Di sebuah
kedai kopi, sebuah pagi yang seperti biasanya, seperti hari lalu, Riki
memandang jauh ke hadapan. Kendaraan yang berderu, tetapi selalu lengang
terasa. Entah sedang menghitung jumlah kendaraankah ia atau entah sedang
memikirkan sesuatu yang teramat berat untuk diucapkan, wajahnya menggambarkan
tumpukan mendung, gelap dan murung.
Tidak jauh
dari sana, sebuah gedung menjulang tinggi. Awan seolah berkerumun di pucuk
menaranya. Bangunan yang penuh kaca itu memendarkan kilat-kilat bening. Jika
matahari sedang terik, pantulan cahayanya bisa membuat jalan aspal di bawahnya
panas, lebih panas dari api kompor.
Dibiarkannya
secangkir kopi hitam mendingin. Tidak ada lagi uap yang meliuk-liuk, menguarkan
aroma kopi yang bisa meningkatkan kinerja otak dan kewarasan. Riki masih memaku
pandangan pada entah apa di depan sana. Rasanya ia tak sedang melihat apa-apa,
tetapi seolah ada gundah di sudut matanya yang membuat ia tak henti-henti
merenung.
Dibiarkan
pula sahabat di depannya, seseorang yang telah memesan dua cangkir kopi pahit
seperti yang biasa mereka pesan, tanpa kata-kata. Kopi pahit lebih menyehatkan,
katanya. Sebab itu mereka suka kopi pahit. Atau barangkali sebab harga kopi
pahit lebih murah dan hal itu bisa membuat mereka sedikit berhemat. Gejolak
ekonomi yang tak tentu memaksa mereka demikian.
Sahabat di
hadapan Riki seperti memendam ribuan kalimat di benaknya. Melihat Riki yang
diam begitu, sahabat itu bingung. Apa yang akan dilakukannya untuk membuat Riki
ceria seperti semula, sedangkan keahlian yang dimilikinya hanya memesan
secangkir kopi pahit pula harga diskon sebab ia adalah pelanggan tetap. Tentu
sahabat itu tahu, ini perihal masalah ekonomi.
Tak tahan
merasakan kebungkaman, sahabat itu memulai satu-dua kata.
"Kopimu
dingin." Riki menoleh dan buru-buru mencari kata balasan. "Oh,
iya." Riki menyesap kopi itu tanpa gairah. Hanya sebatas nempel di bibir,
kemudian ia mencuri pandang gedung pencakar langit itu dan benda-benda lain di
hadapannya.
Seragam
yang Riki kenakan berpeluh. Aroma asam keringat memadatsesaki indra
penciuman. Lalu, ia basa-basi merapikan
setelan itu, seragam sekuriti kebanggaannya. Bagaimana tidak, ia harus melewati
beberapa seleksi ketat untuk memperoleh baju itu. Ijazah yang dimiliki harus
minimal tamatan SMA. Demi seragam itu pula, ia rela menyeberang pulau,
meninggalkan seorang ibu di kampung halaman.
Seragam itu
menjadi jembatan atas hasil kerja kerasnya. Pundi-pundi uang terkumpul dari
situ. Kebutuhannya terpenuhi. Ibu di kampung tidak pernah merasa kekurangan.
Bisa dikata, masa-masa itu adalah titik kejayaannya. Ia sangat mencintai
pekerjaannya yang mudah, yang hanya sekadar membuka tutup pintu, tersenyum
kepada orang-orang asing, kemudian mengamati keamanan sekitar. Kadang ia tak
perlu repot-repot terlampau siaga, toh, ada petugas khusus yang mengawasi
monitor CCTV.
Di gedung
yang menjulang tinggi itulah ia bekerja. Pagi sampai sore, kadang hingga larut
malam jika ingin dapat uang jajan tambahan. Sungguh hari-hari yang beruntung.
Hari-hari yang indah untuk dikenang. Pekerjaan yang menuntutnya untuk ramah,
membuatnya memiliki banyak kenalan. Sahabat di hadapannya ini salah satunya.
Seragam yang berwibawa itu pula mengantarkannya kepada seorang kekasih.
Ia menjalin
percintaan yang cukup panjang dengan wanita berambut panjang, bibir mungil,
kaki jenjang, dan tubuh semampai. Wanita itu bekerja sebagai pelayan di rumah
makan Padang. Pertemuan tak sengaja di rumah makan menjadi pertemuan-pertemuan
yang dijanjikan selanjutnya. Riki giat bekerja hingga malam untuk bekal masa
depan. Juga perempuan itu yang gencar menabung sebab mereka telah memutuskan
untuk menikah tanpa membebani orang tua.
Mereka
hidup bahagia di rumah kontrakan yang sederhana. Mereka tidak berharap lebih
selain komitmen pada cinta yang telah susah payah dibangun. Hidup jauh dari
orang tua membuat mereka lebih dewasa. Sama-sama perantau. Sama-sama dari
kalangan orang tak punya.
Seperti
kehidupan rumah tangga pada umumnya, banyak kebutuhan yang harus dibeli.
Perkakas harus punya sendiri. Ruangan harus rapi meski cuma ngontrak. Riki
tanpa keberatan bekerja untuk memenuhi itu sedangkan istrinya memutuskan untuk
berhenti bekerja setelah mengetahui bahwa ia telah berbadan dua.
Rumah
kontrakan mungil disulapnya menjadi sebuah tempat yang indah. Dinding dicat
putih, warna kesukaan istrinya. Segala alat dapur telah lengkap. Hiasan dinding
menambah rumah itu menjadi hidup. Lemari pakaian yang cukup besar diletakkan di
samping pintu menuju dapur. Baju dan mainan bayi telah disiapkan. Sebagian dari
pemberian kawan dan tetangga. Mereka siap menjadi orang tua.
"Menurutmu,
nama apa yang cocok untuk bayi laki-laki?"
"Apa
ya? Hmmm, entahlah. Lagi pula kita belum tahu bayi kita laki-laki atau
perempuan."
"Aku
cuma berandai saja. Kalau laki-laki, pasti mirip kamu. Aku sudah menyiapkan
nama perempuan, jadi tugasmu mencari nama laki-laki."
"Bagaimana
kalau tes USG saja, Sayang."
"Kita
mana ada uang untuk itu. Tabunganku tinggal sedikit. Merenovasi kontrakan
ternyata perlu uang tak sedikit. Perkakas rumah juga lumayan mahal. Lebih baik
uangnya kausimpan untuk biaya persalinan."
Begitulah
mereka sebelum tidur, berharap sesuatu yang indah ke depannya. Perut yang
mencuat mereka usap, kemudian Riki menciumnya. "Halo, ini ayah."
Namun,
siapa yang bisa menebak masa depan. Manusia begitu lemah terhadap takdir.
Manusia seolah tidak memiliki kuasa atas kehidupannya sendiri dan segala yang
menimpanya harus diterima. Ujian demi ujian tak pernah susut. Seperti kata
orang-orang, manusia harus melewati ujian hidup untuk bisa mempertahankan
derajatnya sebagai manusia. Bagaimana jika hidup itu sendiri adalah ujian?
Pagi itu
Riki mendapat telepon dari atasannya. Ia berangkat pagi-pagi sekali. Waktu itu
akhir bulan, tandanya ia akan menerima gaji. Namun, gaji itu adalah gaji
terakhirnya setelah ia mendapat surat pemutusan hubungan kerja. Ia kaget bukan
kepalang. Selama ini, ia tak pernah berbuat salah. Ia pun tak pernah terlambat.
Perasaan tak tentu berkecamuk di dadanya
Beberapa
hari kemudian, teman-temannya pun memperoleh surat yang sama. Wabah yang
merajalela membuat pendapatan perusahaan menurun dan kebijakan yang paling
realistis untuk diambil adalah dengan mengurangi tenaga kerja. Lalu, berita
tentang pemecatan karyawan oleh perusahaan merambah ke seluruh kota.
***
Kedai kopi
lengang. Kendaraan jarang. Dibiarkannya kopi di cangkir itu dirambati lalat.
Seolah ada perasaan ngilu, getir di wajahnya ketika ia memandangi seragam
sekuriti yang ia kenakan.
Entah
bagaimana caranya Riki memberitahukan istrinya bahwa ia sudah tidak mempunyai
pekerjaan lagi. Di sisi lain, ia tak mau menambah beban pikiran seorang calon
ibu. Kabar pilu itu tentu bisa membuat syok. Ia tak mau membuat istrinya
berpikiran macam-macam.
Sebab
itulah, Riki masih mengenakan seragam sekuriti, berangkat pagi pulang sore
seperti biasanya, seperti hari-hari yang indah di masa lalu, meskipun ia hanya
nongkrong di kedai kopi. Itu dilakukannya semata-mata untuk membuat istrinya
merasa tenang menjelang masa kelahiran, walaupun jauh di dalam benaknya berbagi
tanda tanya kerap menghantui. Pengorbanan apa lagi yang harus ia berikan?
Kedai kopi
tidak menawarkan apa-apa selain secangkir kopi pahit dan kebingungan yang
terpampang. Gundah yang berkerumun dan berlapis-lapis panorama murung di
hadapannya seperti tidak ada titik terang. Riki hanya bisa mendengkus,
menghabiskan waktu hingga senja di kedai kopi.
Ia menoleh
ke arah gedung tempat semula ia bekerja, sambil merangkai kata-kata untuk
istrinya. Namun, kata apa yang paling tepat untuk membicarakan semua itu?
Tanggamus,
18 July 2021
===============
Firman
Fadilah Sedang menempuh pendidikan di Institut Agama Islam An-nur Lampung.
Karya-karyanya banyak termuat di media cetak dan daring. Buku cerpen pertamanya
First Kiss (Guepedia, 2021)
Ilustrasi: Stefan Zsaitsits "Menara"