MAKA, DENGAN INILAH KITA MENEMUKAN KESEDIHAN
di panas pagi tubuhmu menguraikan bau bunga
dari puisi, hanya bunyi dari ruang tunggu taman-taman tumbuh, remang kabut,
jantung awan mengembang dengan tanganku yang bersembunyi di kekumuhan bahasa
kuketuk bibir cahaya dari amsal terakhir
dengan menembus kekhusyukan, membuka akhir dari ingatan musim cinta dan gerimis
hujan, kau sebarkan, kau sebarkan denyut hutan dengan kelapangan dada dari
sebuah tangisan
maka dengan inilah, kita menemukan kesedihan,
bahasa kita bersembunyi, menemani tuhan dan matahari
telah kau surutkan kembali mayat-mayat,
tubuhku berjalanan dengan air yang mencuri luka di bukit-bukit
telah kau kembalikan sejarah dari kukumu,
pembantaian bersembunyi di dalamnya, kau hanyutkan ke dalam mimpi semacam
ingatan tentang sorga
setelah ini, puisimu beterbangan seperti
pengelana tanpa mata angin lalu tubuhku mengebiri tanda baca yang diisyaratkan
waktu dan tumbuh dari bawah tanah
Surabaya, 2022
TUHAN DAN KELAHIRAN-KELAHIRAN MISTERIUS
di dalam kesepian yang membingungkan kakiku
meledak mengeluarkan timah besi, kartu-kartu telah di kocok, tubuhmu menafsir
harga dari sebuah permainan yang meloncat
kuterima seluruhnya setelah tubuhmu menyeret
tubuhku seperti pohon yang tertinggal, kereta meluncur, membalikkan matahari
menuju titik terendah mataku, _sekali lagi_, membalikkan matahari menuju titik
terendah mataku
mataku meredup setelah cahaya kutampung dan
mengembangbiakkan seribu anak panah dalam bulu kudukmu, pintu terbuka,
peperangan terbangun saat kusesap puting-puting dari sisa kain kafan dari
macam-macam terumbu
(kesedihan, awan-awan, diam dan bersembunyi
dalam sebuah lipatan yang meragukan tuhan dari kelahiran-kelahiran paling
misterius)
Surabaya, 2022
MEMBANGKITKAN HANTU-HANTU DENGAN KELAHIRAN
keheningan membentuk sepuluh anak tangga, kita
berjalan di antara ke antara hujan-hujan yang berjatuhan, mataku redup seperti
ruang tunggu yang menyambut bukit berkabut datang, rawa-rawa dan sungai
mengekalkan bunyi seperti pusar akhir yang rindu
lipatan waktu berbunyi seperti adzan, camar
bersembunyi dari semak-semak dan ilalang tanganku, dari balik air tubuhmu
tumbuh seperti cahaya menuju langit tertinggi
kesakitan telah terbangun dan membangkitkan
hantu-hantu dengan kelahiran, kuserap segala hal, lempung gantung, bunga
krisan, lilin mencair di tengah malam
sedang setangkup telingamu meledakkan mantra yang memuntahkan sejenis biografi
sunyi
" marilah, mari! kita tuntaskan segala
bentuk kesedihan yang disebut dengan padam dan sunyi "
sungai menyusun lebar dari malam dan taman
gedung yang terbangun sangat tinggi, penari bersembunyi mengaisi cucuran bulan
dengan selendang kulitku menumbuhi bunga-bunga yang lahir, melibas ajal --
menumpuk sajak-sajak di tengah jaman
Surabaya, 2022
Baca Juga: 4 Puisi Ibna Asnawi
PEPERANGAN YANG HENING MENYAPU BERSIH
MAYAT-MAYAT
selama hujan basah aku adalah peperangan yang
hening menyapu bersih mayat-mayat tubuhku yang lain, sebuah kesedihan berguling
menggunakan celana, di ujung barak, di sana panji-panji berdiri tegak dengan
tuhan di sampingnya menyalak matahari
dari selembar kertas, kita membangun sebuah
huruf yang bisu pada tebing-tebing batu, di sepanjang selatan ke timur tak kita
temukan bunyi yang memisahkan sebuah pantulan-pantulan, sebuah gelap hatiku
memadat kabut di malam hari dengan obor-obor api
mengapa hanya gerak angin yang memudar dari
dalam darah tubuhku?
di sanalah, kukibaskan seluruh bendera yang
memanjang menembus matahari dan bulan, matamu meledak tika kusabitkan pedang
menggunakan kedua tanganku seperti cahaya
sebuah tembakan meledak menuju tuhan,
terdengar bunyi sengak dan bedug menuju ke suatu waktu yang memusar ziarah masa
depan dari kematian masa lalu
hari inilah, hari inilah, hari inilah
Surabaya, 2022
PUNCAK SUBUH JATUH DI PUCUK MATAMU
usiaku luntur mencari sebagian ingatan yang
dicuci oleh sebuah sabun, lagu pengembara hinggap melalui bingkai-bingkai
peradaban, tak bisa lagi kau sembunyikan sajak kita yang dimusnahkan, baris
pertama pukul 5;
sepasang remaja berjalan, puncak subuh jatuh
di pucuk matamu, jendela membuka tabiat sorga dari perjalanan-perjalanan
kutulis namamu, selembar pagar menancapkan
duri bulan dan nama-nama kekasih dari tuhan
apa yang terjadi, kita tak bisa temui mawar
merah dari duri kenduri dan hentakan bedug elektrik dari tanganmu yang
melepaskan seribu ulat bulu
maka di sinilah, saat kita menemukan waktu
bersembunyi dari balik laci, zaman melahirkan hiu dari tanah lalu
melemparkannya ke atas sana dan menggetarkan bumi dari hatiku ke seluruh
pertemuan
Surabaya, 2022
BAHASA DI BELAKANG KABUT BERDARAH
Bahasa di belakang kabut berdarah menapaki
igauan memancarkan sepasang kucing yang bergerak dari rumah menuju rumah
bertangga dari awan mendung melingkari kesedihan dan menjatuhkannya kepada air
yang menutupi rawa-rawa peradaban juga lampu mercusuar hinggap sampai kota dan
desa-desa memejamkan matanya pada kematian menginjaki kulit separuh sayap
beterbangan lalu kepedihan mencari jalan dari sudut-sudut persimpangan yang
tidak pernah ditemui siapa pun juga pohon-pohon tumbuh menjulang ke atas lalu ke
samping ketika angin terbangun dari sayapnya yang menggelepar lepaslah bau
angin sorga kepada mataku lalu hidungku lalu telingaku sesampainya tuhan
merubah dirinya menjadi waktu yang bolong merobeki peradaban membuangnya menuju
dunia yang lain tertanamlah sebuah gedung-gedung
dengan jendela juga pintu lahirlah manusia di sana tarian-tarian yang menggema
masa kecilku tak mampu menahan panas matahari hingga terbakar tak menyisakan
darah
Surabaya, 2022
======================
Adnan Guntur
, kelahiran Pandeglang tahun 1999.
Telah menyelesaikan studi di Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas
Airlangga. Aktif berkegiatan di Teater Gapus Surabaya, Bengkel Muda Surabaya,
Wara-Wara Project, dan Sanggar Arek. Kumpulan Puisi Tunggalnya (Tubuh Mati
Menyantap Dirinya Sendiri, Pagan Press) 2022.