9 Puisi Dody Yan Masfa | Orde Beracun - Suara Krajan

Puisi-Puisi Dody Yan Masfa
RANDU
 
Pohon randu selalu mengingatkanku pada keperkasaan, di musim kemarau.
Saat semua kering meranggas, daun-daun rontok, bunga berguguran,
debu selimuti dahan dan reranting.
 
Pohon randu tersisa bertengger menebar kapuk diterpa angin gerah,
bebijian hitam tebaran, tanah retak, sumur ladang tak berair.
Petani mesti mengganti padi dengan jagung, semangka atau mentimun
memenuhi bedek pasar rakyat.
 
Ada dua pohon randu yang kutanam di pot, satu di luar rumah sebagai penjaga
kemarau, satu lagi di ruang tamu dalam pot yang lebih kecil,
untuk mengenang masa kecilku.
 
Aku memang suka sekali bermain di bawah pohon randu masa itu,
sembari memilih jangkang kering menyulapnya menjadi mainan
perahu setelah mengeluarkan biji klenteng dan kapuk yang tersisa
dari tebaran angin sore.
 
Perahu-perahu kecil saling melaju di aliran sungai kecil yang airnya mulai surut.
Anak-anak bersorak riang meneriaki perahunya masingmasing,
sepulang sekolah kami selalu riang gembira.
 
Randu yang kutanam kini mulai menjulang,
kelak aku ingin pohon itu menembus langit-langit
sampai menuju langit, menembus waktu membagikan
keperkasaannya saat jiwa mengalami kemarau.

2020

 
HARGAILAH KAMI
 
Belum usai upaya kami membangun adab dari seni
Begitu menggunung pengadang dari pelarangan
sampai pengkhianatan
 
Belum lagi fitnah
Dicap melawan
Sesat
 
Bahkan tak segan dibungkam
Dibelokkan dengan imingiming duit
Popularitas
 
Sebagai pembangun peradaban
Hargailah kami, militansi tanpa batas
Membunuh hidup bahagia
Menjunjung tinggi kemerdekaan
Membebas pikiran manusia
Menyuara keadilan
Menginspirasi hak asasi
 
Kami bukan pecundang yang
terus dimata matai lantas
ide kami dicuri
 
Gagasan dikebiri, ditandingi antrean
fasilitas instansi lalu dikorupsi
Dikorbankan menjadi obyek belaskasihan
 
Sebagian kami memang ada yang senang
Merayakannya sebagai penghargaan tertinggi
 
2020

 
ORDE BERACUN
 
Diam-diam digerus semua tubuh
Diinjak semua hati sampai biru lebam
Dihisap daging dan paru paru
 
Ini orde legam tempat iblis bercengkerama
Menebar maut serupa racun menyekap semua indra
Kita diam mampu apa menghadapi musuh tak terlihat
 
Musuh berkuasa
Musuh berduit
Musuh perancang
genosida
 
Telah disediakan beratus lubang tak kalah lebam
Ini era berlarut-larut dengan kematian
Juga rantai logam bara tembus kerongkongan
 
“Seret mereka, lepaskan dari kehidupan
Jangan tersisa, tak ada ampun bagi siapa pun..!”
 
( Bersiap mati sia-sia adalah kesiaan itu sendiri )
 
2020
 
 
PERAMAL
 
Aku bukan penyair, hanya menguntit
jalan penyair melangkah.
 
"Puisimu masih permukaan"
kata seorang "Gus"
 
Aku bukan penyair, cuma mencintai
Kata-kata ketimbang ceracau tak jelas.
 
"Puisimu masih mengambang diawang"
kata seorang "Perempuan"
 
Aku bukan penyair, cuma pencatat
persoalan-persoalan remeh.
 
"Puisimu belum cinta sejati"
kata seorang "Peramal"
 
Aku tertegun. Karenanya peramal itu
menjauh mencari penyair lain
penyair yang sakti, yang memiliki nama
berserakan dimana-mana.

2021
 
 
MALAM PERTEMUAN
 
Ada kesima malam ini
Senyapnya menelan bayangan
kursi kosong di beranda.
Seberkas cahaya entah
dari mana, menerobos lancang
membawa kemarin.
 
Singgahlah..!
Aku telah membuka hati dan pikiran
untuk kau gumuli dengan sekian
catatan kenangan.
 
Sebilah sembilu
Daun pintu yang kuketuk
Sepenggal senyum, juga
perjalanan menjauh darimu.
 
Bicaralah...!
Daun jambu telah jatuh dihembus angin
Berserak pula hanyut diterpa air hujan.
Amarahku bakal tersimpan rapi dalam
deru jantung  seirama balada lelaki
dewasa usai melintas cakrawala.
 
Jangan ragukan...!
Persuaan ini perulangan dari sekian
banyak gemuruh hasrat kita
Dekap hangat, imaji awan membawa layang
lalu sengal kelegaan, keringat, dan
perbincangan tentang mata terlelap.
 
Bukankah esok pagi telah begitu
mengetahui kebiasaan kita.
Kau melanjutkan perjalanan
menuju danau itu.
 
Sementara aku berdiam diri sampai
matahari, melumat seluruh tubuhku.

2021
 
 
ORANG ORANG INGAT LAGI PADA PUISI
 
Menulisnya di beranda,
di dinding, dibalik sertifikat
Malam penuh deretan puisi,
yang cinta, yang manusia,
yang Tuhan, bencana,
apa pun tertulis di sana
 
Sungguh pentingkah puisi
diingat dan ditulis kembali
Demi apa, untuk siapa.?
Pernahkah berpikir bahwa puisi
mengajari kita kelalaian
terhadap kenyataan
Bahkan sok tahu dan sok
mengerti pun gampang
terbentuk pada diri kita
 
Orang orang ingat lagi pada puisi,
menulisnya di mana mana, di langit,
pohon, angin dan hujan
Menulisnya dengan sukacita,
kepedihan perih,
amarah, pula penuh cinta
 
Berbagai cara mereka menulisnya,
ada yang ndompleng nama,
ada yang menulisnya sendiri tanpa
nama, tak sedikit juga yang meniru
lalu tak mengaku
 
Sungguh perlukah puisi
diingat dan ditulis lagi
seperti tahun tahun lalu,
seperti para pendahulu menulisnya
menjadi sejarah, pemikiran peradaban,
menjadi teman merenung
saat sendiri jiwa kering
dan gerimis tebal
membasuh luka

2021
 
 
IA MENYERGAP MEMBISIKKAN KATA
 
Untuk terakhir kalinya :
"tak segera kulepas seduh sedan,
aku rela menjelma cahaya membaginya
pada malammu"
 
Lalu malam pun berhenti dengan sendirinya
Kini telah 57 tahun setiap hari tanpa pagi
Ia bersikukuh membeku menjadi warna-warni
memenuhi halaman belakang rumah, menemani
para peri beterbangan antara reranting, sesekali
menyelinap membaur di kerumunan kunang-kunang.

2022

 
SENJA ITU BERNAMA CATERINA
 
"Setiap nafas dan gerak kita adalah doa"
Ujar mereka pada senja bernama Caterina
Yang datang sore ini, menenteng duka,
dari jiwanya, menyeret luka dari hatinya
Lalu ia meletakannya di atas rerumput
 
"Aku meminta doa agar segera sampai pada
malam, akan kutidurkan semua orang-orang,
sengaja kutinggalkan duka luka ini, rawatlah
menjadi angin atau penyembuh bagi musim"
 
Caterina beranjak, ditinggalkannya pula
setangkup rindu dan bayangan kekasihnya.

2022
 

RUMAH No.03
 
Adalah tanda dari surga
Ditinggali bapa dihuni anak
Dirawat cucu dengan
kemuliaan selayaknya doa
 
Berdatang orang berganti
Tercipta bangsa-bangsa
Terbentuk negara tuan
Air tanah hidup-mati
 
Adalah perluasan sengketa
Dari seluruh damai sampai
petaka, memaksa bendera
terkibar terbalik pertanda
perang
 
Adalah rumahku tapi bukan tuan
Pemiliknya ruh menunggu usai
Segala tikai dan mara bahaya
 
2022
 


Dody Yan Masfa, Lahir di Surabaya 15 Juni 1965, dengan nama asli Dody Djunaedy. Aktif berteater sejak 1987, bergabung dengan Teater Jaguar Surabaya, sampai tahun 1999. Mendirikan teater Barzah Indonesia bersama Juslifar M Junus. Tahun 2001 memutuskan untuk mendirikan teater Tobong, sampai hari ini sebagai pimpinan, dramaturg, dan sutradara. Debutnya di teater juga menekuni keaktoran. Beberapa kali terlibat sebagai aktor di pertunjukan yang diproduksi teater Jaguar Surabaya, maupun teater Barzah Indonesia. Seringkali bermain monolog di antaranya: Anak Sihir, Peminum Sejati, Di Restoran, Racun Cemara, eMak Gugat, Rintrik. Aktivitasnya yang berkaitan dengan teater, yaitu menulis naskah teater, menulis dan menerbitkan puisi, menjadi juri festival teater, pemateri workshop teater, dan menulis kritik teater.


Foto oleh Rubenstein Rebello: pexels.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak