Ketika Bibir Kita Sama-sama
Mengecup Rintik Hujan
“You always fall in love, and
it will always be like having your throat cut, just that fast,” kau membisikkan kalimat itu tepat di ujung daun
telingaku.
Aku dibuai angin sore yang mengayun lembut, hampir tiada terdengar desirnya. Lembutnya begitu
tegas membawa kata-kata yang meluncur dari bibirmu, lelakiku. Aku begitu
percaya padamu sepenuh hela napas.
Aku melihat hidupku pada
dirimu. Suaramu adalah resonansi batinku
yang tak kunjung kuucapkan. Jika kau
berkata, seperti mantra-mantra
cinta yang sok tahu isi hatiku. Tapi itu benar adanya. Sehingga jika kita
sedang berdua saja, hanya kau yang bicara. Dan aku lebih memilih diam dan menyandarkan kepalaku di dadamu.
Hangat.
Namun, meskipun hanya
kau yang berbicara, kalimatmu pendek. Kita berdua memang jarang bercakap
kata. Terutama jika hanya berduaan saja. Kita
lebih sibuk bicara dalam hati. Kita berbincang dengan suara hati
tepatnya. Semesta laksana ruang yang kedap suara hingga hanya terdengar suara
hati kita bicara.
Kita membiasakan itu agar dalam keadaan raga yang
mungkin saja kelak terpisah oleh jarak yang
tak terkira, kita masih bisa saling mendengar.
Pernah aku marah padamu.
Karena kau tidak mengerti betapa kangennya aku saat itu. Dan kau kelihatan biasa-biasa tanpa memberiku kabar
seharian. Aku menangis.
Membayangkan dirimu sedang bersama gadis
lain yang lebih menawan, lebih kalem, dan
anggun. Mungkin dia lebih patuh dibanding diriku yang sering
mendebatmu. Aku tahu, lelaki
sepertimu banyak yang menyukai, bahkan
kelihatan nyata mendekati.
Dan aku pernah begitu marah
padamu. Kupikir kau tidak mengerti perasaanku.
Dan kau diam saja, saat aku mengomel
padamu. Menuntut perhatianmu.
Seperti ini, katamu,
“Jangan bergerak dan banyak
bicara, Sayang! Tetaplah di situ dan diam. Aku sedang menikmati lekuk wajah,
bibir dan tubuhmu yang indah
di antara rintik hujan yang sedang rinai-rinainya. Tunggu sampai hujannya
usai. Ini sangat indah,” ucapanmu
menderai laksana tombak-tombak
ksatria yang menembus dadaku.
Bagaimana aku marah padamu.
Kau memang Raja Gombal yang ulung . Aku menurut padamu. Dan kubiarkan bibirmu mencium dalam pelipis kananku. Kita
menatap megahnya hujan yang menyetubuhi
helai-helai dedaunan. Hujan terlihat sangat estetik.
Layaknya perempuan, aku
selalu menuntut kepastian. Meski dalam hati saja. Apakah perasaan dan hasratmu
yang menggebu itu kelak memudar bagai debu? Jika sedang mempertanyakan itu,
airmataku selalu menetes. Dua sampai tiga titik, dan kubiarkan ia lolos
membasahi pipi.
“Jika hujan masih turun ke
bumi, maka begitu pula cintaku padamu. Temuilah hujan. Biarkan bibirmu
mengecupnya. Aku pun demikian”.
Lalu kita saling berpelukan
dan membisu sepanjang waktu. Menatap hujan dan menyentuh rintiknya. Membiarkan
suaranya menggemuruh dalam dada kita.
Tak ada yang lebih kita butuhkan, selain hujan dan kecupan.*
5 Desember 2021
Fataty Maulidiyah, merupakan guru di MAN 2 Mojokerto, menulis kumpulan cerpen, puisi, esai, dan artikel di berbagai Media Online, Redaktur dan Tim Kreatif di Majalah Elipsis, saat ini tinggal di Kota Mojokerto
Foto oleh Aline Nadai:pexels.com
Betapa eloknya tuturan yang mengalir dalam baris-baris penuh rasa.
BalasHapus