Cerpen Mochamad Bayu Ari Sasmita | Membakar Sampah - Suara Krajan

Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada membakar sampah.

Setiap sore, sekitar pukul empat, aku akan mengangkat tong sampah yang telah terisi penuh oleh sampah rumah tangga selama sehari itu ke pekarangan belakang rumah dan mulai membakarnya. Sampah-sampah itu terdiri atas sampah organik dan nonorganik, tidak ada pemisahan. Kulemparkan isi tong sampah itu ke sebuah lubang yang tidak terlalu dalam yang telah ada di sana sejak berpuluh-puluh tahun lalu—menurut yang kudengar, kakeklah yang menggali lubang itu ketika dia masih muda dan belum menikah. Ketika semuanya sudah tertuang ke dalam lubang itu, kutuangkan sedikit spiritus pada sampah-sampah yang kering kemudian kusulut dengan korek api kayu. Sampah terbakar, asap membumbung ke langit. Sampah-sampah plastik mulai menyusut, sampah-sampah organik terbakar hingga hangus. Pembakaran itu menimbulkan aroma yang tidak sedap. Tapi, tidak akan ada yang memprotesku karena semua orang melakukan hal yang sama. Pada dasarnya, kami saling menyerang satu sama lain seperti sebuah pertandingan sepak bola antara dua tim yang sama kuat dan sama-sama bermain terbuka, mereka akan saling bertukar serangan terus-menerus sampai peluit akhir dibunyikan.

Aku tidak pernah segera kembali ke rumah sebelum sampah-sampah itu habis terbakar dan api sudah padam sama sekali, atau minimal hanya tersisa sedikit bara yang menyala. Aku senang mengamati sampah-sampah itu hangus, hancur secara perlahan, dan kemudian menjadi satu dengan tanah. Terkadang aku memikirkan orang-orang yang hangus dalam peristiwa kebakaran atau para penyihir di abad pertengahan yang harus menemui ajalnya dalam kobaran api. Mereka mungkin meraung-raung minta tolong, entah kepada manusia atau kepada Tuhan; mungkin mereka juga mengutuk Tuhan karena tidak menolongnya padahal sepanjang hidupnya dia selalu mengabdi kepada-Nya. Tapi, barangkali karena hal itu sudah ditakdirkan kepada mereka, bantuan itu tidak pernah datang. Terkadang aku ingin menangis ketika memikirkan betapa menderitanya mereka yang terbakar, tapi aku juga dipenuhi oleh rasa penasaran. Rasa penasaran itu rupanya lebih besar dari rasa kasihan yang kumiliki.

___

Teman-temanku menganggapku sebagai seorang piromania. Hal itu terjadi ketika mereka bertanya kepadaku tentang hal yang kusukai. Kukatakan kepada mereka bahwa aku menyukai rutinitasku setiap sore, yakni membakar sampah.

“Kau piromania sialan,” kata mereka sambil tertawa terbahak-bahak.

Aku tahu, mereka hanya bercanda mengatakan hal itu dan aku yakin bahwa aku baik-baik saja dan tidak memiliki gangguan psikologis sama sekali, apa pun itu. Lagi pula, aku hanya suka membakar sampah, bukan suka menyalakan api dengan sering di sembarang tempat. Aku juga tidak pernah membakar buku-buku. Bahkan jika buku-buku itu begitu buruk.

“Aku akan mengajakmu ke seorang psikolog kenalanku,” kata mereka sambil tertawa.

Aku menyukai teman-temanku. Kami semua, setelah lulus, selalu mengadakan sebuah pertemuan di akhir tahun—meskipun tetap ada satu dua orang yang tidak bisa karena satu dua hal. Tempat pertemuan selalu berubah. Tapi, kami sepakat bahwa hanya yang sudah menikah saja yang akan menjadi tuan rumah. Aku sudah lupa alasan yang mendasari hal itu. Aku juga diuntungkan karena tidak harus menyiapkan tempat. Mungkin aku akan merasa begitu malu bahwa di usia yang hampir menyentuh angka tiga puluh masih tinggal bersama kedua orang tuaku, meskipun secara finansial aku sudah mandiri dengan hasil menulis novel-novel remaja.

“Lihat, Tuan Piromania sudah tiba,” kata mereka begitu aku tiba di lokasi pertemuan. Aku membawa beberapa kotak kue untuk dinikmati sambil menunggu pergantian tahun, sambil menyimak suara mercon yang ditolakkan ke langit.

“Aku membaca bukumu,” kata salah satu yang begitu akrab denganku sejak SMA. “Sebenarnya, putriku yang membelinya. Dia benar-benar tergila-gila dengan tokoh-tokoh yang kau ciptakan. Mereka semua terasing dan sendirian, tapi tak satu pun yang kesepian. Semacam itu. Begitulah yang kudengar darinya.”

“Terima kasih banyak.”

“Kau pasti tidak keberatan kalau memberikan sebuah tanda tangan untuknya, bukan? Dia penggemar beratmu.”

“Datang saja ke rumah,” kataku.

Kami kemudian bersulang. Beberapa dari mereka minum bir kalengan yang konon nol alkohol. Tapi, aku lebih suka minum soda daripada yang lain. Soda memang tidak baik bagi tubuh: minuman yang mengandung soda akan menimbulkan obesitas dan, dari sana, muncullah penyakit degeneratif (penyakit jantung koroner, diabetes melitus, penyakit ginjal, dan sebagainya). Meski mengetahui semua itu, meskipun tidak dengan baik, aku tetap meminumnya. Barangkali, ini sebuah ironi dalam kehidupanku.

“Kau tidak perlu khawatir. Ini tidak mengandung alkohol,” kata mereka.

Aku menggeleng sambil tersenyum. Yang menawariku adalah orang yang paling menyebalkan ketika di SMA. Dia adalah orang yang seolah-olah berkuasa, kudengar dia akan maju ke pemilihan kepala desa berikutnya. Aku tidak tahu apakah dia sanggup atau tidak mengemban amanat semacam itu.

Suasana pertemuan itu semakin riuh ketika jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Dua jam lagi sampai tahun berganti, setidaknya di tempat ini. Kami semua mengadakan sesi karaoke, beberapa orang yang lain main kartu dengan sedikit taruhan, dan beberapa orang yang lain coba berbicara tentang satu dua hal: masalah kehidupan, problem masa depan bumi, sampai menggosip tentang perempuan ini dan lelaki itu. Aku termasuk yang terakhir.

Aku duduk di sudut ruangan bersama seorang perempuan yang kini telah menjanda. Terlalu muda untuk menjadi janda, tapi kita tidak pernah tahu yang akan terjadi di masa depan. Aku menyukainya sejak lama, mungkin sampai sekarang. Dia tampak seperti dulu, kemudaannya seolah-olah tidak hilang sedikit pun. Dia seolah-olah telah dikutuk oleh seorang penyihir jahat agar tetap muda dan dengan demikian akan terus digoda oleh banyak lelaki di luar sana.

“Bagaimana kabarmu, Maruta?” tanyanya tanpa menoleh ke arahku, pandangannya lurus ke depan, ke arah keramaian yang terjadi di antara teman-teman kami yang mengadakan karaoke.

“Lebih baik dari biasanya.”

“Syukurlah.”

“Mereka tampak menikmatinya. Setiap tahun kemeriahannya selalu bertambah.”

“Apa kau benar-benar serius dengan membakar sampah itu?”

“Ya. Ada suatu kesenangan ketika melakukannya. Mungkin itu hal yang buruk untuk lingkungan, tapi semua orang di desaku melakukannya.”

“Itu terdengar sedikit aneh, kautahu.”

“Aku tidak keberatan disebut aneh.”

“Bukan seperti itu maksudku.”

“Lalu?”

“Mungkin sebaiknya kau berhenti membakar sampah dan membuangnya ke tempat pembuangan akhir. Memilah sampah berdasarkan kategorinya dan mendaur ulang sampah-sampah yang masih dapat didaur ulang.”

“Tidak ada petugas yang mengambil sampah dan aku tidak memiliki keahlian semacam menjadikan sampah barang bernilai jual atau semacamnya.”

“Kau bisa belajar dari awal, bukan?”

“Bisa kita bicara yang lain?”

Sejak dulu dia perempuan yang cukup suka menentang ini dan itu. Barangkali itulah yang membuatku tertarik kepadanya. Tapi, rasanya menyebalkan ketika dia mulai mengkritikku. Rasanya sama ketika ada yang menulis ulasan yang begitu tajam untuk salah satu novelku: tentang latar tempat yang tidak nyata, tindakan ganjil para tokohnya, dan sebagainya.

___

Kami membuyarkan diri setelah menghitung mundur. Karena sudah begitu malam, perempuan itu membonceng kepadaku. Aku tidak keberatan dengan hal itu dan segera mengantarkannya pulang. Selama perjalanan, kami tidak berbicara sama sekali. Tapi, begitu sampai di rumahnya, kami berbicara sebentar.

“Membakar sampah bisa menajamkan emosimu. Maksudku, kau bisa berpikir bahwa menyakiti orang merupakan suatu hal yang buruk, bahkan paling buruk. Kau bisa menganggap sampah-sampah yang terbakar itu sebagai manusia berdarah daging. Ketika kau melakukannya, kau akan sanggup mendengar teriakan kesakitan mereka, teriakan minta tolong, dan teriakan kemarahan.”

“Kau tidak harus belajar hal semacam itu dari membakar sampah, tapi membakar sampah bisa menjadi salah satu sumber pengetahuan juga.”

“Aku akan menyelesaikan sebuah novel lagi dalam waktu dekat.”

“Aku menantikannya.”

“Mau pergi ke suatu tempat? Aku yakin masih ada satu dua tempat yang akan buka sampai pagi di hari ini.”

“Boleh.”

Dia naik lagi dan kami pergi ke sebuah tempat. Di jalanan, sisa-sisa perayaan pergantian tahun masih hangat. Banyak orang yang masih berlalu lalang, mercon-mercon juga masih dilontarkan ke langit, suara terompet yang ditiup anak-anak kecil, dan seterusnya. Jika alien benar-benar ada, apa yang kira-kira mereka pikirkan ketika melihat makhluk bumi merayakan bumi yang berhasil mengitari matahari sekali lagi?

___

Membakar sampah itu kegiatan yang menyenangkan, setidaknya bagiku. Aku belajar banyak hal dari kegiatan itu. Bahkan, aku bisa mendapatkan satu dua inspirasi untuk tulisanku. Api kecil yang perlahan membesar, asap yang membumbung ke langit, dan sampah yang menyusut dan hangus, semua itu menarik untuk dicermati dengan setiap indra yang kita miliki. Di hadapanku sekarang, sebuah surat kabar lokal menampilkan sebuah foto jasad yang hangus terbakar di halaman pertama. Sulit untuk mengidentifikasi jenazah itu, apalagi tidak ditemukan tanda pengenal di sekitarnya. Satu hal yang bisa dipastikan, dia dibakar hidup-hidup. Berita yang mencengangkan di awal tahun.

31 Desember 2021—6 Juni 2022



===========================
Mochamad Bayu Ari Sasmita. Lahir di Mojokerto pada HUT RI Ke-53. Penggemar layar kaca Liverpool FC yang senang menulis cerpen. Cerpen-cerpennya pernah tayang di koran lokal dan media daring. Lebih senang tinggal di kabupaten Mojokerto, Jawa Timur setelah lulus kuliah di Malang. Dapat dihubungi di instagram @sasmita.maruta.


Foto oleh moein moradi / pexels

Kirim karya: suarakrajan@gmail.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak