6 Puisi Adnan Guntur | Puncak Subuh Jatuh di Pucuk Matamu - Suara Krajan


MAKA, DENGAN INILAH KITA MENEMUKAN KESEDIHAN
 
di panas pagi tubuhmu menguraikan bau bunga dari puisi, hanya bunyi dari ruang tunggu taman-taman tumbuh, remang kabut, jantung awan mengembang dengan tanganku yang bersembunyi di kekumuhan bahasa
 
kuketuk bibir cahaya dari amsal terakhir dengan menembus kekhusyukan, membuka akhir dari ingatan musim cinta dan gerimis hujan, kau sebarkan, kau sebarkan denyut hutan dengan kelapangan dada dari sebuah tangisan
 
maka dengan inilah, kita menemukan kesedihan, bahasa kita bersembunyi, menemani tuhan dan matahari
 
telah kau surutkan kembali mayat-mayat, tubuhku berjalanan dengan air yang mencuri luka di bukit-bukit
 
telah kau kembalikan sejarah dari kukumu, pembantaian bersembunyi di dalamnya, kau hanyutkan ke dalam mimpi semacam ingatan tentang sorga
 
setelah ini, puisimu beterbangan seperti pengelana tanpa mata angin lalu tubuhku mengebiri tanda baca yang diisyaratkan waktu dan tumbuh dari bawah tanah
 
Surabaya, 2022

 
TUHAN DAN KELAHIRAN-KELAHIRAN MISTERIUS
 
di dalam kesepian yang membingungkan kakiku meledak mengeluarkan timah besi, kartu-kartu telah di kocok, tubuhmu menafsir harga dari sebuah permainan yang meloncat
 
kuterima seluruhnya setelah tubuhmu menyeret tubuhku seperti pohon yang tertinggal, kereta meluncur, membalikkan matahari menuju titik terendah mataku, _sekali lagi_, membalikkan matahari menuju titik terendah mataku
 
mataku meredup setelah cahaya kutampung dan mengembangbiakkan seribu anak panah dalam bulu kudukmu, pintu terbuka, peperangan terbangun saat kusesap puting-puting dari sisa kain kafan dari macam-macam terumbu
 
(kesedihan, awan-awan, diam dan bersembunyi dalam sebuah lipatan yang meragukan tuhan dari kelahiran-kelahiran paling misterius)
 
Surabaya, 2022

 
MEMBANGKITKAN HANTU-HANTU DENGAN KELAHIRAN
 
keheningan membentuk sepuluh anak tangga, kita berjalan di antara ke antara hujan-hujan yang berjatuhan, mataku redup seperti ruang tunggu yang menyambut bukit berkabut datang, rawa-rawa dan sungai mengekalkan bunyi seperti pusar akhir yang rindu
 
 
lipatan waktu berbunyi seperti adzan, camar bersembunyi dari semak-semak dan ilalang tanganku, dari balik air tubuhmu tumbuh seperti cahaya menuju langit tertinggi
 
kesakitan telah terbangun dan membangkitkan hantu-hantu dengan kelahiran, kuserap segala hal, lempung gantung, bunga krisan, lilin mencair  di tengah malam sedang setangkup telingamu meledakkan mantra yang memuntahkan sejenis biografi sunyi
 
" marilah, mari! kita tuntaskan segala bentuk kesedihan yang disebut dengan padam dan sunyi "
 
sungai menyusun lebar dari malam dan taman gedung yang terbangun sangat tinggi, penari bersembunyi mengaisi cucuran bulan dengan selendang kulitku menumbuhi bunga-bunga yang lahir, melibas ajal -- menumpuk sajak-sajak di tengah jaman
 
Surabaya, 2022

Baca Juga: 4 Puisi Ibna Asnawi
 
PEPERANGAN YANG HENING MENYAPU BERSIH MAYAT-MAYAT
 
selama hujan basah aku adalah peperangan yang hening menyapu bersih mayat-mayat tubuhku yang lain, sebuah kesedihan berguling menggunakan celana, di ujung barak, di sana panji-panji berdiri tegak dengan tuhan di sampingnya menyalak matahari
 
dari selembar kertas, kita membangun sebuah huruf yang bisu pada tebing-tebing batu, di sepanjang selatan ke timur tak kita temukan bunyi yang memisahkan sebuah pantulan-pantulan, sebuah gelap hatiku memadat kabut di malam hari dengan obor-obor api
 
mengapa hanya gerak angin yang memudar dari dalam darah tubuhku?
 
di sanalah, kukibaskan seluruh bendera yang memanjang menembus matahari dan bulan, matamu meledak tika kusabitkan pedang menggunakan kedua tanganku seperti cahaya
 
sebuah tembakan meledak menuju tuhan, terdengar bunyi sengak dan bedug menuju ke suatu waktu yang memusar ziarah masa depan dari kematian masa lalu
 
hari inilah, hari inilah, hari inilah
 
Surabaya, 2022

 
PUNCAK SUBUH JATUH DI PUCUK MATAMU
 
usiaku luntur mencari sebagian ingatan yang dicuci oleh sebuah sabun, lagu pengembara hinggap melalui bingkai-bingkai peradaban, tak bisa lagi kau sembunyikan sajak kita yang dimusnahkan, baris pertama pukul 5;
 
sepasang remaja berjalan, puncak subuh jatuh di pucuk matamu, jendela membuka tabiat sorga dari perjalanan-perjalanan
 
kutulis namamu, selembar pagar menancapkan duri bulan dan nama-nama kekasih dari tuhan
 
apa yang terjadi, kita tak bisa temui mawar merah dari duri kenduri dan hentakan bedug elektrik dari tanganmu yang melepaskan seribu ulat bulu
 
maka di sinilah, saat kita menemukan waktu bersembunyi dari balik laci, zaman melahirkan hiu dari tanah lalu melemparkannya ke atas sana dan menggetarkan bumi dari hatiku ke seluruh pertemuan
 
Surabaya, 2022
 

BAHASA DI BELAKANG KABUT BERDARAH
 
Bahasa di belakang kabut berdarah menapaki igauan memancarkan sepasang kucing yang bergerak dari rumah menuju rumah bertangga dari awan mendung melingkari kesedihan dan menjatuhkannya kepada air yang menutupi rawa-rawa peradaban juga lampu mercusuar hinggap sampai kota dan desa-desa memejamkan matanya pada kematian menginjaki kulit separuh sayap beterbangan lalu kepedihan mencari jalan dari sudut-sudut persimpangan yang tidak pernah ditemui siapa pun juga pohon-pohon tumbuh menjulang ke atas lalu ke samping ketika angin terbangun dari sayapnya yang menggelepar lepaslah bau angin sorga kepada mataku lalu hidungku lalu telingaku sesampainya tuhan merubah dirinya menjadi waktu yang bolong merobeki peradaban membuangnya menuju dunia yang lain tertanamlah  sebuah gedung-gedung dengan jendela juga pintu lahirlah manusia di sana tarian-tarian yang menggema masa kecilku tak mampu menahan panas matahari hingga terbakar tak menyisakan darah
 
Surabaya, 2022
 
 
 
======================
Adnan Guntur, kelahiran Pandeglang tahun 1999. Telah menyelesaikan studi di Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga. Aktif berkegiatan di Teater Gapus Surabaya, Bengkel Muda Surabaya, Wara-Wara Project, dan Sanggar Arek. Kumpulan Puisi Tunggalnya (Tubuh Mati Menyantap Dirinya Sendiri, Pagan Press) 2022.
 
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak