjelang malam.
 
"Jadi dong! Mas Bumi sudah membelikan aku cincin."
 
Terdengar dari ruang sebelah yang hanya terpisah tirai bermotif batik, sesuai dengan kemben yang Nawang pakai. Mungkin pelanggan lain yang juga sedang menikmati spa. Diam sejenak.
"Datanglah! Aku ingin kamu ikut menyaksikan hari bahagiaku."
 
Kembali terdengar suara di sebelah. Rupanya ada seseorang yang sedang menelponnya. Nawang tidak mengenal siapa yang ada di sebelah. Pendengarannya ikut mencuri tema yang sedang dibicarakan. Nawang pun tersenyum. Nawang tahu perempuan di sebelahnya itu sedang menunggu hari bahagianya. Sejenak ingatannya melesat saat Abdi melamarnya. Laki-laki yang sangat dikaguminya itu telah memilihnya menjadi ibu dari anak-anaknya. Bahagia hatinya tak bisa dilukiskan dengan apa pun saat itu. Bagaimana tidak, sudah lama Nawang memendam rasa pada Abdi yang merupakan kakak tingkatnya saat di kampus dulu. Rupanya gayung pun bersambut. Dengan caranya yang sangat romantis, Abdi melamar Nawang di hadapan teman-teman mereka. Bagai mendapat durian runtuh, itulah yang dirasakan Nawang.
 
Mata Nawang masih terpaku pada kertas undangan pernikahan yang tergeletak di meja Ranti. Nama yang tertera di undangan itu meluluhlantakkan hati dan perasaannya. Hancur hatinya tak terkatakan lagi. Seolah dunia ikut runtuh menimpa seluruh kemalangan hatinya. Di benaknya demikian lekat wajah kedua anaknya yang sekarang tidak berada di sampingnya. Ranti yang ada di sampingnya hanya bisa menenangkan Nawang dengan mengelus punggung wanita malang itu. Nama beserta foto yang ada di undangan itu sangat jelas menerangkan siapa mempelai prianya. Abdilah Raka Bumi, nama yang selama seperempat abad ini membersamai dia dan kedua anaknya. Nawang tak pernah menduga. Sepak terjang Abdi di luar rumah telah meluluhlantakkan pondasi rumah tangganya yang selama ini selalu dijaganya. Capeknya sudah kelewatan. Amarahnya sudah tak bisa ditahan. Karena itu jika ada kesempatan ingin rasanya dia menikam ayah dari anak-anaknya itu. Sikap diamnya selama ini rupanya telah tercuri oleh seorang perempuan yang tema pembicaraannya pernah dia curi saat di spa kemarin.#
 
 
 
===================
Amini, S.S. seorang guru yang mengajar Bahasa Indonesia di sebuah SMP yang juga almamaternya. Menulis adalah kegiatan yang menyenangkan. Baru di tahun 2020 dia bisa menemukan wadah yang tepat untuk belajar menulis. Sejak itu kegiatan menulis ditekuninya. Telah puluhan buku antologi dihasikannya bersama para penulis lainnya. Baik berupa easi, puisi, cerpen, geguritan, maupun cerkak. Buku tunggalnya ada enam buah. Dan yang baru terbit adalah Antologi Puisi SECANGKIR TEH DAN SEPOTONG MALAM Serangkai Soneta terbitan Boengaketjil 2022. Alamat email aminiparwoto76@gmail.com IG amini_ombo FB Amini WA 081249366181


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak