Cerpen Admono | Senja - Suara Krajan

Cerpen Admono
SENJA
 
"Ikan-ikan menjelma senja, Da. Seluruh semesta telah berubah menjadi senja. Bunga rumput dan bongkahan batu, taman-taman dan sepasang sayap kupu-kupu, kota-kota, kehampaan, pantai-pantai, keriuhan, seluruh penghuni jagat raya telah berangkat menjadi senja. Anjing-anjing, airmata bahkan malam telah luruh dalam kepingan senja.
 
Aku sendirian tak mengikuti jejak-jejak anjing menjadi senja. Aku sendirian di suatu tempat yang paling tinggi dari seluruh ketinggian yang ada, menulis surat ini untukmu sambil melihat dunia benar-benar akan lenyap semua ditelan samudera. Aku masih melihat sepotong kayu kepingan perahu Nuh yang tersisa dari jaman berabad-abad lampu dimana aku akan menaikinya menuju langit Tuhan yang menyimpan cahaya kemerahan matahari yang tinggal separuh tubuhnya. Aku tinggal hanya sendirian saja tanpa siap pun menemani, bahkan tidak memiliki lagi meski hanya sebuah kenangan pun yang tersisa.
 
Anak-anak kita telah lebih dulu mengikuti jejak-jejak ikan berenang di keluasan laut, menjadi seperti engkau ibunya, Da. Kekasihku. Aku, kau tinggalkan. Seluruh semesta telah meninggalkan aku dan aku masih tetap seperti yang dulu; tidak pernah berubah menjadi senja, tidak pernah menua padahal waktu telah berubah siklus mengganti peradaban dengan berjuta generasi yang berbeda, dengan generasi yang baru.
 
Aku melihat dirimu kekasih telah berubah menjadi ikan, bersama anak-anak kita berenang tanpa batasan waktu tetapi airmata terus meleleh tanpa henti dan tak pernah merasa lelah bersama jutaan spesies makhluk air yang lain, risau dalam gagap dunia air yang tak bisa menyampaikan pesan apa pun ke belahan benua seberang karena kata-kata di dalam air menjadi tak jelas termaknai, bahkan suaranya pun menjadi parau ditenggelamkan dalam kesunyian ricik suara air itu sendiri. Aku terus menulis surat ini untukmu, kekasih, meski aku juga tak akan pernah mengerti bagaimana cara menyampaikannya padamu, karena benar-benar seluruh semesta telah berubah menjadi senja.
Ikan-ikan, airmata, kata-kata dan kehampaan. Pantai, juga keriuhan!
 
Aku tahu, kau telah menjadi airmata, Da. Dari ikan-ikan yang telah hidup jutaan bahkan milyaran tahun bersamamu di dalam dunia air. Di dalam laut yang lama kelamaan membuatmu bosan bahkan jenuh. Lalu, kau tinggalkan semuanya? Kau tinggalkan ikan-ikan dan ganggang laut, terumbu-terumbu karang, pesona keindahan laut warna-warni. Kau tinggalkan juga anak-anakmu yang telah mengikuti hukum alam berubah menjadi senja. Meninggalkan anak-anak kita kau telah berubah menjadi airmata; meninggalkan pesona elok keikananmu yang sahaya kau berubah menjadi mimpi, Da? Bahkan merenggut semua kenanganmu sendiri kau hapus dan bunuhi satu-satu hingga tak bersisa.
 
Seperti aku yang di dunia asing ini telah kehilangan seluruh kenangan, maka, kau menginginkan hal yang sama untuk kehilangan kenangan itu?
 
Bedanya, aku tak pernah berubah dan tak pernah mengikuti jejak ikan-ikan itu menjadi senja. Sedangkan engkau, kini malah telah menjadi airmata meninggalkan senja siklus yang tak menjamahku. Mengapa engkau menangis, Da?
 
Lihatlah anak-anak kita yang telah menjadi ikan-ikan masih membutuhkanmu sebagai ibunya untuk menemani mereka di dunia air, untuk selalu merindukanmu sebagai ibu ikan yang mencurahkan seluruh kasih sayang bagi peradaban semesta jiwa mereka yang masih melata. Anak-anak kita, telah di mana, Da? Kau malah pergi meninggalkan begitu saja dengan impianmu yang merisaukan, dengan kegalauan seribu cahaya jingga di dadamu untuk meninggalkan sejuta kehidupan ikan-ikan di lautmu. Kau akan meninggalkan mimpi, nantinya? Padahal, satu-satunya hal paling indah di kehidupan semesta ini hanyalah mimpi. Kau tahu, hanya mimpi, Da? Bukan cinta, tetapi hanya mimpi.
 
Maka, ketika kenangan kita seluruhnya habis satu-satu di keriuhan warna keemasan matahari yang tinggal separuh tubuh di pucat senja, hanya tinggal mimpilah yang masih harus kita jaga untuk pertemuan kita di surga Tuhan kelak.
 
Jangan pernah kau bunuh mimpi seperti kau telah membunuh dunia riilmu menjadi senja dan ikan-ikan! Jangan pernah membunuhnya seperti kau membunuh ikan-ikan menjadi airmata.
Jangan pernah,,,,,
 
Jangan pernah kau membunuh airmata dan mengubahnya menjadi mimpi, lalu kau mengubah mimpi menjadi cinta. Lalu kau membunuh cinta menjadi apalagi?
 
Cinta, sudah tidak pernah bisa kita terjemahkan lagi bagi berabad-abad perkawinan, bagi peleburan dua samudera yang berbeda. Bagi jiwa yang haus kedamaian, bagi laki-laki dan perempuan, bagi sepasang sayap kupu-kupu, bagi dua ruh yang tak berbeda warna, bagi segalanya!
 
Anak cucu kita bukankah ayat cinta, syahwat yang terkelupas menyatu lebur dalam gairah api yang membakar? Lalu, apa lagikah?
 
Anak-anak, masih kita tinggalkan di dunia laut dan air yang merahasia. Mereka, masih tetap menjadi ikan-ikan yang berenang mencari-cari. Mereka masih tetap cinta kita dan akan tetap abadi menjadi cinta kita. Lalu, apa makna cinta sesungguhnya?
 
Aku masih terus menulis dari suatu tempat tertinggi di bumi ini. Menulis surat yang tak akan pernah sampai padamu; karena senja juga akan pergi jauh meninggalkan semesta, lalu gelap tak ada kehidupan, lalu dunia habis diguncang airmata!
 
Kau akan mengubah lagi mimpimu menjadi cinta lagi? Sudah habis waktu! Peradaban sudah selesai. Siluet pantai sudah tidak ada lagi. Sudah tak ada apa-apa lagi. Cinta sudah ikut terbakar hilang jejak. Mimpi-mimpi menjadi usang. Anak-anak kita meraung di air dalam bahasa paling sunyi, sesunyi-sunyinya. Ini, kertas dan pena terakhir di bumi yang sanggup menuliskan sisa kisah percintaan di ujung waktu. Percintaan kita, kau dan aku sebelum dunia benar-benar tenggelam, bahkan, tak menyisakan satu kenangan pun!
 
Ikan-ikan, akan berenangan ke mana lagi?
 
Da? "
 
Dukuhwaluh Purwokerto, pada satu senja


*Admono tinggal di Kalibagor 01/ 7 Kec. Kalibagor BANYUMAS - Jawa Tengah

Foto oleh Silvia: pexels.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak