Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada membakar sampah.
Setiap
sore, sekitar pukul empat, aku akan mengangkat tong sampah yang telah terisi
penuh oleh sampah rumah tangga selama sehari itu ke pekarangan belakang rumah
dan mulai membakarnya. Sampah-sampah itu terdiri atas sampah organik dan
nonorganik, tidak ada pemisahan. Kulemparkan isi tong sampah itu ke sebuah
lubang yang tidak terlalu dalam yang telah ada di sana sejak berpuluh-puluh
tahun lalu—menurut yang kudengar, kakeklah yang menggali lubang itu ketika dia
masih muda dan belum menikah. Ketika semuanya sudah tertuang ke dalam lubang
itu, kutuangkan sedikit spiritus pada sampah-sampah yang kering kemudian
kusulut dengan korek api kayu. Sampah terbakar, asap membumbung ke langit.
Sampah-sampah plastik mulai menyusut, sampah-sampah organik terbakar hingga
hangus. Pembakaran itu menimbulkan aroma yang tidak sedap. Tapi, tidak akan ada
yang memprotesku karena semua orang melakukan hal yang sama. Pada dasarnya,
kami saling menyerang satu sama lain seperti sebuah pertandingan sepak bola
antara dua tim yang sama kuat dan sama-sama bermain terbuka, mereka akan saling
bertukar serangan terus-menerus sampai peluit akhir dibunyikan.
Aku
tidak pernah segera kembali ke rumah sebelum sampah-sampah itu habis terbakar
dan api sudah padam sama sekali, atau minimal hanya tersisa sedikit bara yang
menyala. Aku senang mengamati sampah-sampah itu hangus, hancur secara perlahan,
dan kemudian menjadi satu dengan tanah. Terkadang aku memikirkan orang-orang
yang hangus dalam peristiwa kebakaran atau para penyihir di abad pertengahan
yang harus menemui ajalnya dalam kobaran api. Mereka mungkin meraung-raung
minta tolong, entah kepada manusia atau kepada Tuhan; mungkin mereka juga
mengutuk Tuhan karena tidak menolongnya padahal sepanjang hidupnya dia selalu
mengabdi kepada-Nya. Tapi, barangkali karena hal itu sudah ditakdirkan kepada
mereka, bantuan itu tidak pernah datang. Terkadang aku ingin menangis ketika
memikirkan betapa menderitanya mereka yang terbakar, tapi aku juga dipenuhi
oleh rasa penasaran. Rasa penasaran itu rupanya lebih besar dari rasa kasihan
yang kumiliki.
___
Teman-temanku
menganggapku sebagai seorang piromania. Hal itu terjadi ketika mereka bertanya
kepadaku tentang hal yang kusukai. Kukatakan kepada mereka bahwa aku menyukai
rutinitasku setiap sore, yakni membakar sampah.
“Kau
piromania sialan,” kata mereka sambil tertawa terbahak-bahak.
Aku
tahu, mereka hanya bercanda mengatakan hal itu dan aku yakin bahwa aku
baik-baik saja dan tidak memiliki gangguan psikologis sama sekali, apa pun itu.
Lagi pula, aku hanya suka membakar sampah, bukan suka menyalakan api dengan
sering di sembarang tempat. Aku juga tidak pernah membakar buku-buku. Bahkan
jika buku-buku itu begitu buruk.
“Aku
akan mengajakmu ke seorang psikolog kenalanku,” kata mereka sambil tertawa.
Aku
menyukai teman-temanku. Kami semua, setelah lulus, selalu mengadakan sebuah
pertemuan di akhir tahun—meskipun tetap ada satu dua orang yang tidak bisa
karena satu dua hal. Tempat pertemuan selalu berubah. Tapi, kami sepakat bahwa
hanya yang sudah menikah saja yang akan menjadi tuan rumah. Aku sudah lupa alasan
yang mendasari hal itu. Aku juga diuntungkan karena tidak harus menyiapkan
tempat. Mungkin aku akan merasa begitu malu bahwa di usia yang hampir menyentuh
angka tiga puluh masih tinggal bersama kedua orang tuaku, meskipun secara
finansial aku sudah mandiri dengan hasil menulis novel-novel remaja.
“Lihat,
Tuan Piromania sudah tiba,” kata mereka begitu aku tiba di lokasi pertemuan.
Aku membawa beberapa kotak kue untuk dinikmati sambil menunggu pergantian
tahun, sambil menyimak suara mercon yang ditolakkan ke langit.
“Aku
membaca bukumu,” kata salah satu yang begitu akrab denganku sejak SMA.
“Sebenarnya, putriku yang membelinya. Dia benar-benar tergila-gila dengan
tokoh-tokoh yang kau ciptakan. Mereka semua terasing dan sendirian, tapi tak
satu pun yang kesepian. Semacam itu. Begitulah yang kudengar darinya.”
“Terima
kasih banyak.”
“Kau
pasti tidak keberatan kalau memberikan sebuah tanda tangan untuknya, bukan? Dia
penggemar beratmu.”
“Datang
saja ke rumah,” kataku.
Kami
kemudian bersulang. Beberapa dari mereka minum bir kalengan yang konon nol
alkohol. Tapi, aku lebih suka minum soda daripada yang lain. Soda memang tidak
baik bagi tubuh: minuman yang mengandung soda akan menimbulkan obesitas dan,
dari sana, muncullah penyakit degeneratif (penyakit jantung koroner, diabetes
melitus, penyakit ginjal, dan sebagainya). Meski mengetahui semua itu, meskipun
tidak dengan baik, aku tetap meminumnya. Barangkali, ini sebuah ironi dalam
kehidupanku.
“Kau
tidak perlu khawatir. Ini tidak mengandung alkohol,” kata mereka.
Aku
menggeleng sambil tersenyum. Yang menawariku adalah orang yang paling
menyebalkan ketika di SMA. Dia adalah orang yang seolah-olah berkuasa, kudengar
dia akan maju ke pemilihan kepala desa berikutnya. Aku tidak tahu apakah dia
sanggup atau tidak mengemban amanat semacam itu.
Suasana
pertemuan itu semakin riuh ketika jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam.
Dua jam lagi sampai tahun berganti, setidaknya di tempat ini. Kami semua
mengadakan sesi karaoke, beberapa orang yang lain main kartu dengan sedikit
taruhan, dan beberapa orang yang lain coba berbicara tentang satu dua hal:
masalah kehidupan, problem masa depan bumi, sampai menggosip tentang perempuan
ini dan lelaki itu. Aku termasuk yang terakhir.
Aku
duduk di sudut ruangan bersama seorang perempuan yang kini telah menjanda.
Terlalu muda untuk menjadi janda, tapi kita tidak pernah tahu yang akan terjadi
di masa depan. Aku menyukainya sejak lama, mungkin sampai sekarang. Dia tampak
seperti dulu, kemudaannya seolah-olah tidak hilang sedikit pun. Dia seolah-olah
telah dikutuk oleh seorang penyihir jahat agar tetap muda dan dengan demikian
akan terus digoda oleh banyak lelaki di luar sana.
“Bagaimana
kabarmu, Maruta?” tanyanya tanpa menoleh ke arahku, pandangannya lurus ke
depan, ke arah keramaian yang terjadi di antara teman-teman kami yang
mengadakan karaoke.
“Lebih
baik dari biasanya.”
“Syukurlah.”
“Mereka
tampak menikmatinya. Setiap tahun kemeriahannya selalu bertambah.”
“Apa
kau benar-benar serius dengan membakar sampah itu?”
“Ya.
Ada suatu kesenangan ketika melakukannya. Mungkin itu hal yang buruk untuk
lingkungan, tapi semua orang di desaku melakukannya.”
“Itu
terdengar sedikit aneh, kautahu.”
“Aku
tidak keberatan disebut aneh.”
“Bukan
seperti itu maksudku.”
“Lalu?”
“Mungkin
sebaiknya kau berhenti membakar sampah dan membuangnya ke tempat pembuangan
akhir. Memilah sampah berdasarkan kategorinya dan mendaur ulang sampah-sampah
yang masih dapat didaur ulang.”
“Tidak
ada petugas yang mengambil sampah dan aku tidak memiliki keahlian semacam
menjadikan sampah barang bernilai jual atau semacamnya.”
“Kau
bisa belajar dari awal, bukan?”
“Bisa
kita bicara yang lain?”
Sejak
dulu dia perempuan yang cukup suka menentang ini dan itu. Barangkali itulah
yang membuatku tertarik kepadanya. Tapi, rasanya menyebalkan ketika dia mulai
mengkritikku. Rasanya sama ketika ada yang menulis ulasan yang begitu tajam
untuk salah satu novelku: tentang latar tempat yang tidak nyata, tindakan
ganjil para tokohnya, dan sebagainya.
___
Kami
membuyarkan diri setelah menghitung mundur. Karena sudah begitu malam,
perempuan itu membonceng kepadaku. Aku tidak keberatan dengan hal itu dan
segera mengantarkannya pulang. Selama perjalanan, kami tidak berbicara sama
sekali. Tapi, begitu sampai di rumahnya, kami berbicara sebentar.
“Membakar
sampah bisa menajamkan emosimu. Maksudku, kau bisa berpikir bahwa menyakiti
orang merupakan suatu hal yang buruk, bahkan paling buruk. Kau bisa menganggap
sampah-sampah yang terbakar itu sebagai manusia berdarah daging. Ketika kau
melakukannya, kau akan sanggup mendengar teriakan kesakitan mereka, teriakan
minta tolong, dan teriakan kemarahan.”
“Kau
tidak harus belajar hal semacam itu dari membakar sampah, tapi membakar sampah
bisa menjadi salah satu sumber pengetahuan juga.”
“Aku
akan menyelesaikan sebuah novel lagi dalam waktu dekat.”
“Aku
menantikannya.”
“Mau
pergi ke suatu tempat? Aku yakin masih ada satu dua tempat yang akan buka
sampai pagi di hari ini.”
“Boleh.”
Dia
naik lagi dan kami pergi ke sebuah tempat. Di jalanan, sisa-sisa perayaan
pergantian tahun masih hangat. Banyak orang yang masih berlalu lalang,
mercon-mercon juga masih dilontarkan ke langit, suara terompet yang ditiup
anak-anak kecil, dan seterusnya. Jika alien benar-benar ada, apa yang kira-kira
mereka pikirkan ketika melihat makhluk bumi merayakan bumi yang berhasil
mengitari matahari sekali lagi?
___
Membakar
sampah itu kegiatan yang menyenangkan, setidaknya bagiku. Aku belajar banyak
hal dari kegiatan itu. Bahkan, aku bisa mendapatkan satu dua inspirasi untuk
tulisanku. Api kecil yang perlahan membesar, asap yang membumbung ke langit,
dan sampah yang menyusut dan hangus, semua itu menarik untuk dicermati dengan
setiap indra yang kita miliki. Di hadapanku sekarang, sebuah surat kabar lokal
menampilkan sebuah foto jasad yang hangus terbakar di halaman pertama. Sulit
untuk mengidentifikasi jenazah itu, apalagi tidak ditemukan tanda pengenal di
sekitarnya. Satu hal yang bisa dipastikan, dia dibakar hidup-hidup. Berita yang
mencengangkan di awal tahun.
31 Desember
2021—6 Juni 2022
