Cerpen Firman Fadilah | Amor Fati - Suara Krajan

Di sebuah kedai kopi, sebuah pagi yang seperti biasanya, seperti hari lalu, Riki memandang jauh ke hadapan. Kendaraan yang berderu, tetapi selalu lengang terasa. Entah sedang menghitung jumlah kendaraankah ia atau entah sedang memikirkan sesuatu yang teramat berat untuk diucapkan, wajahnya menggambarkan tumpukan mendung, gelap dan murung.
 
Tidak jauh dari sana, sebuah gedung menjulang tinggi. Awan seolah berkerumun di pucuk menaranya. Bangunan yang penuh kaca itu memendarkan kilat-kilat bening. Jika matahari sedang terik, pantulan cahayanya bisa membuat jalan aspal di bawahnya panas, lebih panas dari api kompor.
 
Dibiarkannya secangkir kopi hitam mendingin. Tidak ada lagi uap yang meliuk-liuk, menguarkan aroma kopi yang bisa meningkatkan kinerja otak dan kewarasan. Riki masih memaku pandangan pada entah apa di depan sana. Rasanya ia tak sedang melihat apa-apa, tetapi seolah ada gundah di sudut matanya yang membuat ia tak henti-henti merenung.
 
Dibiarkan pula sahabat di depannya, seseorang yang telah memesan dua cangkir kopi pahit seperti yang biasa mereka pesan, tanpa kata-kata. Kopi pahit lebih menyehatkan, katanya. Sebab itu mereka suka kopi pahit. Atau barangkali sebab harga kopi pahit lebih murah dan hal itu bisa membuat mereka sedikit berhemat. Gejolak ekonomi yang tak tentu memaksa mereka demikian.
 
Sahabat di hadapan Riki seperti memendam ribuan kalimat di benaknya. Melihat Riki yang diam begitu, sahabat itu bingung. Apa yang akan dilakukannya untuk membuat Riki ceria seperti semula, sedangkan keahlian yang dimilikinya hanya memesan secangkir kopi pahit pula harga diskon sebab ia adalah pelanggan tetap. Tentu sahabat itu tahu, ini perihal masalah ekonomi.
 
Tak tahan merasakan kebungkaman, sahabat itu memulai satu-dua kata.
 
"Kopimu dingin." Riki menoleh dan buru-buru mencari kata balasan. "Oh, iya." Riki menyesap kopi itu tanpa gairah. Hanya sebatas nempel di bibir, kemudian ia mencuri pandang gedung pencakar langit itu dan benda-benda lain di hadapannya.
 
Seragam yang Riki kenakan berpeluh. Aroma asam keringat memadatsesaki indra penciuman.  Lalu, ia basa-basi merapikan setelan itu, seragam sekuriti kebanggaannya. Bagaimana tidak, ia harus melewati beberapa seleksi ketat untuk memperoleh baju itu. Ijazah yang dimiliki harus minimal tamatan SMA. Demi seragam itu pula, ia rela menyeberang pulau, meninggalkan seorang ibu di kampung halaman.
 
Seragam itu menjadi jembatan atas hasil kerja kerasnya. Pundi-pundi uang terkumpul dari situ. Kebutuhannya terpenuhi. Ibu di kampung tidak pernah merasa kekurangan. Bisa dikata, masa-masa itu adalah titik kejayaannya. Ia sangat mencintai pekerjaannya yang mudah, yang hanya sekadar membuka tutup pintu, tersenyum kepada orang-orang asing, kemudian mengamati keamanan sekitar. Kadang ia tak perlu repot-repot terlampau siaga, toh, ada petugas khusus yang mengawasi monitor CCTV.
 
Di gedung yang menjulang tinggi itulah ia bekerja. Pagi sampai sore, kadang hingga larut malam jika ingin dapat uang jajan tambahan. Sungguh hari-hari yang beruntung. Hari-hari yang indah untuk dikenang. Pekerjaan yang menuntutnya untuk ramah, membuatnya memiliki banyak kenalan. Sahabat di hadapannya ini salah satunya. Seragam yang berwibawa itu pula mengantarkannya kepada seorang kekasih.
 
Ia menjalin percintaan yang cukup panjang dengan wanita berambut panjang, bibir mungil, kaki jenjang, dan tubuh semampai. Wanita itu bekerja sebagai pelayan di rumah makan Padang. Pertemuan tak sengaja di rumah makan menjadi pertemuan-pertemuan yang dijanjikan selanjutnya. Riki giat bekerja hingga malam untuk bekal masa depan. Juga perempuan itu yang gencar menabung sebab mereka telah memutuskan untuk menikah tanpa membebani orang tua.
 
Mereka hidup bahagia di rumah kontrakan yang sederhana. Mereka tidak berharap lebih selain komitmen pada cinta yang telah susah payah dibangun. Hidup jauh dari orang tua membuat mereka lebih dewasa. Sama-sama perantau. Sama-sama dari kalangan orang tak punya.
 
Seperti kehidupan rumah tangga pada umumnya, banyak kebutuhan yang harus dibeli. Perkakas harus punya sendiri. Ruangan harus rapi meski cuma ngontrak. Riki tanpa keberatan bekerja untuk memenuhi itu sedangkan istrinya memutuskan untuk berhenti bekerja setelah mengetahui bahwa ia telah berbadan dua.
 
Rumah kontrakan mungil disulapnya menjadi sebuah tempat yang indah. Dinding dicat putih, warna kesukaan istrinya. Segala alat dapur telah lengkap. Hiasan dinding menambah rumah itu menjadi hidup. Lemari pakaian yang cukup besar diletakkan di samping pintu menuju dapur. Baju dan mainan bayi telah disiapkan. Sebagian dari pemberian kawan dan tetangga. Mereka siap menjadi orang tua.
 
"Menurutmu, nama apa yang cocok untuk bayi laki-laki?"
 
"Apa ya? Hmmm, entahlah. Lagi pula kita belum tahu bayi kita laki-laki atau perempuan."
 
"Aku cuma berandai saja. Kalau laki-laki, pasti mirip kamu. Aku sudah menyiapkan nama perempuan, jadi tugasmu mencari nama laki-laki."
 
"Bagaimana kalau tes USG saja, Sayang."
 
"Kita mana ada uang untuk itu. Tabunganku tinggal sedikit. Merenovasi kontrakan ternyata perlu uang tak sedikit. Perkakas rumah juga lumayan mahal. Lebih baik uangnya kausimpan untuk biaya persalinan."
 
Begitulah mereka sebelum tidur, berharap sesuatu yang indah ke depannya. Perut yang mencuat mereka usap, kemudian Riki menciumnya. "Halo, ini ayah."
 
Namun, siapa yang bisa menebak masa depan. Manusia begitu lemah terhadap takdir. Manusia seolah tidak memiliki kuasa atas kehidupannya sendiri dan segala yang menimpanya harus diterima. Ujian demi ujian tak pernah susut. Seperti kata orang-orang, manusia harus melewati ujian hidup untuk bisa mempertahankan derajatnya sebagai manusia. Bagaimana jika hidup itu sendiri adalah ujian?
 
Pagi itu Riki mendapat telepon dari atasannya. Ia berangkat pagi-pagi sekali. Waktu itu akhir bulan, tandanya ia akan menerima gaji. Namun, gaji itu adalah gaji terakhirnya setelah ia mendapat surat pemutusan hubungan kerja. Ia kaget bukan kepalang. Selama ini, ia tak pernah berbuat salah. Ia pun tak pernah terlambat. Perasaan tak tentu berkecamuk di dadanya
 
Beberapa hari kemudian, teman-temannya pun memperoleh surat yang sama. Wabah yang merajalela membuat pendapatan perusahaan menurun dan kebijakan yang paling realistis untuk diambil adalah dengan mengurangi tenaga kerja. Lalu, berita tentang pemecatan karyawan oleh perusahaan merambah ke seluruh kota.
***
Kedai kopi lengang. Kendaraan jarang. Dibiarkannya kopi di cangkir itu dirambati lalat. Seolah ada perasaan ngilu, getir di wajahnya ketika ia memandangi seragam sekuriti yang ia kenakan.
 
Entah bagaimana caranya Riki memberitahukan istrinya bahwa ia sudah tidak mempunyai pekerjaan lagi. Di sisi lain, ia tak mau menambah beban pikiran seorang calon ibu. Kabar pilu itu tentu bisa membuat syok. Ia tak mau membuat istrinya berpikiran macam-macam.
 
Sebab itulah, Riki masih mengenakan seragam sekuriti, berangkat pagi pulang sore seperti biasanya, seperti hari-hari yang indah di masa lalu, meskipun ia hanya nongkrong di kedai kopi. Itu dilakukannya semata-mata untuk membuat istrinya merasa tenang menjelang masa kelahiran, walaupun jauh di dalam benaknya berbagi tanda tanya kerap menghantui. Pengorbanan apa lagi yang harus ia berikan?
 
Kedai kopi tidak menawarkan apa-apa selain secangkir kopi pahit dan kebingungan yang terpampang. Gundah yang berkerumun dan berlapis-lapis panorama murung di hadapannya seperti tidak ada titik terang. Riki hanya bisa mendengkus, menghabiskan waktu hingga senja di kedai kopi.
 
Ia menoleh ke arah gedung tempat semula ia bekerja, sambil merangkai kata-kata untuk istrinya. Namun, kata apa yang paling tepat untuk membicarakan semua itu?
 
Tanggamus, 18 July 2021
 
===============
Firman Fadilah Sedang menempuh pendidikan di Institut Agama Islam An-nur Lampung. Karya-karyanya banyak termuat di media cetak dan daring. Buku cerpen pertamanya First Kiss (Guepedia, 2021)

Ilustrasi: Stefan Zsaitsits "Menara"

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak