Cerpen Heru Patria | Berdamai dengan Virus - Suara Krajan

Melihat masyarakat yang sudah bebas berkerumun di semua tempat, virus Covid yang semula merasa hebat seketika mulai pucat. Tak berani lagi virus jahanam itu berbuat jahat, sebab semua orang jadi bertubuh kuat. Imun semakin berlipat. Meski virus Covid telah bermutasi dengan cepat, tapi kecerdasan manusia tak bisa berkhianat. Vaksinasi menjadi tameng baja yang tak akan bisa berkarat.
 
Terlebih lagi, mengenakan masker kini telah menjadi budaya yang tak terlewat. Ke mana pun orang pergi, mulut dan hidung senantiasa terlindungi dengan ketat. Kreativitas manusia telah menjadikan masker bukan semata sebagai pelindung diri dari serangan virus, tapi sekaligus dijadikan aksesoris seni yang bisa dipadupadankan dengan pakaian yang dikenakan.
 
Makhluk perempuan yang biasanya tak lepas dari tas berisi cermin, sisir, dan make up, menjadi semakin lengkap karena bertambah dengan handsanitizer. Tidak ada lagi wanita yang takut cantiknya tak kelihatan akibat tertutup masker. Senyum manis di bibir memerah di balik masker masih bisa ditampilkan dengan mimik wajah dan sorot mata yang bercahaya. Hal ini yang membuat virus Covid makin tak berdaya.
 
Belum lagi tersedianya tempat cuci tangan di semua rumah dan gedung perkantoran. Termasuk juga di semua tempat umum yang biasa terjadi kerumunan. Dengan kondisi demikian sepertinya mustahil bagi virus dari Wuhan untuk bisa menerobos garis pertahanan dari protokol kesehatan yang diterapkan.
 
Dunia dan kehidupan manusia seperti telah direstart ulang. Pelaksanaan PPKM dan segala bentuk pembatasan yang pernah diberlakukan telah menjadi tameng baja bagi kesehatan.
 
Duh, virus Covid dengan berbagai varian tercekat. Mereka teronggok di sudut tempat sampah. Bersembunyi di antara tumpukan masker bekas yang disemprot desinfektan secara berkala sebelum dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir. Seperti lelaki renta yang telah kehilangan libido, virus-virus itu terkulai loyo.
 
“Bedebah! Manusia-manusia itu benar-benar sialan! Bagaimana bisa mereka mengalahkan kita yang telah sukses menebar pandemi hampir di semua Negara!” gerutu salah satu virus Covid 19.
 
“Iya, ya. Padahal kita sudah membunuh puluhan ribu orang, tapi kenapa hal itu tak membuat mereka menyerah dan justru melipatgandakan kekuatan,” sahut virus Covid Delta dengan wajah nelangsa.
 
“Atau jangan-jangan mutasi yang selama ini kita lakukan masih kurang kuat untuk menghancurkan imun manusia?” Virus varian baru menambahkan.
 
Semua bungkam. Virus-virus itu hanya bisa menatap lalu-lalang manusia yang tetap santai menjalankan rutinitas hariannya. Virus-virus yang selama tahun 2020 hingga 2021 sempat menjadi predator terganas di muka bumi itu, kini telah tersingkirkan. Keberadaan mereka tak lagi ditakuti. Mereka tidak lagi luar biasa. Bahkan sudah dianggap sejajar dengan virus influenza yang bisa dibasmi dengan obat flu dari warung.
 
“Sungguh, aku tidak rela kalau kejayaan kita dibasmi dengan demikian singkatnya. Kita harus bangkit dan bersatu agar lebih kuat!” Virus Covid varian baru tak terima.
 
Namun, tak ada lagi yang menanggapi keluh kesahnya itu. Masing-masing virus tenggelam dalam kekecewaan yang dalam. Keberhasilan manusia merestart kehidupan membuat virus-virus itu kehilangan kekuatan. Mereka kehilangan cara untuk sekadar mendekat pada tubuh seorang manusia.
                                                                        ***
 
Sementara itu, tak jauh dari tong sampah tempat para virus itu berada, dua orang pemulung nampak sedang beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Mereka berbaring dengan berbantal karung berisi barang rongsokan milik masing-masing. Dalam jarak satu setengah meter, mereka sama-sama mengipas-ngipaskan sepotong kardus usang ke dada untuk mengusir gerah yang melanda.
 
Sambil menatap langit di atas Taman Kota, mereka berbincang.
 
“Kang Parmin, semenjak pandemi telah berlalu rasa-rasanya kok pendapatan kita memulung semakin berkurang saja, ya. Tong-tong sampah lebih banyak berisi masker bekas dan tisu ketimbang kardus atau plastik yang kita buru,” keluh pemulung berkaus merah.
 
“Iya, Kang Bejo. Sepertinya telah terjadi pergeseran nilai dalam kehidupan bermasyarakat. Orang lebih suka melakukan transaksi secara online daripada beli langsung ke toko. Karena itu jadi jarang ada rongsokan,” sahut Parmin sekenanya.
 
“Waduh, kalau begitu berakhirnya pandemi ini merupakan kerugian dong buat kita?” Wajah Bejo memancarkan kekecewaan yang sangat.
 
“Enggak juga.” Enteng Parmin menjawab.
 
“Enggak bagaimana, maksudmu?” Bejo kesal jadinya. Sempat terpikir olehnya jika Parmin ini sosok kawan yang tak setia. Padahal mereka sudah sama-sama menjadi pemulung hampir lima tahun lamanya.
 
“Semua keadaan itu pasti membawa keuntungan dan kerugian yang berbeda-beda. Semua tergantung bagaimana kita menyikapinya. Coba deh pikirkan, selama wabah pandemi kita tidak boleh memulung karena ada pembatasan keluar rumah, tapi di sekitar kita jadi banyak orang yang meningkat rasa kepeduliannya untuk saling berbagi. Kita sering mendapat nasi bungkus gratis, bantuan sembako, bahkan ada aneka bantuan dari pemerintah juga cair. Ya, meskipun serba pas-pasan tapi setidaknya kita tidak merasa kekurangan.”
 
“Tapi sekarang semua itu sudah tidak ada lagi, kan?” sergah Bejo sedikit sewot.
 
“Bukan gak ada lagi, Kang Jo tapi diberikan pada orang yang lebih membutuhkan. Lagian apa kau gak malu terus-terusan mengharap bantuan sementara kita masih kuat bekerja?” Kali ini Parmin bertanya seraya berpaling pada sahabatnya.
 
Bejo tak bereaksi. Ia hanya menurunkan maskernya sedikit sampai di bawah lubang hidung karena merasa engap. Perlahan ia menghirup napas dalam-dalam.
 
Pertanyaan balik dari Parmin terasa betul menohok batinnya. Ia heran, bagaimana bisa seorang pemulung seperti Parmin dapat berpikir realistis semacam itu. Apakah pergeseran nilai pasca pandemi telah mengubah pola pikir Parmin. Entahlah! Ia tak habis pikir.
 
Dalam benaknya yang tersisa hanyalah perasaan geram terhadap keadaan. Ia merasa kalau restart kehidupan tak berpihak padanya. Betapa tidak! Saat pandemi ia pernah mendengar adanya bantuan sosial yang dikorupsi oleh oknum pejabat. Dan itu nominalnya jauh lebih besar dari jatah bantuan yang pernah ia terima. Sekarang ketika pandemi telah pergi, kehidupan orang-orang seperti dirinya malah menjadi semakin susah karena masyarakat terlanjur terbiasa menikmatinya enaknya transaksi belanja online.
 
Pasar dan tempat-tempat keramaian menjadi berkurang peminatnya. Rongsokan makin jarang ditemukan di tempat sampah. Tong-tong sampah yang menjadi tumpuan harapan kaum kusam lebih banyak berisi masker bekas yang tak bernilai jual.
 
“Kenapa kau diam, Kang Jo? Jangan terlalu banyak keluh kesah, hal itu tidak akan menyelesaikan masalah.”
 
“Bukannya aku mengeluh Min, tapi ….”
 
Belum sempat Bejo meneruskan kalimatnya, Parmin sudah pula memotongnya dengan suara yang sedikit serak.
 
“Tapi apa?”
 
“Aku hanya bingung. Sekarang masker dan handsanitezer jadi kebutuhan utama di samping kebutuhan sembako, sementara pendapatan semakin tak menentu seperti ini.”
 
“Satu hal yang perlu kau yakini, Kang Jo, bahwa Tuhan tidak pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambanya.” Parmin berkata dengan nada penuh kesungguhan.
 
“Nasehat dari mana itu?”
 
“Dari seorang ustaz kondang, Kang Jo.”
 
“Memang kau pernah ikut pengajian?” Bejo menatap heran.
 
Parmin menggeleng pelan.
 
“Enggak. Aku dengar dari tipi pas bulan puasa kemarin,” jawabnya.
 
Hehe! Bejo tersenyum. Tanpa berkata-kata lagi, ia bergegas bangkit memanggul kembali karungnya kemudian melangkah pergi meninggalkan Parmin yang menatapnya dengan perasaan heran.
 
“Kang Jo! Kang Bejo, tungguu!” Parmin bangkit menyusul sahabatnya.
 
Bejo tak hirau lagi. Ia tetap melangkah dengan membawa kedongkolan hati.
 
                                                                        ***
Gerombolan virus Covid yang masih enggan meninggalkan muka bumi terus berkeliling ke segenap penjuru. Mereka coba mencari celah di antara orang-orang yang lengah. Setiap sudut mereka datangi sekadar untuk memastikan masih adakah orang lalai yang bisa mereka hinggapi.
 
Namun, lagi-lagi gerombolan virus itu harus menderita kekecewaan tingkat tinggi. Setiap tempat yang mereka singgahi, tak ada yang luput dari protokol kesehatan yang sudah jadi tradisi. Kesadaran manusia pada arti penting kesehatan sudah mendarah daging. Tempat cuci tangan menjadi pemandangan wajib di setiap halaman rumah warga dan perkantoran. Masker tak pernah lagi terlepas dari wajah semua orang.
 
Sungguh, koloni virus Covid itu menjadi semakin berputus asa. Mereka heran dengan perilaku manusia yang begitu mudah mengubah pembiasaan sosial. Jabat tangan yang selama ini jadi kebiasaan setiap bertemu, kini cukup digantikan dengan beradu sikut yang tak memungkinkan satu virus pun ikut. Meski bibir selalu tertutup, orang-orang masih tetap bertegur sapa walau sekadar dengan anggukan kepala lantaran senyumnya tak dapat terlihat.
 
Bah! Koloni virus menyumpah serapah. Kebiasaan bermasker dan selalu cuci tangan pakai sabun yang kiniu berubah menjadi tradisi baru, membuat virus-virus itu serasa menemui jalan buntu. Ruang gerak mereka menjadi teramat sempit.
 
Keberhasilan manusia merestart kehidupan dalam berbagai lini, menjadikan virus-virus itu kehilangan nyali. Bahkan untuk menjangkiti seorang pemulung yang berkutat dengan tempat sampah seperti Parmin dan Bejo, mereka sudah tak mampu lagi. Vaksin telah membentengi tubuh manusia. Menciptakan kekebalan imun yang tak mudah terkecoh oleh virus yang menyusup.
 
Namun, hal itu tak membuat manusia lengah. Manusia sadar, pemakaian masker yang telah menjadi kebutuhan suatu saat pasti akan menimbulkan dampak tersendiri. Termasuk penggunaan air untuk cuci tangan yang dilakukan orang sedunia tentu kelak kemudian hari akan berdampak pada kurangnya air tanah yang akan jadi masalah.
 
Setiap masalah baru muncul, virus jenis baru juga akan timbul. Dan itu berarti restart kehidupan akan terus susul menyusul. Virus dan manusia yang hidup berdampingan akan terus bersaing untuk saling mengalahkan.
 
 
Blitar, 2021


===================
Heru Patria adalah nama pena dari Heru Waluyo, S.Pd seorang guru SD sekaligus novelis dari Blitar Jawa Timur yang juga suka baca dan nulis puisi. Puisi dan cerpennya banyak dimuat di buku antologi nasional serta berbagai media cetak dan online. Novel terbarunya berjudul Dalbo : Basa Basi Bumi (Elexmedia, 2021) dan Kerontang Kesaksian Pohon (Hyang Pustaka, 2022). Buku puisinya yang baru terbit berjudul Senyawa Kopi Sekeping Hati (IA Publisher, 2021). Penulis bisa dihubungi di FB. Heru Patria, IG. @heru.patria.54, Twitter @HERUPATRIA3, WA. 0813 5746 5016

Foto oleh luizclas / pexels

kirim karya ke: suarakrajan@gmail.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak