Cerpen Akhmad Sekhu | Ganjil - Suara Krajan

Mungkin ada yang bilang kalau cerita ini mengada-ada, aneh, tapi nyata terjadi dan Sudrajat secara sadar mengakui telah mengalaminya. Ada orang yang sudah meninggal tapi masih bisa menemui atau bertemu sahabat sejati semasa hidupnya. Ada sebuah doa yang terkabul setelah orang yang berdoa telah tiada. Tuhan Maha Berkehendak. Semua bisa terjadi, jika Tuhan menghendaki. Sebuah cerita mengharukan tentang persahabatan sejati.

Kisahnya dimulai saat hari sudah larut malam, dimana Sudrajat tampak berjuang keras melawan rasa kantuknya. Berulang kali ia terlihat menguap. Malam tanpa bulan itu ia nonton sebuah film yang box office pada pertunjukan terakhir di Bioskop Laka-Laka Tegal. Sebenarnya ia ingin nonton film tersebut siang hari, tapi tiketnya ludes dan hanya ada tiket tersisa pada pertunjukan terakhir. Berhubung film tersebut sedang booming, bahkan trending topic di twitter, ia pun penasaran jadi terpaksa memang harus nonton film horor tersebut di waktu penayangan yang juga horor karena penayangannya berakhir di tengah malam. 

Sepulang nonton, Sudrajat akan buang air kecil di depan toilet, tapi samar-samar melihat sebuah bayangan yang lambat laun tampak terwujud jadi seseorang yang pernah di kenalnya pada masa silam. Ia pun mengucek-ucek mata yang berulang kali diserang kantuk berat itu, kemudian menajamkan indra penglihatan hingga tampak semakin jelas yang di hadapannya itu memang adalah Prasetyo seorang teman sewaktu masa sekolah SMA dulu, betapa ia sangat kaget tak mengira dirinya bertemu dengan seorang teman yang dulu suka nonton film bersama di bioskop setiap Sabtu sepulang sekolah.

Sudrajat jadi ingat dirinya pernah mengajak Prasetyo nonton film Ghost, sebuah film romansa fantasi yang dibintangi Patrick Swayze dan Demi Moore, dimana yang paling fenomenal adalah potongan rambut pendeknya di film tersebut. Demi yang berperan sebagai Molly Jensen sengaja memotong pendek rambutnya meski itu bukan tuntutan skenario. Meski begitu, Demi Moore tetap terlihat cantik. Hal itu membuat banyak wanita di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, mengubah gaya rambut mereka menjadi seperti Demi Moore. Bahkan di Indonesia ada istilah KDM atau Korban Demi Moore, karena banyak yang rela memotong pendek rambutnya walaupun kurang sesuai dengan bentuk wajah mereka.

            Malam itu, Sudrajat bertemu dengan Prasetyo di depan toilet setelah selesai nonton film. Ia tidak suka antre buang air kecil bubaran film, ia lebih suka duduk di ruang tunggu untuk tidak masuk toilet dulu. Setelah dirasa semua penonton film sudah keluar dari toilet, barulah ia akan masuk tapi masih ada seorang penonton yang tersisa, yang ternyata adalah Prasetyo seorang teman sewaktu masa sekolah SMA dulu. Sungguh benar-benar tak menyangka dapat bertemu dengan teman lama, yang bisa menjadi sebuah reuni kecil.

            Prasetyo menatap tajam ke Sudrajat. Tatapannya begitu tajam hingga Sudrajat jadi heran, ada apakah gerangan?      

“Sudrajat?“ tanya Prasetyo seperti ingin memastikan dirinya kalau orang yang di depannya adalah Sudrajat.

            Sudrajat tentu saja kaget sehingga tidak langsung menjawab.

            “Kamu Sudrajat kan?” tanya Prasetyo lagi kali ini dengan meninggikan suaranya.

            “Iya, saya Sudrajat, “ jawab Sudrajat mantap dan kemudian serta-merta balik bertanya, “Kau Prasetyo ya?”

            Ya, aku Prasetyo, “ jawab Prasetyo kini memperlihatkan ekspresi kegembiraan.

            Sudrajat memandangi wajah Prasetyo baik-baik, kemudian meyakinkan diri sendiri, “Ya, Prasetyo…”

            Prasetyo buru-buru menyodorkan tangannya dan Sudrajat tak menyambut dengan menyalaminya karena tangannya masih dari buang air kecil.

            “Apa kabar?” tanya Prasetyo dengan wajah terlihat begitu sangat gembira.

            “Alhamdulillah, baik, “ jawab Sudrajat turut gembira juga.

            “Bagaimana kabar teman-teman SMA kita?” Prasetyo bertanya lagi.

            “Wah kurang tahu karena sudah sangat lama tidak bertemu, sekitar 30 tahun lebih.” Sekenanya saja Sudrajat menjawabnya, kemudian karena kini sudah benar-benar kebelet ingin buang air kecil, buru-buru menyampaikan, “Maaf saya mau kencing dulu ya.”

            Prasetyo menyilakan, tapi sebelumnya menyelipkan sebuah tanya, “Nanti kamu mau ke mana setelah ini?”

            “Ya pulanglah,” jawab Sudrajat sambil menahan rasa benar-benar ingin buang air kecil.

            “Bagaimana kalau kita pulang bareng?” Prasetyo menyodorkan tawaran.

            “Oke, “ Sudrajat buru-buru menyatakan setuju karena saking semakin benar-benar menahan rasa ingin buang air kecil.

            “Yaya, oke aku tunggu di depan toilet ya,” Prasetyo memberitahukan dirinya menunggu.

            “Ya.” Sudrajat kini benar-benar sudah tak tahan, nyaris kencing di celana kalau tidak segera ke toilet, betapa memang tak tahan harus berulang kali menahan rasa ingin buang air kecil. Khawatir pipis di celana.   

***

 

Pulang nonton, Prasetyo mengajak Sudrajat untuk pulang bersama. Keduanya naik motor, Prasetyo membonceng motor Sudrajat. Sepanjang perjalanan keduanya tampak bercakap-cakap tentang nostalgia SMA yang dulu mereka lalui bersama. Meski bertemu hanya berdua saja, mereka tampak seperti sedang reuni kecil.

Bagi Sudrajat, pada diri Prasetyo terdapat sosok pribadi yang lengkap karena bisa mewakili hampir semua kenangan yang begitu sangat berkesan dialaminya semasa masih sekolah berseragam putih abu-abu.

            Berkat Prasetyo, Sudrajat dapat mengenal cinta, yang kata orang, cinta monyet, hingga ia dapat dekat dengan Uut, seorang primadona sekolah SMA yang ditaksirnya. Prasetyo mengajari Sudrajat bagaimana caranya melakukan pendekatan pada orang yang ditaksir, apalagi Uut termasuk primadona di sekolah tentu banyak orang yang suka, mulai dari bagaimana cara mengalahkan para pesaing dan sekaligus mampu memenangkan hati Uut.

            “Uut, primadona sekolah kita dulu memang tipe orang yang royal, “ kata Prasetyo mengenang dan kemudian mengingatkan, “Dulu kau kewalahan mengimbanginya, Sudrajat!”

            “Iya, Pras, aku memang kewalahan.“ Sudrajat jujur mengakui, kemudian menanyakan, “Sekarang Uut bagaimana kabarnya ya?”

            “Uut sekarang menikah dengan konglomerat, “ ungkap Prasetyo dan kemudian mengharapkan, “Semoga suaminya yang ini benar-benar jodohnya.”

            “Iya semoga Uut dan teman-teman SMA kita rumah tangganya mawadah, “ Sudrajat turut mendoakan.

            Prasetyo sewaktu SMA dulu dikenal Playboy dan sangat berpengalaman dalam segala hal urusan perempuan jadi Sudrajat sudah tepat minta nasihat mengenai pendekatan pada Uut pada diri Prasetyo, meski di belakang hari kemudian diketahui kalau Prasetyo adalah mantan pacar Uut, karena Prasetyo sudah bosan pacaran dengan Uut sehingga menyerahkan sepenuhnya pada Sudrajat. Tapi Sudrajat tidak sakit hati atas kenyataan itu, bahkan Sudrajat sangat berterima kasih pada Prasetyo karena mau mengajarinya berhubungan dengan lawan jenis.

            “Aku minta maaf, “ kata Prasetyo terdengar menyesal. “Karena dulu aku belum sempat minta maaf mengenai masalah Uut ini.”

            “Ah, sudahlah, Pras!” Sudrajat tampak tidak mempermasalahkan.

            “Tapi aku sekarang harus minta maaf, “ Prasetyo memaksakan.

            “Iya, Pras, aku maafkan,” Sudrajat menegaskan.

            “Bener kamu mau menerima maafku?” tanya Prasetyo tampak masih belum puas.

“Ya benarlah!” Sudrajat berusaha meyakinkan.

“Terima kasih,” ucap Prasetyo sumringah tampak memancarkan kegembiraan.

“Itu sudah menjadi bagian dari masa lalu nostalgia masa SMA kita, Pras,” Sudrajat menyimpulkan.

            Sudrajat masih tetap ingat, berkat Prasetyo juga, dirinya dapat merasakan hidup bebas, meski bebasnya dalam bentuk lain, yakni membolos sekolah. 

            “Aku juga minta maaf karena sewaktu SMA dulu menjerumuskanmu suka membolos sekolah, “ kata Prasetyo kembali terdengar menyesali.

            Sudrajat tentu saja jadi heran dibuatnya. “Lho, kamu kok minta maaf terus sih, Pras?”

            “Karena sewaktu SMA dulu, aku banyak salah sama kamu,” terang Prasetyo seperti ingin menebus rasa bersalahnya. “Walaupun dulu sewaktu SMA aku mbadung, nakalnya minta ampun, tapi aku selalu memperhitungkan seluruh tindakanku kalau ada kesalahan yang pernah aku lakukan selalu aku minta maaf sama orangnya agar aku bisa tenang.”

            “Ah, kamu ini, Pras, Pras, “ ucap Sudrajat penuh keheranan sehingga geleng-geleng kepala jadinya.

            Prasetyo mendesakkan permintaan maafnya, “Aku benar-benar minta maaf.”

            “Iya, deh aku maafkan,” Sudrajat masih enteng menanggapinya.

            “Jangan pakai kata deh,” protes Prasetyo.

            “Kenapa?’ tanya Sudrajat seketika.

            “Kesannya terpaksa memaafkan,” Prasetyo menjelaskan.

            “Saya tulus memaafkanmu, Pras, saya benar-benar tulus,” ujar Sudrajat berulang kali mencoba untuk meyakinkan.

            “Terima kasih, aku lega sekali.” Prasetyo kali ini tampak lebih sumringah wajahnya.

            Mereka tampak begitu asyiknya bercakap-cakap, saking asyiknya Sudrajat mengendarai motor entah sampai daerah mana. Prasetyo yang mengaku tahu daerah itu pun yang mengarahkan arah jalan laju kendaraan.

            “Tenang, aku tahu jalan, “ Prasetyo menenangkan, kemudian mempertegas, “Kita tak mungkin terserah, pokoknya ikuti arahan aku sebagai petunjuk jalan menuju ke arah rumahku yang baru.”

            Beberapa kali motor menabrak patok, hingga Sudrajat bertanya, “Kok banyak patok yang kita lewati?”

“Tidak apa-apa, patok-patok itu dari petugas yang sengaja memasang patok untuk batas tanah kapling, “ jawab Prasetyo dengan suara bergetar tapi mencoba untuk meyakinkan.

            Sudrajat mengangguk menurut saja. Ia tak mempermasalahkan jalan yang berliku-liku penuh gundukan dan berpatok-patok di kanan-kirinya. Angin malam yang semakin dingin membekukan tulang yang membuatnya semakin mempercepat laju kendaraan agar cepat sampai tempat tujuan. Suasanya begitu sangat sunyi mencekam, Sudrajat yang sebenarnya sangat penakut menjadi pemberani karena ada teman Prasetyo di boncengan.      

Begitu sampai ke rumah mewah, Prasetyo mengajak Sudrajat untuk singgah. Sudrajat tentu menurut saja, karena baru bertemu dari puluhan tahun lulus SMA dan tentu masih ingin mengobrol lebih banyak lagi. Mengalami masa sekolah SMA bersama memang kelewat indah untuk dikenang.

***

 

Waktu terasa berjalan begitu sangat cepat bagi Sudrajat yang sedang bercakap-cakap dengan Prasetyo di rumahnya. Asyik sekali mereka berdua nostalgia semasa sekolah. Sebuah nostalgia masa-masa sekolah yang memang sangat mengasyikan.  

Di sela-sela bernostalgia semasa sekolah, Sudrajat mengirim pesan singkat ke nomor WhaatsApp Doni, temannya dan teman Prasetyo saja karena sama-sama satu sekolah SMA, bahwa ia sedang bersama Prasetyo di rumah dan secepatnya menyusul untuk menemani dirinya. Kalau Doni datang pasti lebih seru lagi nostalgianya. Apalagi Doni terkenal jagoan ngocol, pintar bercerita.

 Sambil menunggu jawaban Doni, Sudrajat iseng membuka google maps sekedar ingin mengecek lokasi rumah Prasetyo yang didatanginya, tapi ternyata tidak terdeteksi, betapa ia amat sangat kaget.

Tiba-tiba, hpnya berdering, buru-buru ia angkat.

“Sudrajat, maaf saya baru sempat baca WhatsApp, apa benar kamu sekarang bertemu dengan Prasetyo teman masa sekolah SMA kita?” suara Doni di seberang sana terdengar bertanya.

“Iya, benar, kita berdua reuni kecil, “ jawab Sudrajat membuncah gembira.

“Bukankah Prasetyo sudah…” suara Doni terdengar ragu-ragu mengatakan sesuatu, sehingga Sudrajat langsung memotong ucapannya mengabarkan. “Prasetyo sekarang sudah berada di kampung. “

“Benar itu Prasetyo?” Doni terdengar masih dilanda keraguan.

“Iya benar, meski sudah 30 tahun lebih tidak bertemu sejak lulus SMA, aku masih mengenali itu Prasetyo, “ tutur Sudrajat penuh percaya diri.

Doni berhenti bicara, Sudrajat segera mendesak, “Doni, ayo cepat kesini temani aku di rumah Prasetyo!”  

“Sudrajat, kamu sekarang di mana?” tanya Doni.

“Saya di rumah Prasetyo, “ jawab Sudrajat memantapkan diri jawaban pasti.

“Lho, aku sekarang sudah depan Rumah Prasetyo, tapi kok tampak sepi dan gelap sekali seperti lama sekali tidak berpenghuni, sebenarnya kamu sekarang di mana?” Doni mempertanyakan terdengar begitu sangat terkejut.

“Aku di rumah Prasetyo yang baru,” Doni memberikan jawaban penuh keraguan.

“Wah Prasetyo sekarang sudah punya rumah baru?” tanya Doni, kali ini pertanyaannya menukik sekali.

“A-a-aku di …., “ Sudrajat tergagap-gagap dan benar-benar tak bisa melanjutkan jawabannya karena tiba-tiba tersadarkan oleh keadaan yang mendadak berubah sangat drastis dari sebuah rumah mewah menjadi sebuah kuburan yang begitu sunyi mencekam dan amat sangat menyeramkan. Saat demikian Prasetyo tiba-tiba menghilang entah ke mana yang membuatnya sontak menjadi sangat ketakutan karena ditinggal sendirian. Bahkan, ia semakin lebih takut lagi karena ternyata dirinya berada di atas sebuah pusara, betapa dirinya tak bisa berkata-kata lagi, selain jatuh langsung pingsan.

Doni masih tetap nyerocos bicara, “Bukankah Prasetyo, teman SMA kita, sudah lama meninggal karena sakit tak terobati? Sebenarnya yang sekarang sedang bersamamu itu siapa? Sudrajat, jawab pertanyaanku, Sudrajat, Sudrajat, ya, ditanya kok tidak dijawab, halo, halo….” 

 

***

Besok paginya, geger masyarakat yang lewat kuburan, terutama para bakul, para penjual, yang pergi ke pasar dini hari, dikejutkan karena melihat Sudrajat yang tampak sedang tidur di atas sebuah pusara. Adapun, Sudrajat, begitu bangun sangat terkejut bercampur kebingungan, entah mengapa dirinya sampai bisa tidur dengan keadaan sedemikian horor-nya.

 

Dk Karangjati, Munjung Agung, Kramat, Tegal, 2022

 

Akhmad Sekhu, penulis kelahiran desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, 27 Mei 1971 ini tinggal di Jakarta. Novelnya: Jejak Gelisah (2005), Chemistry (2018), Pocinta (2021). Kumpulan cerpennya “Semangat Orang-Orang Jempolan” (siap terbit).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak