7 Puisi Lidia | Pantai Sarjo - Suara Krajan

Pantai Sarjo
 
Di bawah nyiur
ada perahu-perahu tertidur
ketika cerita ibu bertabur
diiringi siulan ombak berdebur
 
: dulu sebelum kau ada,
kampung ini masih serupa rimba,
tak ada jalanan bergaris putih memanjang.
Orang-orang memikul hidupnya ke kota
dengan sepasang kaki tajam
diiris-iris tiram kepedihan
 
Perahu-perahu kecil tak mampu
mengantar mimpi-mimpinya yang besar
tetapi nyeri di pundaknya bagai cambuk
meminta terus berjalan menjajakan jualan
 
Di pantai ini,
kudengar suara pilu di hati ibu
yang dulu sempat disaksikan ombak itu.
Sedang aku, masih saja keong kecil
terseok-seok di bibir pantai
 
Sarjo, 19 April 2022
 
 
Simpang Empat
 
Aku pernah berada di simpang empat hidup
memilih arah perjalanan yang kelak
mengantar keinginan-keinginanku
tiba pada tujuan yang sebenarnya
 
Kala itu
usia masih rentan jatuh bangun
belok ke kiri pikirku tak menemu rintang
 
Aku melaju
dengan kecepatan emosi terburu-buru
Jalan yang menikung-nikung membawaku
mengintip jurang-jurang kegagalan
rem pengingat kehati-hatian
tak lagi terinjak
hingga aku terjatuh
 
Lebam yang melekat
benar-benar biru
tahun-tahun kuhabiskan untuk sembuh
masih saja menimbul ragu
entah rute mana lagi mesti kujalani
sebab perjalanan-perjalanan di depan mataku
menawarkan pilihan melulu
 
Aku berdiri di hentian ini
menatap arah hidup berikutnya
 
Sarjo, 22 Juni 2022
 
 
Malam
 
Kusemat jimat malam
kala mata lelah tak mau lelap
serupa bohlam dalam bilik
yang kubiarkan hidup
sepanjang malam
 
ebagai teman duduk
aku bertanya pada malam
bagaimana mencipta gelap
pada mata yang selalu
menyimpan terang
 
Tanpa jawaban
kucoba memejam
menutup mata dengan tangan doa
yang kerap gagal kuhafal
pelan pelan redupkan lampu lampu
yang lama menjadi kota di kepala
 
Aku tertidur di ujung malam!
 
Sarjo, 22 02 2022
 
 
Langgas
 
Ia telah bebas dari jeruji dunia yang menganga
menuju pengadilan Tuhan
mengibar bendera kemerdekaan batin
yang begitu lama dijajah derita
ketakadilan hakim-hakim
 
Sarjo, 27 Mei 2022
 
 
Bekal Pulang
 
Ia pergi, menuju pulau tak kasat mata
membawa diri dan sekantong ibadah
setelah usia gugur
dari almanak kehidupan
 
Seminggu sebelum izrail menjemput
Ia khusyuk berbenah
memandikan diri dengan airmata sesal
mengenang perilaku berlumpur dosa
 
Siang malam bibirnya basah oleh zikir
hingga ia tak ada waktu berpikir
perihal kilau dunia
yang pernah mengajaknya kikir
 
Di detik-detik kepulangannya
ia berpesan padaku:
"Sebaik-baik bekal pulang adalah salat,
bersiaplah sebelum kereta kematian menjemputmu"
 
Sarjo, Januari 2021
 
 
Bendera Putih
 
Hari itu,
langit di kampung mendung
ambulans lalu-lalang
dan kau pergi
mengibarkan bendera putih
di hati kami
guru!
 
Sarjo, 23 Mei 2022
 
  
Rindu yang Berpetak-petak
 
Setelah menebang pohon waru
bapak menggali tanah itu
membentuk pematang ikan
tempat doa-doa disemogakan
 
Di tengahnya ada pintu
terbuat dari papan-papan jembatan
sebagai tempat pertemuan
bagi semua yang berenang
 
Di atasnya ada aku berdiri
membagi-bagi butiran kata
dan di bawah ada kau mengaminkan
 
Pematang ini adalah rinduku berpetak-petak
yang semasa kecil kurawat
kini berganti potongan-potongan
tanah kering yang kosong
 
Sarjo, 24 April 2022
 
 
======================
Lidia. Lahir di Donggala, Sulawesi Tengah. Anggota di Forum Lingkar Pena (FLP) Unismuh Makassar. Puisinya pernah dimuat di koran Fajar Makassar dan Bhirawa.
 

2 Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak