Melihat masyarakat yang sudah bebas
berkerumun di semua tempat, virus Covid yang semula merasa hebat seketika mulai
pucat. Tak berani lagi virus jahanam itu berbuat jahat, sebab semua orang jadi
bertubuh kuat. Imun semakin berlipat. Meski virus Covid telah bermutasi dengan
cepat, tapi kecerdasan manusia tak bisa berkhianat. Vaksinasi menjadi tameng
baja yang tak akan bisa berkarat.
Terlebih lagi, mengenakan masker kini
telah menjadi budaya yang tak terlewat. Ke mana pun orang pergi, mulut dan
hidung senantiasa terlindungi dengan ketat. Kreativitas manusia telah
menjadikan masker bukan semata sebagai pelindung diri dari serangan virus, tapi
sekaligus dijadikan aksesoris seni yang bisa dipadupadankan dengan pakaian yang
dikenakan.
Makhluk perempuan yang biasanya tak
lepas dari tas berisi cermin, sisir, dan make up, menjadi semakin lengkap
karena bertambah dengan handsanitizer. Tidak ada lagi wanita yang takut
cantiknya tak kelihatan akibat tertutup masker. Senyum manis di bibir memerah
di balik masker masih bisa ditampilkan dengan mimik wajah dan sorot mata yang
bercahaya. Hal ini yang membuat virus Covid makin tak berdaya.
Belum lagi tersedianya tempat cuci
tangan di semua rumah dan gedung perkantoran. Termasuk juga di semua tempat
umum yang biasa terjadi kerumunan. Dengan kondisi demikian sepertinya mustahil
bagi virus dari Wuhan untuk bisa menerobos garis pertahanan dari protokol
kesehatan yang diterapkan.
Dunia dan kehidupan manusia seperti
telah direstart ulang. Pelaksanaan PPKM dan segala bentuk pembatasan yang
pernah diberlakukan telah menjadi tameng baja bagi kesehatan.
Duh, virus Covid dengan berbagai
varian tercekat. Mereka teronggok di sudut tempat sampah. Bersembunyi di antara
tumpukan masker bekas yang disemprot desinfektan secara berkala sebelum dibuang
ke Tempat Pembuangan Akhir. Seperti lelaki renta yang telah kehilangan libido,
virus-virus itu terkulai loyo.
“Bedebah! Manusia-manusia itu
benar-benar sialan! Bagaimana bisa mereka mengalahkan kita yang telah sukses
menebar pandemi hampir di semua Negara!” gerutu salah satu virus Covid 19.
“Iya, ya. Padahal kita sudah membunuh
puluhan ribu orang, tapi kenapa hal itu tak membuat mereka menyerah dan justru
melipatgandakan kekuatan,” sahut virus Covid Delta dengan wajah nelangsa.
“Atau jangan-jangan mutasi yang selama
ini kita lakukan masih kurang kuat untuk menghancurkan imun manusia?” Virus
varian baru menambahkan.
Semua bungkam. Virus-virus itu hanya
bisa menatap lalu-lalang manusia yang tetap santai menjalankan rutinitas
hariannya. Virus-virus yang selama tahun 2020 hingga 2021 sempat menjadi
predator terganas di muka bumi itu, kini telah tersingkirkan. Keberadaan mereka
tak lagi ditakuti. Mereka tidak lagi luar biasa. Bahkan sudah dianggap sejajar dengan
virus influenza yang bisa dibasmi dengan obat flu dari warung.
“Sungguh, aku tidak rela kalau
kejayaan kita dibasmi dengan demikian singkatnya. Kita harus bangkit dan
bersatu agar lebih kuat!” Virus Covid varian baru tak terima.
Namun, tak ada lagi yang menanggapi
keluh kesahnya itu. Masing-masing virus tenggelam dalam kekecewaan yang dalam.
Keberhasilan manusia merestart kehidupan membuat virus-virus itu kehilangan
kekuatan. Mereka kehilangan cara untuk sekadar mendekat pada tubuh seorang
manusia.
***
Sementara itu, tak jauh dari tong
sampah tempat para virus itu berada, dua orang pemulung nampak sedang
beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Mereka berbaring dengan
berbantal karung berisi barang rongsokan milik masing-masing. Dalam jarak satu
setengah meter, mereka sama-sama mengipas-ngipaskan sepotong kardus usang ke
dada untuk mengusir gerah yang melanda.
Sambil menatap langit di atas Taman
Kota, mereka berbincang.
“Kang Parmin, semenjak pandemi telah
berlalu rasa-rasanya kok pendapatan kita memulung semakin berkurang saja, ya.
Tong-tong sampah lebih banyak berisi masker bekas dan tisu ketimbang kardus
atau plastik yang kita buru,” keluh pemulung berkaus merah.
“Iya, Kang Bejo. Sepertinya telah
terjadi pergeseran nilai dalam kehidupan bermasyarakat. Orang lebih suka
melakukan transaksi secara online daripada beli langsung ke toko. Karena itu
jadi jarang ada rongsokan,” sahut Parmin sekenanya.
“Waduh, kalau begitu berakhirnya
pandemi ini merupakan kerugian dong buat kita?” Wajah Bejo memancarkan
kekecewaan yang sangat.
“Enggak juga.” Enteng Parmin menjawab.
“Enggak bagaimana, maksudmu?” Bejo
kesal jadinya. Sempat terpikir olehnya jika Parmin ini sosok kawan yang tak
setia. Padahal mereka sudah sama-sama menjadi pemulung hampir lima tahun
lamanya.
“Semua keadaan itu pasti membawa
keuntungan dan kerugian yang berbeda-beda. Semua tergantung bagaimana kita
menyikapinya. Coba deh pikirkan, selama wabah pandemi kita tidak boleh memulung
karena ada pembatasan keluar rumah, tapi di sekitar kita jadi banyak orang yang
meningkat rasa kepeduliannya untuk saling berbagi. Kita sering mendapat nasi
bungkus gratis, bantuan sembako, bahkan ada aneka bantuan dari pemerintah juga
cair. Ya, meskipun serba pas-pasan tapi setidaknya kita tidak merasa
kekurangan.”
“Tapi sekarang semua itu sudah tidak
ada lagi, kan?” sergah Bejo sedikit sewot.
“Bukan gak ada lagi, Kang Jo tapi
diberikan pada orang yang lebih membutuhkan. Lagian apa kau gak malu
terus-terusan mengharap bantuan sementara kita masih kuat bekerja?” Kali ini
Parmin bertanya seraya berpaling pada sahabatnya.
Bejo tak bereaksi. Ia hanya menurunkan
maskernya sedikit sampai di bawah lubang hidung karena merasa engap. Perlahan
ia menghirup napas dalam-dalam.
Pertanyaan balik dari Parmin terasa
betul menohok batinnya. Ia heran, bagaimana bisa seorang pemulung seperti
Parmin dapat berpikir realistis semacam itu. Apakah pergeseran nilai pasca
pandemi telah mengubah pola pikir Parmin. Entahlah! Ia tak habis pikir.
Dalam benaknya yang tersisa hanyalah
perasaan geram terhadap keadaan. Ia merasa kalau restart kehidupan tak berpihak
padanya. Betapa tidak! Saat pandemi ia pernah mendengar adanya bantuan sosial
yang dikorupsi oleh oknum pejabat. Dan itu nominalnya jauh lebih besar dari
jatah bantuan yang pernah ia terima. Sekarang ketika pandemi telah pergi,
kehidupan orang-orang seperti dirinya malah menjadi semakin susah karena
masyarakat terlanjur terbiasa menikmatinya enaknya transaksi belanja online.
Pasar dan tempat-tempat keramaian
menjadi berkurang peminatnya. Rongsokan makin jarang ditemukan di tempat
sampah. Tong-tong sampah yang menjadi tumpuan harapan kaum kusam lebih banyak
berisi masker bekas yang tak bernilai jual.
“Kenapa kau diam, Kang Jo? Jangan
terlalu banyak keluh kesah, hal itu tidak akan menyelesaikan masalah.”
“Bukannya aku mengeluh Min, tapi ….”
Belum sempat Bejo meneruskan
kalimatnya, Parmin sudah pula memotongnya dengan suara yang sedikit serak.
“Tapi apa?”
“Aku hanya bingung. Sekarang masker
dan handsanitezer jadi kebutuhan utama di samping kebutuhan sembako, sementara
pendapatan semakin tak menentu seperti ini.”
“Satu hal yang perlu kau yakini, Kang
Jo, bahwa Tuhan tidak pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuan
hambanya.” Parmin berkata dengan nada penuh kesungguhan.
“Nasehat dari mana itu?”
“Dari seorang ustaz kondang, Kang Jo.”
“Memang kau pernah ikut pengajian?”
Bejo menatap heran.
Parmin menggeleng pelan.
“Enggak. Aku dengar dari tipi pas
bulan puasa kemarin,” jawabnya.
Hehe! Bejo tersenyum. Tanpa
berkata-kata lagi, ia bergegas bangkit memanggul kembali karungnya kemudian
melangkah pergi meninggalkan Parmin yang menatapnya dengan perasaan heran.
“Kang Jo! Kang Bejo, tungguu!” Parmin
bangkit menyusul sahabatnya.
Bejo tak hirau lagi. Ia tetap
melangkah dengan membawa kedongkolan hati.
***
Gerombolan virus Covid yang masih
enggan meninggalkan muka bumi terus berkeliling ke segenap penjuru. Mereka coba
mencari celah di antara orang-orang yang lengah. Setiap sudut mereka datangi
sekadar untuk memastikan masih adakah orang lalai yang bisa mereka hinggapi.
Namun, lagi-lagi gerombolan virus itu
harus menderita kekecewaan tingkat tinggi. Setiap tempat yang mereka singgahi,
tak ada yang luput dari protokol kesehatan yang sudah jadi tradisi. Kesadaran
manusia pada arti penting kesehatan sudah mendarah daging. Tempat cuci tangan
menjadi pemandangan wajib di setiap halaman rumah warga dan perkantoran. Masker
tak pernah lagi terlepas dari wajah semua orang.
Sungguh, koloni virus Covid itu
menjadi semakin berputus asa. Mereka heran dengan perilaku manusia yang begitu
mudah mengubah pembiasaan sosial. Jabat tangan yang selama ini jadi kebiasaan
setiap bertemu, kini cukup digantikan dengan beradu sikut yang tak memungkinkan
satu virus pun ikut. Meski bibir selalu tertutup, orang-orang masih tetap
bertegur sapa walau sekadar dengan anggukan kepala lantaran senyumnya tak dapat
terlihat.
Bah! Koloni virus menyumpah serapah.
Kebiasaan bermasker dan selalu cuci tangan pakai sabun yang kiniu berubah
menjadi tradisi baru, membuat virus-virus itu serasa menemui jalan buntu. Ruang
gerak mereka menjadi teramat sempit.
Keberhasilan manusia merestart
kehidupan dalam berbagai lini, menjadikan virus-virus itu kehilangan nyali.
Bahkan untuk menjangkiti seorang pemulung yang berkutat dengan tempat sampah
seperti Parmin dan Bejo, mereka sudah tak mampu lagi. Vaksin telah membentengi
tubuh manusia. Menciptakan kekebalan imun yang tak mudah terkecoh oleh virus
yang menyusup.
Namun, hal itu tak membuat manusia
lengah. Manusia sadar, pemakaian masker yang telah menjadi kebutuhan suatu saat
pasti akan menimbulkan dampak tersendiri. Termasuk penggunaan air untuk cuci
tangan yang dilakukan orang sedunia tentu kelak kemudian hari akan berdampak
pada kurangnya air tanah yang akan jadi masalah.
Setiap masalah baru muncul, virus
jenis baru juga akan timbul. Dan itu berarti restart kehidupan akan terus susul
menyusul. Virus dan manusia yang hidup berdampingan akan terus bersaing untuk
saling mengalahkan.
Blitar, 2021
===================
Heru Patria adalah nama pena dari Heru Waluyo, S.Pd seorang guru SD
sekaligus novelis dari Blitar Jawa Timur yang juga suka baca dan nulis puisi.
Puisi dan cerpennya banyak dimuat di buku antologi nasional serta berbagai
media cetak dan online. Novel terbarunya berjudul Dalbo : Basa Basi Bumi (Elexmedia, 2021) dan Kerontang Kesaksian Pohon (Hyang Pustaka, 2022). Buku puisinya yang
baru terbit berjudul Senyawa Kopi
Sekeping Hati (IA Publisher, 2021). Penulis bisa dihubungi di FB. Heru
Patria, IG. @heru.patria.54, Twitter @HERUPATRIA3, WA. 0813 5746 5016
Foto oleh luizclas / pexels
kirim karya ke: suarakrajan@gmail.com