Penulis: Akhmad Taufiq[1]
Konon John Fitzgerald Kennedy pernah membuat suatu pernyataan yang sangat fenomenal, yakni “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya”. Meskipun, pernyataan itu mengandung sisi kontroversi dan memunculkan berbagai penyangkalan; pernyataan ini pula yang banyak dikutip orang, terutama ketika politik tidak menunjukkan sesuatu yang ideal.[2] Untuk itu, maka puisi dan secara lebih luas sastra, menjadi tempat pengaduan untuk melakukan pembersihan dan pelurusannya. Tentu saja, hal ini menjadi pekerjaan yang berat bagi para penyair dan sastrawan. Suatu tugas untuk memikul beban berat yang cenderung bersifat profanik, di samping permasalahan yang mengidap dirinya sendiri, yakni soal estetika puisi dan sastra yang terus berkecamuk di internal dunia seni yang satu ini.
Konon John Fitzgerald Kennedy pernah membuat suatu pernyataan yang sangat fenomenal, yakni “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya”. Meskipun, pernyataan itu mengandung sisi kontroversi dan memunculkan berbagai penyangkalan; pernyataan ini pula yang banyak dikutip orang, terutama ketika politik tidak menunjukkan sesuatu yang ideal.[2] Untuk itu, maka puisi dan secara lebih luas sastra, menjadi tempat pengaduan untuk melakukan pembersihan dan pelurusannya. Tentu saja, hal ini menjadi pekerjaan yang berat bagi para penyair dan sastrawan. Suatu tugas untuk memikul beban berat yang cenderung bersifat profanik, di samping permasalahan yang mengidap dirinya sendiri, yakni soal estetika puisi dan sastra yang terus berkecamuk di internal dunia seni yang satu ini.
Paralel dengan pernyataan Kennedy, tentu tidak ada salahnya, jika dalam kondisi keprihatinan yang cukup panjang ini, sebagai akibat dari masa pandemi, puisi ikut ambil bagian dalam menjawab permasalahan sosial yang ada. Dapat dikonstruksi sebuah ungkapan; Jika ruang sosial kita menjadi beku, maka puisi akan mencairkannya. Kita tahu dan merasakan betapa ruang sosial kita telah terjadi ‘pembekuan’ yang luar biasa, untuk tidak dikatakan akut. Ruang sosial kita tiba-tiba beku, orang tiba-tiba berjarak dan mengeksklusi diri atas nama keselamatan individu dan keselamatan yang bersifat massif. Hubungan sosial diatur sedemikian rupa, perberlakuan jam malam di sana-sini. Istilah isolasi yang dulu kita jauhi, baik dalam tataran konsep, maupun praktik, kini seolah mendapatkan afirmasi sosial dan teologis, sekali lagi atas nama keselamatan individu dan keselamatan yang bersifat massif. Bahkan, kerap istilah isolasi itu dibarengi dengan mandiri, sehingga menjadi konsep baru, yakni isolasi mandiri, untuk secara lebih makro membedakan dengan isolasi dalam skala kewilayahan; lock down.
Melihat kondisi sosial seperti itu, seorang perenung berlari ke sana ke mari, bertanya ke manakah dan di manakah puisi? Apakah para penyair itu hanya sibuk membuat catatan-catatan puitis untuk merekam itu semua? Apakah puisi hanya soal rekaman peristiwa yang dipintal sedemikian rupa melalui kata-kata, yang keindahannya dipantulkan lewat cermin, yang dilihat berulang? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu mengundang berbagai renungan dan jawaban. Konon penyair sejati adalah penyair yang selalu gelisah atas berbagai kondisi, sekaligus mencarikan jawaban untuk sebuah penjernihan jiwa di tengah kekalutan sosial yang tak jarang terjadi secara massif di mana-mana.
Jika pernyataan itu dapat diterima dan dibenarkan, maka tidak ada salahnya dalam kondisi yang beku dan terjadi pembekuan sosial, puisi mengambil peran untuk mencairkan kembali kondisi sosial yang beku itu. Puisi menjadi wahana untuk meleraikan segala bentuk ‘kebekuan’ sosial itu; kecemasan yang akut, kekalutan, dan bahkan ketakutan manusia akan kematian. Penyair mencoba membangun ‘dunia baru’, yang menariknya dari ruang dunia yang penuh kecemasan dan ketakutan, pada dunia yang jauh memberi ruang yang lebih jernih, sehat, sekaligus meluaskan. Ruang imajinasi yang berusaha memantik kembali memori untuk sebuah penjernihan jiwa yang mampu mengobati diri sendiri (self healing). Bahkan, sehubungan dengan ketakutan dan kematian itu, Leo Tolstoy pernah memberikan pernyataan, bahwa satu hal yang masih dapat dilakukan seseorang meskipun kematian sudah dekat, yakni puisi.[3]
Oleh karena itu,
kehadiran dan penghadiran antologi puisi Seribu
Tahun Lagi, yang melibatkan penyair di berbagai daerah di nusantara ini,
dapat dimaknai sebagai ikhtiar untuk mencoba melakukan penjernihan jiwa melalui
puisi. Puisi barangkali sebentuk kanalisasi dan leraian dari segala kebekuan
sosial yang yang saat ini terjadi. Ia memiliki tugas mulia untuk mencairkan dan
mendekatkan kembali, ‘yang beku’ dan ‘yang berjarak’ saat ini.
Nostalgi dalam Puisi: dari Penciptaan ke Pembacaan
Nostalgi dalam Puisi: dari Penciptaan ke Pembacaan
Pengharapan dan
penghadiran puisi seperti itu, tentu tidaklah berlebihan. Puisi memang diikat
oleh realitas. Ia tidak lahir dari ruang kosong yang nihil dari realitas,
setidaknya ia masih dalam suatu lingkaran realitas. Ia tak pernah sama sekali
keluar dari realitas itu. Sejauh-jauhnya lompatan imajinasi penyair, ia tidak
mampu keluar dari realitas imajinatif itu sendiri. Oleh karena itu, hubungan
realitas imajinatif dan subjek penyair, barangkali merupakan hubungan mencipta
dan diciptakan, membentuk dan dibentuk, mengada dan diadakan. Inilah proses
yang terus-menerus terjadi.
Dalam hubungan
seperti itu, maka pengharapan dan penghadiran puisi untuk mampu menjadi lokus
penjernihan jiwa adalah suatu keniscayaan. Ada suatu yang niscaya ketika puisi
hadir. Ia memberikan harapan atas sentuhan secara intensif pada jiwa yang basah
oleh cahaya. Penyair adalah subjek yang dalam dirinya dititipkan cahaya dan
dipercikkan melalui kata-kata. oleh karena itu, kata-kata penyair idealnya
adalah percikan cahaya itu sendiri yang mampu membasahi jiwa-jiwa yang kering,
mencairkan kembali jiwa-jiwa yang beku.
Percikan kata-kata, dengan alunan nada-nada puitik merupakan kekuatan tersendiri untuk memanggil kembali realitas; dalam dirinya, dalam puisi. Oleh karena itu, tak jarang banyak puisi hadir dalam melukiskan kenangan. Memori dipantik kembali untuk menghadirkan kenangan itu. Barangkali ini yang dapat disebut sebagai nostalgi dalam puisi.[4] Ia dihadirkan tidak sekadar seagai wujud pergulatan estetik semata; lebih dalam dari itu merupakan manifestasi memori masa lampau yang dihadirkan kembali pada masa kini. Ia maujud dalam suatu bentuk kenangan nostalgis yang terepresentasi dengan berbagai simbol atau lambang masa kini. Sebentuk mnemonic device sebagai cara atau alat yang membantu dan memudahkan kita untuk mengingat kembali atas sesuatu.[5]
Puisi tak lain, juga mampu menjadi mnemonic device itu, sehingga puisi dapat menjadi wujud yang sudah utuh atau kepingan-kepingan kenangan nostalgis. Sebagai efek puitiknya, puisi ini seolah dapat ditarik dalam kesan yang mendalam. Hal ini dapat terjadi, baik pada penciptanya dan jika berhasil, puisi itu dapat menghadirkan kesan mendalam bagi pembacanya. Ada sejenis tamasya yang melalui jalur dan rute panjang puisi, untuk menelusuri sepanjang jalan kenangan bagi sebuah sejarah yang merekam peristiwa masa lalu untuk dihadirkan kembali dalam konteks kini. Pada saat demikian, kata-kata tidak hanya menjadi momentum puitik; akan tetapi menjadi momentum historis, memanggil kembali masa lalu tentang kampung halaman, dengan segala pernak-pernik dan dinamika kehidupannya, tentang masa kanak-kanak, dan barangkali tentang rindunya batin yang terdalam dari seorang anak di rantau pada pangkuan lembut ibundanya. Momentum seperti ini, merupakan momentum kemanusiaan, yang betul-betul diharapkan kehadirannya. Jiwa penyair dan sekaligus pembacanya akan luruh, cair, dan jernih melalui imaji puitik yang bersifat nostalgi. Proses penjernihan jiwa dan sekaligus terapi puitik seperti ini akan terjadi.
Tentu dalam konteks demikian, tidak semua puisi dapat dikatakan berhasil menarik pembaca pada ruang kesan yang mendalam itu. Tak jarang puisi itu dari sisi impresi nostalgi, berhenti pada diri pencipta (baca: penyairnya) sendiri. Tidak mudah mengabstraksi puisi yang dapat merefleksikan realitas nostalgi, yang menjadi kesan mendalam bagi pembacanya. Apalagi hal itu harus dicapai dengan muatan kesan yang mendalam, dengan metafora yang betul-betul mampu menampung dan merepresentasikan citraan puitik yang relatif tepat dan relatif sesuai dengan apa yang dirasakan penyairnya.
Pada antologi puisi Seribu Tahun Lagi dapat disimak puisi Firman Wally, yang berjudul Semang Perahuku Patah Memukul Dada, atau puisi Gambuh R. Basedo yang berjudul Prasasti di Pelabuhan Mati, atau dapat juga kita baca puisi Roymon Lemosol yang berjudul Di Bawah Jembatan Merah Putih. Selain itu, juga tampak puisi-puisi dengan nuansa nostalgi lokalitas; misalnya puisi yang ditulis oleh Muhammad Tauhed Supratman yang berjudul Garam Dirintik Gerimis dan puisi Siswanto, yang berjudul Merupa Seblang dan Ojung yang lebih bernuansa ritual.
Di bawah ini dapat disimak puisi Firman Wally.
Di hamparan ombak memutih
Burung-burung camar menari di atas buih
Kepaknya menjejaki kepulangan
Aku menuju pesisir kerinduan
Telah kutenggelamkan harapanku
Di atas laut yang sering dihujani kesunyian
Ku berlayar bersama perahu jauh dari kemalangan
Di pertengahan lautan semang perahuku patah
memukul dada
Aku hilang arah
Ombak mana lagi yang harus kubelah?
(Firman Wally: Semang Perahuku Patah Memukul Dada)
lebih lanjut, di bawah ini dapat dibaca kutipan dari puisi Muhammad Tauhed Supratman.
saat seperti ini ku tak jauh
dari sisimu, dipisah jarak
pandang. burung pipit
bersenda gurau di luar kamar. mentari
risau, lenyap disapu kabut liar
di depanku sepenggal sajak kenangan
tentang garam dan tembakau belum rampung
kubaiat dan kuagungkan
di kelopak hatimu akulah bangkai
(Muhammad Tauhed Supratman: Garam di Rintik Gerimis).
Pada kedua puisi di atas tampak menghadirkan dan sekaligus merefleksikan tentang nostalgi atas alam sebagai kosmos puitik penyair. Pada puisi Firman Wally, dapat kita simak terdapat nostalgi puitik berbasis laut. Laut dihadirkan untuk memantik kembali ingatan tentang ombak yang memutih, burung-burung camar, buih, dan perahu yang berlayar. Tentu saja objek-objek yang telah disebutkan itu merupakan representasi simbolik dari ingatan tentang sesuatu, yang barangkali lebih dalam. Dengan demikian, laut dihadirkan secara bersamaan dengan perahu yang sedang berlayar sebagai bentuk penggambaran pertanyaan substantif penyair, tentang arah hidup.
Lebih lanjut, dapat disimak kutipan puisi Muhammad Tauhed Supratman. Kutipan puisi tersebut diambil dari puisi yang berjudul Garam di Rintik Gerimis. Kutipan teks puisi tersebut pada bait kedua yang terdiri atas delapan baris dan bait ketiga yang terdiri atas satu baris. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa puisi yang ditulis Muhammad Tauhed Supratman, selain memiliki muatan nostalgi yang cukup kental tentang Madura, yang direpresentasikan dengan metafora garam dan tembakau. Lebih dari itu, puisi ini mampu menghadirkan ‘hentakan’ bagi setiap pembacanya. Bait terakhir, yakni bait yang ketiga yang terdiri atas satu baris, mampu menghadirkan hentakan yang begitu dalam. Bagi setiap yang membacanya, baris puisi yang berbunyi “di kelopak hatimu akulah bangkai”, ini adalah baris puisi yang sekaligus berfungsi menutup seluruh bentuk pengungkapan puitik penyair. Terdapat totalitas pengungkapan dan pengucapan puitik yang ingin dimuntahkan oleh penyair. Sungguh, ini adalah hentakan dari sebuah pengucapan puitik yang luar biasa. Penyair mencoba melakukan kanalisasi bagi sebuah endapan nostalgi, yang barangkali begitu dalam.[6]
Proyeksi Puitik Tak Berkesudahan
Pada
dimensi yang lain, antologi puisi Seribu
Tahun Lagi memiliki kekuatan, lebih tepatnya tawaran untuk melakukan
proyeksi puitik. Terdapat puisi-puisi dalam antologi puisi ini mencoba
mengungkapkan hal substantif berkenaan dengan puisi itu sendiri. Ada proyeksi
puitik yang dilakukan penyair; meskipun pada tataran estetika formal, dapat
dikatakan masih mengikuti konvensi estetik yang ada sebelumnya.[7]
Meskipun demikian, keberanian penyair untuk ‘membincang’ dan mengungkap kembali
merupakan hal yang patut diapresiasi. Setidaknya, hal ini akan memberikan ruang
penyegaran dan pergulatan estetetika puisi sendiri.
Puisi tidak
henti-hentinya perlu dibuka ruang selebar-lebarnya untuk dicoba dikonstruksi
dengan perspektif yang selalu baru. Hal ini sekaligus sebagai proyeksi puitik
untuk menatap dan memosisikan puisi di masa depan. Ada pernyataan menarik dan
mendasar dari Budi Darma, bahwa sebuah karya sastra, termasuk puisi di dalamnya
dipastikan terkena ancaman hukum survival
of the fittest, karya-karya yang tidak kuat dan karena itu, karya-karya
yang tidak memiliki dimensi masa depan pasti diganyang oleh perkembangan waktu.[8]
Terdapat beberapa
puisi yang ‘membincang’ tentang puisi, misalnya puisi Muhammad Lefand, yang
berjudul Seribu Tahun Lagi, yang
kemudian diangkat menjadi judul antologi puisi ini. Selain itu, ada puisi
Akhmad Syeikhu yang berjudul Sajak Seribu
Tahun, ada lagi puisi Oka Miharzha S berjudul Misteri Puisi. Puisi-puisi tersebut kalau kita cermati kembali, ada
dialog antara penyair dengan karya puisinya, sekaligus membuka ruang dialog
yang lain.
Di bawah ini
dapat simak kutipan puisi Muhammad Lefand, Akhmad Syeikhu, dan Oka Miharzha S.
Seribu
tahun lagi
Engkau akan mengerti
Rahasia dalam risalah puisi
Ingatan tak akan menghapus arti
Bait yang ditulis dengan keutuhan imaji
Usia membaca tiap makna yang tersembunyi
(Muhammad Lefand: bait pertama Puisi Seribu Tahun Lagi)
Seribu tahun lagi, ya, seribu tahun
diriku mungkin sudah remuk
tapi bersama puisi-puisi
aku akan tetap abadi
(Akhmad Syeikhu: Bait ketiga puisi Sajak Seribu Tahun)
Saat ini kita mengurai makna
membuka diri dan ruh penyair, kemudian
terjaga dari tidur panjang
seperti malaikat rahmat
malaikat jibril mengabarkan wahyu,ilham
tamsil dan ibarat mengisi ruang ruh
tumbuh dan hidup
mekarlah puisi
dengan misterinya seribu tahun lagi
(Oka Miharzha S: Bait kedua puisi Misteri Puisi)
Puisi-puisi tersebut kalau kita baca kembali secara lebih mendalam, seakan mengajak pembaca untuk berdialog. Ada ruang komunikasi puitik yang dibangun penyair; dan pada saat bersamaan, penyair melakukan proses tranformasi makna, sekaligus deklarasi sikap kepada pembaca. Pada puisi Muhammad Lefand melalui puisi Seribu Tahun Lagi, penyair mencoba melakukan komunikasi puitik dengan memosisikan karyanya sebagai suatu risalah yang menyimpan makna. Ada makna yang tersembunyi di balik teks puisi yang diciptakannya. Ada relasi teks dan makna yang digambarkan oleh penyair. Penyair dalam hal ini tidak sampai pada level pengungkapan, bagaimana lingkaran teks dan lingkaran makna itu bergerak, karena hal ini adalah wilayah pembaca sebagai penafsir.[9]
Engkau akan mengerti
Rahasia dalam risalah puisi
Ingatan tak akan menghapus arti
Bait yang ditulis dengan keutuhan imaji
Usia membaca tiap makna yang tersembunyi
(Muhammad Lefand: bait pertama Puisi Seribu Tahun Lagi)
Seribu tahun lagi, ya, seribu tahun
diriku mungkin sudah remuk
tapi bersama puisi-puisi
aku akan tetap abadi
(Akhmad Syeikhu: Bait ketiga puisi Sajak Seribu Tahun)
Saat ini kita mengurai makna
membuka diri dan ruh penyair, kemudian
terjaga dari tidur panjang
seperti malaikat rahmat
malaikat jibril mengabarkan wahyu,ilham
tamsil dan ibarat mengisi ruang ruh
tumbuh dan hidup
mekarlah puisi
dengan misterinya seribu tahun lagi
(Oka Miharzha S: Bait kedua puisi Misteri Puisi)
Puisi-puisi tersebut kalau kita baca kembali secara lebih mendalam, seakan mengajak pembaca untuk berdialog. Ada ruang komunikasi puitik yang dibangun penyair; dan pada saat bersamaan, penyair melakukan proses tranformasi makna, sekaligus deklarasi sikap kepada pembaca. Pada puisi Muhammad Lefand melalui puisi Seribu Tahun Lagi, penyair mencoba melakukan komunikasi puitik dengan memosisikan karyanya sebagai suatu risalah yang menyimpan makna. Ada makna yang tersembunyi di balik teks puisi yang diciptakannya. Ada relasi teks dan makna yang digambarkan oleh penyair. Penyair dalam hal ini tidak sampai pada level pengungkapan, bagaimana lingkaran teks dan lingkaran makna itu bergerak, karena hal ini adalah wilayah pembaca sebagai penafsir.[9]
Tetapi, hal ini
oleh Oka Miharzha S. dijawab dengan memberikan pengungkapan puitik, bahwa untuk
mengurai makna risalah puisi itu dapat dilakukan dengan cara membuka diri dan
ruh penyair. Kata Oka Miharzha S, ada hijab
makna yang mestinya dapat dibuka dengan cara membuka diri dan kejiwaan penyair;
tanpa hal itu, risalah puisi akan tetap menyimpan misteri maknanya. Meskipun,
dua penyair itu barangkali tidak bertemu pada saat proses penciptaan puisi;
akan tetapi, seolah terjadi dialog di antara mereka. Ada hubungan
intertekstualitas di antara puisi yang
mereka ciptakan. Ada dialog antarpenyair, sekaligus komunikasi puitik dengan
pembacanya. Ini menarik untuk dicermati, bahwa dalam satu antologi puisi
terdapat dialog melalui karya puisi mereka.
Dialog melalui
teks puisi yang tidak kalah menarik terjadi pada puisi Muhammad Lefand dan
Akhmad Syeikhu. Pada kedua kutipan bait di atas, terdapat justifikasi dan
proyeksi puitik, yang dilakukan kedua penyair; akan tetapi, tanpa sadar kedua
penyair saling menegaskan, kalau tidak menegasikan. Apa kata Muhammad Lefand?
Lefand berkata, “Seribu tahun lagi engkau akan mengerti risalah puisi”, tapi
ini seakan dijawab oleh Akhmad Syeikhu. Apa kata Akhmad Syeikhu? Akhmad Syeikhu
berkata, “Seribu tahun lagi, ya seribu tahun diriku mungkin sudah remuk”.
Meskipun
demikian, di bagian akhir ketiga penyair tersebut seakan bersepakat tentang
bagaimana memosisikan puisi yang sebenarnya. Ketiganya melakukan penegasan puitik
tentang keabadian puisi. Hal ini semacam proyeksi puitik tentang keabadian
puisi yang mampu mereka lakukan. Pernyataan puitik Akhmad Syeikhu, “tapi
bersama puisi-puisi, aku akan tetap abadi”, seakan mewakili tidak hanya tiga
penyair tersebut; tetapi, barangkali mewakili seluruh penyair yang karyanya
diabadikan pada antologi puisi ini.
Pernyataan puitik
tersebut tentu menjadi sebentuk penegasan sikap penyair dan sekaligus komitmen.
Sebuah penegasan sikap penyair dan sekaligus komitmen untuk ‘selalu bersama
puisi’. Tentu, kebersamaan itu tidak hanya diterima sebagai upaya merayakan
sebuah kontestasi kepenyairan. Lebih jauh dan dalam dari itu, penyair mempunyai
tugas utama membangun proyeksi puitik untuk masa depan kebudayaaan.[10]
Hendak ke manakah puisi kita?
Jember, 12 Juli 2021
DAFTAR REFERENSI
Jember, 12 Juli 2021
DAFTAR REFERENSI
Darma, Budi.2007. Bahasa, Sastra, dan Budi Darma. Surabaya: JB Books.
Budiawan. 2015. Sejarah dan Memori: Titik Simpang dan Titik Temu. Yogyakarta: Ombak.
Mahayana, Maman S (Ed.). 2017. Apa dan Siapa Penyair Indonesia. Jakarta: Yayasan Hari Puisi.
Tolstoy, Leo. 2018. A Confession: Sebuah Pengakuan. Surabaya: Ecosystem Publishing. Terjemahan Ermelinda dari judul asli A Confession oleh Dover Publications 1882.
[1] Sastrawan dan Dosen Universitas Jember.
[2] Bentuk penyangkalan itu muncul, misalnya dengan memunculkan pertanyaan, apakah mesti politik itu kotor dan apakah mesti puisi/ sastra itu menjadi jawabannya. Apakah dinafikan adanya praktik politik yang baik? Sebaliknya, apakah puisi/sastra itu selalu baik? Penyangkalan seperti ini menarik dan patut dicermati, sekaligus direfleksikan oleh kalangan sastra; meskipun, tak jarang bentuk penyangkalan itu merupakan pledoi semata.
[3] Pernyataan Leo Tolstoy dalam buku A Confession, pada 1882. Edisi Indonesia diterbitkan oleh Ecosystem Publishing, 2018.
[4] Tidakkah nostalgi/nostalgia itu berarti kepulangan dari sakit dan luka. Nostalgi/nostalgia dari bahasa Yunani nostos, yang berarti kepulangan dan algos, yang berarti sakit atau luka. Oleh karena itu, seringkali orang ketika sakit itu ingat ibundanya, ingat kampung halamannya, dan juga ingat segala sesuatu yang dapat menjadi tempat melabuhkan dirinya.
[5] Barangkali berkenaan dengan mnemonic device, lebih lanjut dapat diposisikan sebagai sites of memory, sehingga sebuah puisi, berikut simbol-simbol atau lambang-lambang, atau metafora-matafora yang dibangun di dalamnya juga bernilai historis sebuah kebudayaan. Lebih lanjut, lihat Budiawan (2015:xi-xii).
[6] Kanalisasi endapan nostalgi ini juga penting yang berfungsi untuk melerai dan mencairkan ‘gumpalan’ perasaan. Ia tidak bisa dibiarkan, ia harus diberi jalan keluar.
[7] Estetika formal puisi dalam hal ini yang dimaksud adalah konvensi formal puisi, yang mencakup bentuk atau perwajahan puisi. Dari sisi itu, konstruksi formal puisi dalam antologi puisi ini masih mengikuti konvensi yang sudah ada sebelumnya.
[8] Budi Darma dalam sebuah artikel “Sastra Mutakhir Kita”, yang ditulis pada 25 Oktober 1999. Artikel ini selanjutnya dimuat dalam buku “Bahasa, sastra, dan Budi darma: Kumpulan Tulisan Menandai 70 tahun Prof. Budi Darma, Ph.D.”, yang diterbitkan JB Books, November 2007.
[9] Dengan meminjam dan mengembangkan konsep Budiawan, penyair dan pembaca merupakan pereka-ulang, sekaligus penafsir teks puisi sebagai sejarah, untuk mencegah lupa atas terjadinya segala peristiwa puitik (to block the work of forgetting). Lebih lanjut, lihat Budiawan (2015:xii). Oleh karena itu, tugas besar penciptaan dan pembacaan merupakan tugas sejarah. Hal ini agar kita—kata Maman S. Mahayana—terbebas dari sebutan tuna sejarah. Lihat Maman S. Mahayana (2017:xiii).
[10] Tugas utama itu berkenaan dengan upaya penyair untuk secara terus-menerus mengikhtiari pengembangan estetika puisi. Bersamaan dengan itu, mampu memberi bobot atas tema-tema substansial bagi kebudayaan.
![]() |
Cover Buku |