Cerpen Muhtadi.ZL | Lelaki Pecinta Puisi - Suara Krajan

Cerpen Muhtadi.ZL

Lelaki Pecinta Puisi
Setiap kali begadang, pikiran laki-laki itu terbang mengawang-awang, melompat dari bintang ke bintang, lalu hinggap di bulan bersama harapan jika puisinya selesai ia garap, akan ia baca di depan teman-teman dan orang tersayang. Terkadang sempat terbesit dalam benaknya, “Kenapa aku begitu mencintai puisi? Bukankah puisi rangkaian ungkapan hati? Lalu, kenapa aku sampai segila ini mencintai puisi?” Pertanyaan-pertanyaan itu kerap kali bertandang tatkala ia hendak tidur, bahkan tak jarang pula sambil termenung, di kamar kos, emperan kos, di halaman kampus dan parkiran kampus. Pengakuannya, laki-laki itu pernah dipergoki teman kelasnya termenung di bawah lampu merah dengan buku catatan di pangkuannya.

Menurut kabar yang beredar, ia melakukan hal itu agar tak ada orang yang tahu bahwa dirinya ingin menjamah tubuh puisi dengan segumpal nafsu. Bahkan teman perempuannya, pernah melihat dirinya di bawah pohon asam dan di sekitar terdapat kerta-kertas bertuliskan puisi-puisi setengah jadi.

Perawakan laki-laki-itu biasa saja, tak ada yang bisa ia tonjolkan dari rupanya. Rambutnya gondrong, kedua pipinya tembam. Menurut teman karibnya, laki-laki itu telah lama mencintai puisi, kira-kira 3 tahun yang lalu, semasih ia duduk di kelas dua SMA. Cukup lama jika dihitung mundur dari hari ini.

Kebiasaannya sangat mudah untuk ditebak. Benar. Sewaktu kuliah, laki-laki itu sering berada di perpustakaan kampus. Di sana ia akan mencari buku kumpulan puisi entah karangan siapa saja. Bila ada dosen yang masuk ke ruangannya, cepat-cepat ia akan menuliskan sesuatu di cover belakang bagian dalamnya. Aku mencintai puisi, tolong sampaikan cintaku padanya? Tulisnya dengan tinta merah cerah.

Banyak temannya yang dibuat heran dengan sikapnya.

“Mengapa kamu senang menyendiri?” Tanya Dian yang satu jurusan dengannya.

“Siapa? Aku maksudmu? Ha..ha..ha. aku tak pernah merasa sendiri,” dengan gestur tubuh rileks ia menjawab.

“Iyalah, buktinya ketika kamu di parkiran, dan di taman kampus, bahkan di perpustakaan kampus, aku lebih sering melihatmu sendiri dan anehnya kau sampai tertawa sendiri, kayak orang gila gitu, maaf,” beribu tanya masih menggantung dalam tempurung kepala Dian.

Laki-laki itu tertawa semakin jadi, membuat Dian semakin heran dan ingin banyak bertanya.

“Itu sebabnya, kau tidak pernah menyendiri,” jawabnya enteng.

Dian pergi dengan perasaan yang masih bingung, karena tidak mau berlarut-larut dalam kegilaan yang ia cipta sendiri. Laki-laki itu hanya mengangguk, sambil tersenyum simpul. Menyaksikan hilangnya tubuh Dian di telan kejauhan.

“Aku begini, karena aku mencintai puisi,” ucapnya pelan. Laki-laki itu berharap Dian bisa menyampaikan cintanya pada puisi seperti cintanya pada seorang perempuan yang belum tersampaikan.

Berita kegilaannya tersiar semakin luas, seantero kampus mengetahui, termasuk dosen dan rektornya. Tapi tetap saja, kegilaannya banyak yang mengundang tanya karena tidak sesuai dengan sikap kesehariannya.

“Dia kenapa, kok bisa seperti itu?”

“Katanya dia mencintai puisi,” sergah perempuan berparas cantik.

“Siapa puisi itu?” Celetuk seorang perempuan di belakangnya.

“Aku tidak tahu.”

Kerap kali cemooh menghujani kesehariannya. Laki-laki itu tak pernah menggubrisnya, ia tetap dengan prinsip hidupnya—ingin bahagia dengan puisi. Karena ia sadar di tempat yang baru ia singgahi, mungkin tak pernah mempelajari puisi. Barangkali dari hal itu, ia sadar meski dicemooh, ia tidak merasa apa-apa. Bahkan, laki-laki itu ingin memperkenalkan puisi pada orang-orang sekitarnya. Dan meyakinkan, bahwa puisi ekspresi paling murni.

Sebelum ia ngampus, laki-laki itu pernah membaca puisi orang-orang dari tempat yang ia singgahi sekarang. Itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Ia yakin di daerah yang ia tempati adalah tempat di mana para penyair-penyair terkemuka berada. Konon, orang-orang di daerah itu pernah mengidap insomnia terbanyak dari daerah lain. Karena para penyair di daerah itu tidak pernah tidur semalam suntuk demi menggarap puisi.

Seiring berjalannya waktu, satu-dua penyair-penyair di daerah itu banyak yang menghadap Sang Kholik. Menurut dokter yang menangani, yang beritanya terpajang di koran-koran, penyair-penyair itu mati karena kurang tidur, sehingga membuat tubuh lemas dan kurang asupan gizi, karena setiap begadang, mereka hanya meminum kopi dan kretek.

Setelah kejadian itu, para orang tua melarang anak-anaknya menulis puisi, takut-takut kematian ada dimana-mana. Dan puisi dilupakan begitu saja, nyaris serupa meludah ke mana-mana.

Setelah kesepakatan itu ditetapkan. Orang-orang di daerah itu tidak menulis puisi lagi. Secara perlahan orang-orang melupakan puisi. Semua buku antologi, catatan harian, dan kertas-kertas yang bertuliskan puisi dibumihanguskan agar cucu atau anak dari mereka, kelak, tidak jatuh di lubang yang sama. Dan di saat itu pula, daerah itu menjadi hilang dari koran-koran, majalah dan. Sehingga pelan daerah itu tak dikenal oleh khalayak lagi. Lelaki itu ingin menghadirkan kembali budaya menulis puisi itu.

Namun setelah masa itu lama tertelan, orang-orang yang hidup di masa sekarang tak ada yang mengenal prosa. Laki-laki itu sering kali bertanya pada teman kampusnya. Dan hampir dari semua teman yang ia tanyakan, satu-dua yang bisa menjawab dengan benar, itu pun karena mereka berasal dari luar daerah, sama seperti dirinya.

“Kamu tahu prosa?” Tanya laki-laki itu sambil membayangkan perempuan yang ia taksir ketika cangkruk-an di taman kampus.

“Siapa itu?” Lawan bicaranya menyanggah cepat.

“Benar kamu tidak tahu prosa?” Sekali lagi laki-laki itu bertanya dan memantapkan imajinasinya mewujudkan tubuh puisi dalam bentuk perempuan.

“Tidak, aku benar-benar tidak tahu, yang aku tahu Rosa, penyanyi itu.” Laki-laki itu tersenyum geli, dalam banyaknya ia ingin sekali mencerca dengan pertanyaan yang sama, namun karena ia kasihan, ia diam menikmati dengan nyinyir sendiri.

“Kamu mau membantuku mencintai puisi?” Tanya laki-laki itu memecah keheningan berharap lawan bicara bisa membantunya mencintai perempuan tanpa perantara.

“Siapa dia, pacar kamu?”

“Iya, dia pacarku, wajahnya cantik, rupanya elok dipandang. Kamu mau?” Bujuk laki-laki itu dengan pemanis kata yang ia rangkai. Ia pun tersenyum ketika berucap manis yang seketika itu juga ia teringan pada senyum perempuan ia idamkan.

“Iya, aku mau,” jawabnya sambil mengangguk. Laki-laki itu tersenyum bangga.

“Nanti jam sepuluh malam datangi aku di taman ini,” ajaknya sambil menunjukkan lokasi di layar kaca hp-nya. Lagi-lagi lawan bicaranya mengangguk mantap. Kembali laki-laki itu pasang senyum.

“Sukses!” Batinnya. Laki-laki itu mengandaikan, seandainya ia bisa mempraktikkan pada perempuan yang ia cinta. Betapa bahagia hidupnya menjadi penyair, meski itu bukan tujuan dari ia menulis puisi.

Waktu terus berjalan, laki-laki itu tak henti-henti membujuk teman kampusnya.

Saat malam bertandang, laki-laki itu sudah menunggu di tempat yang telah ia canangkan. Tak lama teman kampusnya yang ia ajak, satu-dua berdatangan. Ia telah menyiapkan kopi dan kereteknya, agar ketika ia menjalankan rutinitasnya tidak kaku dan lebih santai.

“Mana puisi yang akan kau tontonkan?” Tanya temannya yang risi karena tak ada wanita satu pun di dekatnya.

“Tunggu dulu, nanti akan aku tunjukkan,” laki-laki itu mencoba meredam amarah yang sontak memantik dalam diri temannya. Dan ia tidak mau puisi berwujud perempuan dalam angannya hilang.

Malam semakin gulita. Desir angin begitu pelan. Hawa mengajak kulit untuk segera mendekap pada benda-benda hangat. Kopi yang terhidang pelan mendingin. Kepul kretek semakin membubung ke cakrawala, membujuk harapan agar menyelimuti tempurung kepala mereka.

Laki-laki itu mengambil buku antologi puisi dari dalam tas. Teman kampusnya tercengang ketika melihat nama puisi yang tertera.

“Itu apa?” Sontak pertanyaan itu terlontar dari mulut teman kampusnya.

“Ini puisi,” ucapnya sambil tersenyum.

Kauminta aku menulis cinta
Aku tak tahu huruf apa yang pertama dan seterusnya
Kubolak-balik seluruh abjad
Kata-kata yang cacat yang kudapat
Jangan lagi minta aku menulis cinta
Huruf-hurufku, kau tahu,
bahkan tak cukup untuk namamu
Sebab cinta adalah kau, yang tak mampu kusebut
Kecuali dengan denyut [1]

Semua temanya tercengang ketika ia membaca puisi. Ia berhasil mengajak teman-temannya mencintai puisi. Dengan begitu bukan hanya ia saja yang mencintai puisi di malam itu.

Mulai malam itu, semua temannya menulis puisi. Banyak kertas yang tercecer di sekitar mereka.  Di trotoar, di jalan, di koridor kampus dan di halaman gedung rektorat.

Semua orang yang ada di kampusnya tercengang. Bertanya-tanya siapa yang membuat ulah membuang remukan kertas-kertas. Terlalu kumuh untuk seukuran kampus yang biasanya bersih karena penghuninya bukan lagi anak sekolah dasar..
 
Keesokan harinya, teman yang ikut begadang dengannya bersikap tidak seperti biasanya. Banyak yang heran dengan fenomena itu, dan tak ada yang tahu mereka semalam suntuk melakukan apa.
 
“Kenapa dengan mereka?” Tanya Dian yang tiba-tiba ada di sampingnya.
 
“Mereka sama sepertiku, mencintai puisi.” Tatapannya tajam mengarah ke raut wajahnya.
 
“Siapa puisi itu?” Sergah Dian.
 
“Dia itu semacam prosa,” jelasnya tak mengalihkan padang.
 
“Memangnya mereka kenal dengan Rosa?” Celetuknya kemudian.
 
Laki-laki itu tersenyum. Dalam hati ingin sekali ia mengatakan bahwa puisi itu dirinya. Dengan begitu Dian tahu kalau puisi adalah ungkapan hati yang ia pendam padanya.
 
Annuqayah Lubangsa, 2019-2022 M



[1] Puisi Sitok Srengenge “Menulis Cinta”


Muhtadi.ZL kelahiran Gedangan, Sukogidri, Ledekombo, Jember, Jawa Timur pada 29 September 2000. Kini, menjadi santri Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa Guluk-Guluk, Sumenep Jawa Timur sedang menyelesaikan Studi Hukum Ekonomi Syari’ah di Institut Ilmu Keislaman (INSTIKA) Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Tulisannya berupa, esai, resensi, dan cerpen yang termuat di pelbagai media offline dan online. Aktif di Komunitas Nulis (KCN)-Lubsel, Komunitas Penulis Kreatif (KPK)-Iksaj, Lesehan Pojok Sastra (LPS)-Lubangsa. Bisa berkomunikasi lewat Email: azzamdy09@gmail.com dan No. WA: 0822323306220.


Foto oleh uncoveredlens: pexels.com 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak