Pinggiran Kota
yang Mencicil Tenggelam
siapa yang melempar sajak. Saat
kesiur angin kehabisan detak
peta cuaca yang menggenang malam hari
mudah dieja. Kebenaran mengendap, merayap dari bawah
pagar tua
halaman pabrik mengembik
mustahil, kita halau ratusan kendaraan pasrah tercabik
rob merambat; tak seperti segelas es sirup kesukaan
di belahan musim kanak-kanak
cepat tuntas kala sedotan bergerak meluas
sepeda kesayangan yang beberapa hari lalu
terkapar kelu – kini meronta menebar keluh serupa
desing knalpot, busi dan perangkat apalagi
gagap menembus malam sunyi
lantaran bayangan listrik mati.
Semarang, 20 Juni
2022.
Ketek
Ogleng
ia belah gang-gang kota yang tak
sesegar irisan buah semangka
ia tak tega bayangkan muncrat segar kuah
apalagi mengirim pada semangkuk riuh acara
kota, ia bayangkan makna kerut gelandangan yang
kian pincang membaca gedung-gedung mengerucut
ratap nominal bebal
di sini, perempatan kampung ia
tersenyum
menatap pisang yang melengkung pasrah
pada selepan waktu. Tenggelam dalam sambat perut kera
yang meraung-raung merana
menerawang tulang-tulang iga
menjelma tragis manakala ia bayangkan berkelana
menjadi semisal sup iga sapi
di sruputan tak bertepi
seekor kera lengkap sejumlah peraga ia
dorong di
jalan berliku-liku hingga buntu di hamparan masa lalu.
Semarang,
2022
Badut
Keliling
sudahkah ia jaring selaksa jalan
hingga arena gambar bekas kucur kencing? Kelupas
jalan aspal pencecar bangkai tikus, ular
menjulang merambat ke tempurung liar
kepingan seribu, limaratus, dan desah penolakan
ia tambat kuat-kuat serupa kenangan buram
kemarin terkumpul lumeran sekarat di jidat
tengkuk tua dan getaran tangan yang dirayapi usia
tetap mengalir ke rapat bungkus selimut badut
andai ia lupa sejarah jalan berarah
akan juga berpanen desah
andai kaki merapat ke jauh tempuh
nanti malam; siapa yang rela mengalunkan dendang
di sela ingatan?!
terbayang kelebat istri ngeloyor
pergi
diaduk sekuat imajinasi. Ia tak akan melupa
kembali.
Semarang, 2022
Sejukur
Pematang
jika ada kabar perselingkuhan nyelonong di
televisi, lalu menyembur di kamar mandi, apakah
pematang yang kau susuri masih sesegar kemarin pagi?
kubayangkan baju lusuh berbaur harum lempung akan
menepi di kerut jidatmu yang dulu
seperti adegan sinetron berkilau bunglon
kau akan berkaca di air sawah nan tenang
sejumlah recehan cinta tergenang
dan sepertinya kita terus digilas deru waktu
mengolah tanah membara segiat Kasim di subur
belahan nusa tenggara
senja merentang diam-diam terasa menyusul Kang,
mari melangkah di julur pematang berumput hijau
orkestra kodok dengan konduktor alam tak akan
hanyut tenggelam dari geliat peradaban.
Wonogiri, 2022
Sri
Menggeliat di Pelukan
apakah kau masih ingat derap hujan sri
sepenggal daun pisang berebut daun jati
dan suhu angin mengibarkannya dengan mesra
dekapan hujan tumbuh subur di halaman
ingatan kubuka tanpa sengaja
di dera hujan seperti terlanjur fasih kubaca
perjalanan dijungkirbalikkan sekejap
biar kamu meluka; ingat
Jakarta nan riuh kupandang jauh
tak berlabuh-labuh. Mesti kuyakini
sedu susah menjauh.
Ngambil-ambil,
2022
Penambal
Kasur
sedu susah menjauh
tiga wanita tua menjelma semesra lakon tiga dara
terus menempuh gagap teroka
ratusan rumah pelanggan diam-diam
menentukan rajut arah ekonomi kapitalis yang
tenggelam dalam riuh tepung iklan
kasur busa dan perangkat mewah lainnya
menjelajah menekuk lutut
kasur kapuk; mereka usung dari lekuk
lorong-lorong gunung
menelisik kediaman pohon-pohon randu
penjaga kampung-kampung sunyi itu
kita pun mengupas dongeng anak-anak
rebutan buah randu yang bertahun lalu sudah berpulang
punggung menunduk terbius dengung game menantang.
Selogiri, 2022
Kumuh
Gitar Itu
segenggam gitar tua yang kamu terbangkan dan
tercebur di parit kota – senantiasa mengingatkan
sekerat daging dalam kuah soto menguar mesra
lupasan kenangan bersisik di tempur ingatan
dan kamu bujuk jadi melodinya
sia-sia, sesisa napas adukan ronta sakit asma
timbul-tenggelam dalam ingatan
seakan menyadarkan masa rabun dan pikun
dan seperti biasa; halaman rumah panti jompo
ragu-ragu kamu ketuk
segarang penjara tempat meringkuk.
kesiur angin kehabisan detak
peta cuaca yang menggenang malam hari
mudah dieja. Kebenaran mengendap, merayap dari bawah
pagar tua
halaman pabrik mengembik
mustahil, kita halau ratusan kendaraan pasrah tercabik
di belahan musim kanak-kanak
cepat tuntas kala sedotan bergerak meluas
sepeda kesayangan yang beberapa hari lalu
terkapar kelu – kini meronta menebar keluh serupa
desing knalpot, busi dan perangkat apalagi
gagap menembus malam sunyi
lantaran bayangan listrik mati.
sesegar irisan buah semangka
ia tak tega bayangkan muncrat segar kuah
apalagi mengirim pada semangkuk riuh acara
kota, ia bayangkan makna kerut gelandangan yang
kian pincang membaca gedung-gedung mengerucut
ratap nominal bebal
menatap pisang yang melengkung pasrah
pada selepan waktu. Tenggelam dalam sambat perut kera
yang meraung-raung merana
menerawang tulang-tulang iga
menjelma tragis manakala ia bayangkan berkelana
menjadi semisal sup iga sapi
di sruputan tak bertepi
jalan berliku-liku hingga buntu di hamparan masa lalu.
hingga arena gambar bekas kucur kencing? Kelupas
jalan aspal pencecar bangkai tikus, ular
menjulang merambat ke tempurung liar
ia tambat kuat-kuat serupa kenangan buram
kemarin terkumpul lumeran sekarat di jidat
tengkuk tua dan getaran tangan yang dirayapi usia
tetap mengalir ke rapat bungkus selimut badut
akan juga berpanen desah
andai kaki merapat ke jauh tempuh
nanti malam; siapa yang rela mengalunkan dendang
di sela ingatan?!
diaduk sekuat imajinasi. Ia tak akan melupa
kembali.
televisi, lalu menyembur di kamar mandi, apakah
pematang yang kau susuri masih sesegar kemarin pagi?
kubayangkan baju lusuh berbaur harum lempung akan
menepi di kerut jidatmu yang dulu
kau akan berkaca di air sawah nan tenang
sejumlah recehan cinta tergenang
dan sepertinya kita terus digilas deru waktu
mengolah tanah membara segiat Kasim di subur
belahan nusa tenggara
mari melangkah di julur pematang berumput hijau
orkestra kodok dengan konduktor alam tak akan
hanyut tenggelam dari geliat peradaban.
sepenggal daun pisang berebut daun jati
dan suhu angin mengibarkannya dengan mesra
dekapan hujan tumbuh subur di halaman
ingatan kubuka tanpa sengaja
perjalanan dijungkirbalikkan sekejap
biar kamu meluka; ingat
tak berlabuh-labuh. Mesti kuyakini
sedu susah menjauh.
tiga wanita tua menjelma semesra lakon tiga dara
terus menempuh gagap teroka
ratusan rumah pelanggan diam-diam
menentukan rajut arah ekonomi kapitalis yang
tenggelam dalam riuh tepung iklan
menjelajah menekuk lutut
kasur kapuk; mereka usung dari lekuk
lorong-lorong gunung
menelisik kediaman pohon-pohon randu
penjaga kampung-kampung sunyi itu
rebutan buah randu yang bertahun lalu sudah berpulang
punggung menunduk terbius dengung game menantang.
tercebur di parit kota – senantiasa mengingatkan
sekerat daging dalam kuah soto menguar mesra
lupasan kenangan bersisik di tempur ingatan
dan kamu bujuk jadi melodinya
timbul-tenggelam dalam ingatan
seakan menyadarkan masa rabun dan pikun
dan seperti biasa; halaman rumah panti jompo
ragu-ragu kamu ketuk
segarang penjara tempat meringkuk.
Semarang, 2022
======================
Budi Wahyono, lahir di kota Wonogiri, Jawa Tengah. Tulisannya tersebar di banyak media, baik berupa puisi, cerpen, novelet, esai, kolom, resensi dan laporan. Beberapa kali memenangi lomba menulis puisi tingkat lokal maupun nasional. Menulis juga dalam bentuk sastra Jawa. “Segar Keringat Melimpah Berkah” (2020) merupakan buku kumpulan puisinya. Tinggal di pinggiran kota Semarang 50195.