Elegi
Sebuah Kayu
Aku tidak
ingin tiada menjadi abu karena dibakar api, atau menjadi tanah, layu dimakan
waktu. Aku ingin menjadi sesuatu yang lebih dari saudaraku kebanyakan. Sebagai
sebuah kayu, terbakar atau lapuk sudah menjadi pilihan untuk tiada, menyempurnakan
hakikat sejati sebagai makhluk. Tetapi aku ingin setidaknya seperti salah satu
moyangku, tongkat Nabi Musa AS, yang diabadikan di museum, diziarahi anak Adam
dan Hawa, berteman dengan sejarah.
“Biarkan aku
terlepas dari takdir yang mengikat di antara kita,” kataku suatu hari pada api.
Saat itu aku tengah berdesak-desakan dengan kayu-kayu lain di dekat tomang,
terikat oleh seuntai tali dari rotan. Api menggeram mendengar perkataanku. Ia
memarahiku agar tidak menjadi perusak takdir.
Tapi aku bukanlah
aku jika tidak teguh memegang hal yang kuinginkan. Bukan tanpa alasan aku
meminta untuk diberikan kedudukan yang terhormat. Sebelum terikat di sini, dulu
aku juga pernah menyelamatkan seorang Presiden dari sabetan sabit Izrail di tangan
seorang kriminal. Saat itu, aku jatuh dari dahan sebuah pohon, keras menimpa
kepala si kriminal, membuatnya pingsan seketika. Selain itu, masih banyak lagi yang
telah kulakukan, namun tak bisa kusampaikan karena tiba-tiba lidahku menjadi
kelu, kesakitan dibakar api.
Sumenep, 2019
Lipstik
Aku menatap
suamiku yang tengah tertidur di sampingku dengan penuh curiga. Tadi, tak sengaja
kutemukan lipstik di tas kerjanya ketika aku sedang bersih-bersih rumah.
Bagiku, lipstick merupakan salah satu dari sekian banyak pertanda kehadiran
wanita lain dalam kehidupan seorang suami. Dalam hati aku bertanya-tanya,
‘jalang mana yang berani bermain-main denganku?’
Keesokan
harinya aku segera menanyakan perihal lipstik itu kepada suamiku. Ia tampak
gelagapan ketika ditanya tentang hal itu, membuat curigaku semakin bertambah
besar. Dengan gelagapan ia berkata bahwa lipstik itu sebenarnya hendak ia
berikan kepadaku, tapi ia lupa untuk memberikannya. Namun, aku bukan wanita
bodoh yang akan dengan mudah percaya, apalagi wajahnya menunjukkan bahwa ia
baru saja telah berbohong. Suamiku memang tidak pandai berbohong.
Hari ini aku
ada arisan di rumah temanku, membuatku terpaksa keluar rumah. Dengan
mengendarai mobil, aku membelah padatnya jalanan ibu kota. Ketika mobilku
berhenti di depan lampu merah, tak sengaja mataku menangkap sosok seorang banci
yang terasa begitu familier. Aku memicingkan mataku untuk melihat sosok itu
lebih jelas lagi. Sepersekian detik berikutnya, mataku membulat sempurna. Aku
terkejut bukan main. Di sana, di samping lampu merah seorang banci tampak
sedang bercengkerama dengan seorang preman jalanan, dan banci itu adalah
suamiku.
Sumenep,
2019