
oleh Muhamad
Fajar Bastian
(Mahasiswa
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Ada
banyak tafsiran tentang apa itu gender, atau apa itu makna gender. Namun, semua
tafsir itu bertuju pada satu pemahaman bahwa gender adalah istilah untuk
membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan peran dalam struktur sosial
masyarakat. Pada gilirannya, konsep pembedaan gender menghasilkan ketidakadilan
gender yang harus diakui bahwa perempuan adalah pihak yang sering menjadi
korban dari ketidakadilan gender, meski tidak menutup kemungkinan bahwa
laki-laki pun sangat bisa menjadi pihak yang dikorbankan.
Tercatat
dalam sejarah bahwa al-Qur'an tidak turun seketika, melainkan melalui proses dan
waktu yang panjang yang sebagian besar al-Qur'an turun atas peristiwa sosial
khusus yang terjadi di bangsa Arab pada waktu itu. Dapat diartikan bahwa, al
Quran turun untuk merespons kondisi sosial yang terjadi di bangsa Arab kala itu.
Tidak terkecuali tentang ayat al-Qur'an yang membahas mengenai perempuan,
di antaranya berbicara mengenai poligami, warisan, saksi-saksi dan lain
sebagainya. Adalah tugas umat muslim saat ini untuk menjelaskan mengenai
ayat-ayat tersebut, sehingga permasalahan mengenai poligami, hak waris
saksi-saksi dan lain sebagainya.
1. Poligami
Perbincangan
seputar poligami biasanya berkisar pada tuntutan untuk menentukan sikap setuju
atau menolak. Dalam sikap setuju pun masih ada dua kemungkinan, biasanya ada
yang menyatakan setuju dan melakukan praktik poligami namun juga ada yang
setuju dengan poligami tapi tidak mempraktikkan poligami. Dalam QS. An Nur ayat
3;
“Dan jika kamu punya alasan takut kalau
kamu tidak bisa bertindak secara adil kepada anak-anak yatim, maka kawinilah
perempuan di antara mereka (yang lain) yang sah untuk kamu – (bahkan) dua, atau
tiga, atau empat. Tetapi jika punya alasan takut bahwa kamu tidak mampu
memperlakukan mereka secara adil maka (hanya) satu atau dua (dari antara
mereka) yang kamu miliki sepenuhnya (budak). Hal demikian akan lebih baik
bagimu agar kamu tidak bertindak secara adil.”
Amina Wadud mengomentari dan berkeyakinan
bahwa ayat di atas berbicara tentang perlakuan terhadap anak yatim, karena Islam
sangat menempatkan anak yatim pada kedudukan yang mulia.
Diketahui bahwa Nabi Muhammad saw. memang
beristri lebih dari empat. Namun banyak pendapat dan analisis yang mempelajari
praktik perilaku poligami Nabi. Banyak berkembang asumsi bahwa alasan Nabi
Muhammad beristri lebih dari empat adalah kecenderungan seksual yang tinggi,
namun rasanya agak berlebihan, karena masa pernikahannya yang pertama jauh
lebih lama dari masa poligami nabi, kemudian jika dilihat memang ada kondisi
tertentu yang mengharuskan Nabi Muhammad untuk melakukan poligami. Yaitu selain
menyantuni para janda perang, poligami juga dijadikan untuk menyatukan
golongan-golongan yang tercerai berai dan juga saling bermusuhan.
2.
Kekerasan pada Perempuan
Ayat al Quran yang bisa dijadikan sandaran
bagi laki-laki adalah ayat yang berbunyi “arrijaalu
qawwamuna ‘alan nisaa”. Secara harafiah, kata qawwam dapat diartikan dan dimaknai sebagai kata pemimpin, artinya
laki-laki sebagai pemimpin perempuan. Namun hal itu ditentang oleh para kaum
modernis dengan alasan bahwa jika ayat tersebut bermakna begitu maka berarti
menafikan potensi perempuan sebagai pemimpin, yang nyatanya banyak pemimpin
saat ini yang dipimpin oleh seorang perempuan. Sebagai contoh Gubernur Jawa Timur
saat ini, yaitu ibu Khofifah Indar Parawansa. Maka para mufassir modernis tidak
lagi memaknai qawwam sebagai
pemimpin, tapi lebih sebagai penjaga perempuan. Namun ternyata, makna penjaga
pun tidak sepenuhnya diterima, karena sering dijadikan sebagai dasar bagi
laki-laki untuk peminggiran hak perempuan, terutama ketika perempuan ingin
beraksi di khalayak umum.
3. Hak
Waris Perempuan
Dalam al Quran, Surah An Nisa ayat 11-12
menyebutkan bahwa “bagian (waris)
laki-laki sama dengan bagian dua wanita (saudara kandung)”. Keseluruhan
ayat tersebut menetapkan bagian waris baik bagi laki-laki dan perempuan sesuai
dengan posisi kekerabatan mereka. Pada masa pra-Islam, sebagian besar
masyarakat suku bangsa Arab tidak memasukkan pihak perempuan sebagai penerima
waris, bahwa jika seorang laki-laki beristri meninggal maka sang istri bisa
diwariskan pada siapa pun sesuai kehendak sang suami. Pada beberapa kasus yang
terjadi, ketika ada seorang laki-laki beristri meninggal dan mempunyai hutang,
bisa saja menjadikan istri sebagai syarat pelunasan hutang, karena kebiasaan
yang lazim pada saat itu adalah istri yang ditinggal mati suami diwariskan
kepada sang anak. Namun al Quran menghapus praktik yang demikian dan menawarkan
satu konsep yang lebih manusiawi, yakni perempuan akan tetap mendapatkan waris
(meski) separuh bagian dari laki-laki. Pada dasarnya al Quran memang lebih
sering berbicara dalam garis besar, tanpa masuk dalam detail-detailnya. Tuhan
seolah-olah memberikan ruang luas bagi manusia untuk berimprovisasi, memahami
dan memaknai kalam-kalam Tuhan yang tersembunyi. Dalam hal ini akan menjadi
wilayah para mufassir.
4.
Cadar
Cadar adalah kain yang digunakan untuk
menutup sebagian besar wilayah muka. Isu cadar menjadi isu hangat
diperbincangkan, baik di kalangan para muslim dan non muslim. Sebagian muslimah
memakai cadar atas dasar suka rela, sebagian lainnya karena beberapa faktor
eksternal, dan sebagian lainnya lebih memilih tidak memakai cadar karena
menganggap cadar bukan bagian dari perintah agama. Menariknya, bagi kalangan
Barat, cadar dianggap sebagai pemenjaraan perempuan. Survei yang dilakukan di
Amerika, dikutip pada John L. Esposito, menyebutkan lebih dari 90% responden
menganggap bahwa pemakaian cadar sebagai praktik yang aneh.
Di negara-negara Islam, seperti Arab Saudi
dan Iran, perempuan dewasa diwajibkan memakai cadar ketika berada di ruang
publik. Ketika ada perempuan dewasa yang tidak menggunakan cadar di ruang
publik bisa berakibat pada hukuman yang berat, karena hal tersebut merupakan
peraturan resmi dari pemerintah. Maka pemakaian cadar di kalangan perempuan
negara-negara Islam tidak lagi mutlak dalam konteks menutup aurat. Berbeda
dengan negara muslim di Asia Tenggara seperti Indonesia. Di Indonesia, pada
beberapa kasus, cukup lumrah ditemui seorang perempuan berkiprah di ruang
publik. Maka tidak mengherankan jika cadar menjadi hal yang kurang familier bagi
perempuan muslim Indonesia, meskipun tetap ada yang menggunakannya walaupun
sedikit.
Di Arab Saudi, Iran dan negara Islam lainnya,
aturan pemakaian cadar berdasar pada al Quran Surat An Nur ayat 31;
“Dan katakanlah kepada perempuan yang
beriman bahwa mereka harus menahan pandangannya dan mengendalikan nafsu
seksualnya, dan janganlah mereka menampakkan dandanannya, kecuali yang biasa
tampak darinya. Dan biarkanlah mereka memakai kain penutup hingga menutupi
dadanya dan janganlah mereka menampakkan dandanannya kecuali pada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau
anak-anak dari saudara perempuan mereka, atau perempuan mereka, atau
budak-budak mereka, atau pelayan laki-laki yang tidak punya keinginan, atau
anak-anak yang tidak mengerti aurat perempuan. Dan jangan biarkan mereka
memukulkan kakinya sehingga perhiasan yang mereka sembunyikan diketahui. Dan bertobatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.”
Tidak hanya kalangan mufassir,
sahabat-sahabat Nabi pun memahami ayat di atas secara beragam. Bagian yang
paling menuai kontroversi adalah “apa
yang nampak darinya”, beberapa sahabat berpendapat bahwa hanya pakaian luar
saja yang boleh diperlihatkan, sisanya harus tetap ditutup. Namun sebagian
sahabat lain berpendapat perempuan boleh memperlihatkan muka dan cincin jari
tangan. Pendapat lain menyebutkan selain muka, perempuan boleh memperlihatkan
kedua telapak tangan.
Penutup
Semua agama memiliki sejarah kelam mengenai
penindasan terhadap perempuan. Namun Islam adalah agama yang memiliki komitmen
untuk mengangkat derajat perempuan. Pada abad ke 7M misalnya, Islam sudah
memulai reformasi sosial besar-besaran dan dengan waktu singkat berhasil
menunjukkan prestasi yang luar biasa. Kedatangan Islam menggeser sistem sosial
masyarakat Arab Pra Islam yang tidak mengindahkan hak dan kedudukan perempuan.
Islam bersemangat dihentikannya penguburan bayi hidup-hidup, kemudian
mengantarkan perempuan sampai kedudukan yang terhormat, yang kemudian memiliki
hak waris, memiliki hak pilih dalam memilih suami, dan keistimewaan yang lain
yang tidak mungkin di dapat pada era pra-Islam.
Akhir-akhir ini, kampanye kesetaraan gender
dalam dunia Islam menampakkan hasil yang baik. Sebagian besar negara muslim
saat ini mengalami kemajuan dalam hal
pemenuhan hak-hak perempuan, meskipun tidak sepenuhnya. Di Indonesia, muncul
para pemikir seperti KH. Husein Muhammad, Siti Musdah dll., yang merupakan
angin segar bagi kesetaraan gender. Tak lain, dibentuknya Kementerian Perempuan
pun sebagai bukti bahwa negara mendukung dan memiliki komitmen untuk ikut andil
dalam memberdayakan hak-hak para perempuan.