Di Arus Sungai
sungai membawamu mengarungi rindu.
kita hanya menjadi buluh di tepiannya.
sedangkan segala kisah menyusuri arus:
dendam, cinta, darah, dosa, menggumpal.
remuk, luka, bahagia, gusar, menggumpal.
menyusurinya tanpa batas, tanpa apa-apa
selain debar membiar pikir di sambar
waktu. Setelah itu berlabuh di sini:
pelukanmu.
Selatpanjang,
2022
Kopi Kenangan
yang hitam bukan kopi. namun debarmu yang menjauh.
segumpal rasa kita pendamkan di kelatnya. kau mengaduk
tanpa jeda, sedangkan malam makin pekat tanpa rasa.
yang hitam bukan kopi. namun murammu yang menghitam.
aku telah berusaha menjadi gula, namun kau mempahitkan
dengan segala remuk muka.
yang hitam bukan kopi. namun sakitmu ketika lebih parah
daripada migren biasa. kau menumpahkan dalam cangkir.
manis tak menjadi, tapi pahit makin membekas hati.
Selatpanjang,
2022
Denyut Kopi
segala denyut bermuara rindu
adalah debar kehidupan. aku meraba
nadimu, namun kau tanpa napas, tanpa
tanda kehidupan.
“aku hanya ingin kopi,” ucapmu melebihi
segala. sebab begitu syahdu kopimu
di resap dalam damai.
segala denyut menikam tanpa waktu.
menjadi ucap-ucap manis bermuara
di segala seduhnya dan melayang
bersama aroma.
Selatpanjang,
2022
Wajah Masa Lalu
cerita banyak tersimpan di wajah itu. aku membentang pikir
dengan terlebih dahulu membelah kepala. deburan kisah
terhempas meluluhkan tubuh. getar debar jantung atau pula
cerah riang bianglala.
setangkup ungkap lebih bersua dalam ucap daripada janji
dengan seribu kata-kata. pada wajah tersirat luka yang ketara.
tanda dusta yang kuat melekat.
pada wajahnya, embun jarang turun. panas menyengat
kata-kata segala janji masih tersimpan dalam mulut, segala
harap masih bersemayam dalam mata.
Selatpanjang,
2022
Seniman Tua
tergopoh ia berjalan, meski tak seberapa hasil
bertimbang di ruas garam. terhuyung ia berjalan
menyusuri debar, meski tak terkira mencapai
napas berapa.
sebatang kuas mengering. kanvas menggigil.
setelah tak ada lagi meminang. pena rapuh
pucat wajahnya. sejumlah kata enggan di
panggil. dawai putus dan tak lagi berniat
ganti. sejenak luka dikenang begitu rupa.
lemah lunglai ia berselimut pikir. letih dieja
segala huruf, warna, atau rupa-rupa. tanah
menyipit padanya, sedang hati limbung
untuk mencapai.
Selatpanjang,
2022
Gugur Daun
bertiup ke penjuru celah, bersayup ke urut paling gerah.
namun gugur jua sebagai hidup tanpa rupa.
kami telah lepas dari masa hijau. cokelat tua seperti tanah
basah dengan lambang diri di sini.
ketika menyentuh tanah, ketika pula rupa tinggal sejarah.
nama hanya lambang dari degup yang entah untuk dieja.
Selatpanjang,
2022
Janji
jalan yang dulu tak terbentuk itu kini luput di ingatan.
sejatinya kita mengeja selama apapun, sewaktu hinggap
ucapmu padaku.
di jalan itu yang kini teduh oleh pepohonan rindang,
tak pula mampu mengangkat kenanganmu. sepertinya
kita malas mengenang tanpa kuat oleh suatu sebab.
tanpa rasa yang menggebu-gebu.
Selatpanjang,
2022
Sepanjang Selat
sepanjang selat dari ujung tanjungsamak
menuju telukbelitung adalah ungkap yang
tertunda. sebab debur lautnya di musim
angin ini merajukkan sampan-sampan tua.
pada dermaga bantar, kita menumpahkan
cerita tentang gugusan benda-benda kasat
mata. lalu melumpuhkan luka-luka tanpa
henti.
menjerit adalah biasa, sebab nyerinya ke
segenap hati. sepanjang selat kita mengekori
mimpi. mencoba berlabuh di kudap atau
telukbelitung. di sana sunyi masih ada;
atau setidaknya, dengungnya.
Selatpanjang,
2022
Mencermati Luka
luka adalah garam. pedihnya sengit ketika
di luahkan sampai membekas pada ingatan.
ketika masa berlipat mengikuti arus, kita
memang tenggelam, namun memori berkedip
tanpa henti meluluhkan napas jam.
luka adalah bisa. pedihnya menggema tanpa
ampun. tanpa dapat dibayang untuk meluruskan
gugup masa lalu. meski jasad terbasuh hujan,
meski debar terhenti biar. namun bekas lekat
di urat napas.
Selatpanjang,
2022
Hujan yang
Berjalan
hujan pelan-pelan berjalan, lamban menyusuri kaca
kereta. ketika membelok, ia lepaskan
segala duka, menepi ke setiap jengkal letihmu.
hujan lamat-lamat melambat. bulirnya memecah bertabur
di kepala. sepanjang jalan, sepanjang pula ucap tertahan.
pada akhirnya hidup di kepala.
Selatpanjang,
2022
-----------------------------------------------
Riki
Utomi kelahiran Pekanbaru 1984. Buku cerpennya Mata Empat (2015), Sebuah Wajah di Roti Panggang (2017), Mata Kaca (2019), Anak-Anak
yang Berjalan Miring (2020). Buku esainya Menuju ke Arus Sastra (2017) dan Menjaring Kata Menyelam Makna (2021). Buku puisinya Amuk Selat (2020). Puisi-puisinya pernah
tersiar di Kompas, Koran Tempo, Media
Indonesia, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Indo Pos, Riau Pos, Tanjungpinang
Pos, Apajake, dll. Kini bekerja sebagai guru di sebuah sekolah menengah
atas dan bermukim di Selatpanjang, Riau.